Bab 3

72 12 6
                                    

Masih mengenakan kemeja dan celana kain hitam, Lingga masuk ke ruang ICU di mana Elara berada. Hari ini, tugas menemani gadis itu jatuh padanya. Sebab ibu dan adik Elara tak mungkin bisa datang setelah beberapa saat lalu memakamkan Sutardi.

Lingga tak tahu harus sedih atau malah lega. Kemarin, pikirnya akan mendapat berita kematian Elara. Firasatnya bilang, benar gadis itu mengalami kecelakaan dan benar begitu faktanya. Namun, setelah tiba di rumah sakit, berita kematian Sutardi malah diumumkan.

Malang, pria itu terkena serangan jantung usai mendengar berita putri sulungnya mengalami kecelakaan. Saat dibawa ke rumah sakit, Sutardi masih sempat sadar dan menitip pesan pada keluarganya. Namun, pria itu tak tertolong.

Asmiati, ibunya Elara, pingsan dan nyaris tak sanggup menghadiri pemakaman suaminya. Karena itu Lingga turun tangan membantu semua hal yang diperlukan. Ia tak bisa membiarkan Widia yang kebingungan menanggung semua hal tiba-tiba ini.

Semua sudah beres. Pemakaman Sutardi berlangsung layak. Kini, tersisa satu hal yang membuat Lingga tak bisa tenang. Elara. Bagaimana reaksi gadis itu nanti setelah bangun? Lingga sakit kepala membayangkan harus mendengar suara tangis perempuan itu lagi, seperti di apartemen terakhir.

Lingga yang duduk di samping ranjang rawat Elara belum berhenti menatapi. Satu tangannya yang bebas menggenggam tangan Elara yang terasa dingin. Resah makin mengisi dada.

Kabur dari apartemennya, Elara tertabrak mobil hingga kakinya terluka dan perlu menjalani tindakan serius kemarin. Gadis  itu belum siuman, padahal sudah 24 jam berlalu. Memperpanjang gundah yang Lingga punya.

Menghela napas, Lingga menunduk untuk bisa mengecup jemari Elara.  Dipandanginya lagi wajah pucat itu. "Kumohon, bangun," pintanya sungguh.

Memang, Lingga cemas memikirkan reaksi Elara nanti ketika sadar dan tahu sudah tak punya ayah. Lingga bisa bayangkan akan seterpuruk apa gadis itu, karena dari cerita Amran, Elara ini adalah putri kesayangan. Namun, melihat Elara terbaring tak berdaya begini, juga membuat ia susah hati.

"Ada apa denganmu?" tanyanya dengan suara putus asa. "Kenapa bisa kau memberi dampak sehebat ini padaku?"

Lingga ingat pertama kali Elara berhasil menarik atensinya. Itu saat dirinya dan kedua orang tua bertamu. Di sana ada beberapa kerabat Elara dari pihak ayah. Di situ Lingga menemukan jika gadis yang biasa memasang senyum sopan itu juga bisa melirik kejam.

Perempuan itu melakukannya pada salah seorang Tantenya. Setelah ia diejek karena akan dilangkahi menikah oleh Widia. Elara menjawab hanya dengan senyum, tetapi setelah Tantenya memalingkan wajah, Elara menunjukkan raut tak suka lewat delikan mata runcing.

Sungguh, Elara terlihat berbeda kala itu. Kesan kakak ipar kaku dan judes langsung hilang. Elara menjelma menjadi gadis menarik yang ingin sekali Lingga kenali lebih jauh.

Ingatan soal Elara bergerak ke momen di apartemen. Pertengkaran mereka, kalimat-kalimat tajam Elara, tatapan sengitnya, juga .... Lingga menggeleng ingkar.

Buruk sekali dirinya? Saat Elara terbaring lemah begini, Lingga malah membayangkan momen panas mereka sebelum kecelakaan terjadi. Lingga tersenyum sinis, mengumpati dirinya dalam hati.

Lingga kembali membawa jemari Elara ke depan bibir. Menempelkan bibirnya lama di sana, berharap dengan begitu dingin di jari Elara bisa berangsur hilang. Sebelah tangannya lagi memberi usapan lembut di pipi si perempuan.

Lelaki itu berkata, "Cepatlah sadar. Banyak hal yang perlu kau dengar dariku."

***

Berpulangnya Sutardi menyebabkan ketidakstabilan di Hal's Hotel. Jajaran direksi resah karena kosongnya posisi direktur utama. Ditambah, belakangan posisi keuangan memang sedang tidak stabil. Beberapa investor mulai membuat rencana pertemuan untuk membahas haruskah bertahan di kapal yang nahkodanya sudah tak ada.

Berita itu sampai ke telinga Asmiati. Dan meski masih dalam keadaan berkabung, wanita itu tak mampu mengabaikan bisnis suaminya yang tengah berada di ujung tanduk. Asmiati yang buntu meminta bertemu dengan Lingga.

"Mustahil aku menggantikan posisi suamiku." Wanita itu bicara langsung ke inti setelah dipersilakan masuk ke ruangan Lingga.

Lingga mendengarkan.

"Suamiku membangun bisnis ini dengan beberapa temannya." Asmiati menjelaskan. "Bukan aku serakah, tetapi kenyataannya, suamikulah yang paling banyak berkorban untuk hotel itu." Mata wanita itu berkaca-kaca. "Dia bahkan meminta Widia putus dengan pacarnya, sebab berharap bisa berbesan dengan keluarga Sudjaya."

Fakta itu membuat kedipan mata Lingga melambat sejenak. Ia baru mengetahuinya. Jadi, sebenarnya Widia sudah punya kekasih?

"Aku yakin, mereka sedang berusaha menghapus suamiku. Merebut hotel itu," lanjut Asmiati. "Kurasa, kalau saja Elara tidak kecelakaan, dia pasti bisa mengurus ini." Air mata wanita itu berderai.

Sisi simpati Lingga terusik. Pria itu mengasurkan selembar tisu pada Asmiati.

"Tolong kami, Lingga," pinta Asmiati dengan kepala tertunduk. Ia buang semua harga dirinya. Demi sesuatu yang selama ini dijaga Sutardi dengan sangat keras. "Bagi Sudjaya, hotel itu pasti bukan apa-apa. Hanya hotel kelas rendah. Namun, suamiku memberikan keringat dan darahnya untuk merawat itu. Ia bahkan bermimpi menjadikan Elara penerusnya."

Tangis Asmiati pecah. Kehilangan pegangan hidup, kini putrinya bahkan belum juga siuman.  Wanita itu menyesal selama ini tak pernah mau terlibat urusan perusahaan hingga membuatnya buta akan banyak hal. Menjadikan kerja keras suaminya terancam direbut.

"Orangku bilang, mereka akan menjualnya, Tante." Sekian lama bungkam, Lingga akhirnya buka suara.

Tangis ibunya Elara terjeda. Matanya mengerjap penuh ketakutan. Tentu ia tak akan ragukan informasi dari Lingga. Pria itu tidak mungkin asal bicara.

"Kalau Tante memberi izin, biar aku mengurus itu. Hotel itu mungkin akan jatuh ke tanganku. Tapi, jangan cemas. Akan kukembalikan pada Elara."

Kali ini air mata Asmiati berisi sedikit lega. Ia sepenuhnya percaya pada Lingga. Selain karena ia tak bisa mengandalkan siapa-siapa lagi, kondisinya terdesak, keandalan Lingga juga tak bisa diragukan. Pria itu sukses membesarkan perusahaan Sudjaya, sebelum memberikannya ke tangan si adik. Lingga juga berjaya membangun bisnisnya sendiri.

Asmiati mengangguk. "Tante percaya kepadamu. Tolong kami, Lingga."

Lingga tergerak untuk menyentuh tangan Asmiati di atas meja. Ia hanya ingin memberi penghiburan. "Tante tenang saja. Hotel itu tetap akan jadi milih keluarga Tante. Aku tidak akan biarkan Elara kehilangan apa pun," ucapnya penuh janji.

Setelah Asmiati pamit, Lingga segera menghubungi salah satu orangnya. Memberi perintah untuk menaikkan berita soal Sutardi, ditambah sedikit bumbu tentu saja agar saham hotel itu makin tidak stabil. Tak lupa mengatur keadaan supaya Lingga menjadi satu-satunya orang yang mendapatkan hotel itu pada akhirnya.

Menyelesaikan telepon, Lingga kembali berkutat dengan berbagai dokumen di meja. Sesekali pria itu memeriksa laptop. Ia begitu fokus, agar pekerjaan segera rampung dan dirinya bisa lekas ke rumah sakit. Apa yang Lingga ucapkan tadi bukan sekadar omong kosong. Ia akan memastikan Elara tak kehilangan apa pun lagi nanti.


....

Terima kasih udah baca bab ini. Sehat selalu, ya.

Love Is A Prize Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang