Lingga sudah berdiri di depan pintu kamar mandi saat ruangan itu terbuka. Wajah Elara yang lelah, mata bengkak perempuan itu langsung menyambutnya. Membuat batu sebesar kepalan tangan serasa menyangkut di tenggorokan.
Elara berjalan melewatinya. Gadis itu menuju pintu apartemen. Berjongkok di dekat sana untuk mengenakan sepatu. Lingga merampas salah satu alas kaki perempuan itu, hingga ia mendapat atensi.
"Ini pukul tiga pagi," beritahunya. "Kau mau ke mana?"
Elara mencoba merebut sepatu itu. Lingga menjauhkan, menyembunyikannya di belakang punggung. "Kau tak bisa ke mana pun di jam segini," tambah lelaki itu.
Elara menegakkan kepala. Harusnya ia perlu mendongak untuk bisa menatap Lingga. Namun, perempuan itu hanya melirik.
"Aku mau pulang," ucapnya dengan bibir terkatup separuh.
"Besok," sahut Lingga. Sepatu tadi ia bawa masuk ke kamar. Disembunyikan di salah satu tempat. "Tidurlah lagi," suruhnya saat kembali ke dekat pintu, tempat Elara masih mematung.
Lingga mengamati gadis itu dari samping, sebab kini Elara menghadap ke pintu. Si pria berkedip gusar, dadanya penuh dengan rasa bersalah saat menangkap tanda merah di leher Elara. Jejaknya.
Lingga sungguh hilang kendali tadi. Melihat Elara sungguhan datang, hatinya membuncah. Tahu-tahu sisi gelapnya menguasai karena tantangan Elara.
Perempuan itu marah. Menuduhnya bajingan kejam. Rupanya, berita soal dirinya yang ingin menukar mempelai perempuan sudah sampai ke telinga Sutardi.
Amran menelepon Sutardi. Meminta maaf, menambal apa yang sudah Lingga sampaikan. Sayangnya, Sutardi belum mendengar apa pun dari Lingga, pun calon suami putri bungsunya itu tak ada datang. Alhasil, ayah Lingga pun menceritakan segalanya.
Elara di sana saat ayahnya limbung, hampir roboh karena begitu terkejut. Sebagai sulung, jelas ia merasa punya tanggungjawab untuk membantu ayahnya mengurusi Lingga. Karena itu Elara sampai bersedia datang ke apartemen calon iparnya itu.
"Bajingan. Sebenarnya maumu apa?"
Bertanya begitu, tetapi Elara tak memberi kesempatan Lingga menjelaskan. Pria itu lebih dulu ditampar tadi. Keras, hingga gambar telapak tangan Elara terlihat di pipinya.
"Aku tidak peduli keinginanmu, kau harus menikahi Widia."
Lingga menjawab itu dengan gelengan kepala kala itu. Ia sudah buat keputusan. Ingin mengganti Widia dengan Elara.
Sepertinya putus asa, Elara menawarkan barter. Perempuan itu bersedia melakukan apa saja asal pernikahan Widia tetap terjadi. Elara tampak kacau, matanya diisi ketakutan saat mengabsen apa saja yang bisa menimpa keluarganya bila pernikahan ini gagal.
Berbesan dengan keluarga Sudjaya ternyata membawa dampak baik bagi bisnis keluarga Elara. Perusahaan ayah Elara yang kecil mendapat suntikan dana dari beberapa rekan bisnis. Kebetulan, keadaan keuangan usaha Sutardi memang tidak stabil dan memerlukan itu. Masalahnya, ayah Elara cemas rekan bisnis itu akan meminta pengembalian investasi jika sampai pernikahan ini gagal.
Melihat Elara yang menangis putus asa, Lingga malah menambah kesulitan si perempuan. Egoisnya yang merasa tertolak dan tertantang meminta Elara sebagai barter. Lingga ingin Elara menemaninya di ranjang.
Lingga kembali mendapat pukulan di pipi. Elara menolak dan mengatainya monster. Namun, gadis itu pada akhirnya setuju, setelah mendapat telepon dari ibu yang memberitahu kalau Widia hampir kabur dari rumah.
Terlepas dari keadaannya yang terpaksa dan di bawah tekanan, Elara memberi pengalaman menyenangkan untuk Lingga. Perempuan itu nyaris membuat Lingga gila karena begitu cantik. Lingga baru tahu jika bukan hanya wajah yang bisa dinilai cantik. Sensasi bercinta yang seorang perempuan berikan juga bisa terasa begitu indah, karena Lingga mendapatkannya dari Elara.
Lingga tahu perbuatannya sangat kejam. Mengambil kesempatan, memanfaatkan seorang perempuan yang sedang putus asa adalah memalukan. Namun, kali ini Lingga rela disebut sampah, sebab kesan yang ia dapatkan sebanding.
"Aku mau pulang," ulang Elara.
Lamunan Lingga tentang kejadian beberapa saat lalu terkoyak. Pria itu berkedip cepat untuk kembali fokus.
"Besok pagi akan kuantar. Kembalilah tidur," perintahnya.
Tak menunggu Elara menjawab, Lingga menarik lengan perempuan itu. Ia bawa ke kamar. Melihat kasur yang berantakan berserta noda di seprei itu, jantung Lingga menghentak cepat.
Tidak menolak lagi, Elara memilih menghuni sofa. Perempuan itu memunggungi, Lingga menipiskan bibir menahan rasa bersalah. Lelaki itu sedang mengganti seprei saat suara Elara terdengar.
"Tepati janjimu. Nikahi Widia."
Lingga berhenti menggulung alas kasur. Pria itu berbalik untuk menatapi punggung sempit Elara.
"Aku ingin kau," balasnya masih bersikeras.
Elara langsung bangun. Dilemparnya tatapan tajam pada lelaki di dekat ranjang. "Aku sudah memberikan apa yang kau mau," tuntutnya.
Bahu Lingga terangkat santai. "Aku tidak berjanji. Kau yang menawarkan. Lagipula, jika menikah denganmu, perusahaan ayahmu tetap akan aman. Tidak ada yang berubah."
Di sofa, Elara tersenyum getir. Matanya berkedip lambat. Perempuan itu tampak lelah.
"Harusnya aku tak pernah percaya padamu," sungutnya sambil menunduk.
Rasa bersalah mendorong Lingga untuk menjelaskan. "Ini tidak buruk," ujarnya memulai. "Kau dan Widia hanya bertukar tempat. Orang tua kita tetap akan menjadi besan, rekan bisnis ayahmu tak akan menuntut apa-apa."
"Lalu Widia?" Elara mendongak dengan sorot benci di mata.
"Widia? Dia gadis baik. Dia pasti akan bisa mengerti. Jika dia mau, aku bisa carikan calon suami untuknya. Jangan ragukan koneksiku. Aku hanya berteman dengan mereka yang layak dan tentu saja menguntungkan."
Elara tampak meremat tepian sofa berang, sampai jemarinya bergetar. "Lalu aku?" Kali ini perempuan itu tak sudi menatap Lingga. "Kau tidak merasa sudah merampas hakku? Merusak rencana hidupku?"
Lingga memucat. Air mata Elara yang jatuh seolah menyadarkannya. Dari semua orang yang marah karena Lingga ingin mengganti mempelai perempuan, Elara-lah yang paling tersakiti di sini. Tanpa tahu hidup perempuan itu, Lingga mengambilnya paksa.
"Kau punya kekasih?" Bibir Lingga bergetar samar.
Elara menjerit putus asa. Perempuan itu mendorong meja, memukuli sofa. Ia bahkan sempat menjambak rambut sendiri, sebelum Lingga akhirnya menghampiri dan menariknya ke dalam pelukan.
"Tenanglah, kumohon." Lingga tak menyangka akan memohon pada seseorang di usia kepala empat.
"Lepaskan aku!" Elara mendorong Lingga hingga pelukan pria itu lepas.
Kesempatan itu Elara ambil untuk kabur. Ia berlari gesit ke arah pintu yang beruntungnya masih belum terkunci. Ia meninggalkan apartemen, turun dengan lift, berlari menjauh dari bangunan itu. Elara ingin pulang, ia ingin mengadu pada ayahnya agar mereka sudahi saja hubungan dengan Lingga yang ternyata adalah monster. Namun, sebelum gadis itu berhasil mencapai rumah, larinya diinterupsi.
Tubuh Elara membentur moncong sebab mobil dengan keras di jalan raya. Ia rubuh ke aspal dengan nyeri di mana-mana. Telinga Elara berdenging hebat sebelum akhirnya semua senyap dan ia menutup mata.
Lingga berhasil menyusul setengah jam kemudian. Mobilnya terpaksa menepi ketika jalanan dikepung beberapa mobil polisi dan ambulan. Pria itu turun untuk memeriksa keadaan, sebab instingnya mengatakan harus.
"Ada kecelakaan setengah jam lalu. Korbannya seorang wanita."
Begitu yang Lingga dengar dari petugas polisi yang ada di sana. Cemas, Lingga menghubungi Sutardi menanyakan keberadaan putri sulung pria itu. Namun, yang mengangkat adalah Widia. Gadis itu menangis, terisak-isak ketakutan memberi tahu jika kakaknya ada di rumah sakit.
Detik itu, Lingga baru tahu bagaimana rasanya ketika nyawa ditarik keluar dari tubuh selama beberapa detik. Dadanya sesak, terasa tak nyaman usai ia mampu menguasai rasa terkejut. Bergegas pria itu mendatangi rumah sakit yang Widia sebutkan, untuk kemudian menerima kabar kematian dari dokter di sana.
....
Makasih udah baca bab ini. Sehat selalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is A Prize
RomancePernikahan adiknya terancam gagal. Tak ingin melihat ayahnya sedih, Elara menemui calon suami adiknya, Lingga. Perempuan itu bersedia melakukan apa saja agar pernikahan tetap terlaksana. Malam itu, Elara menyerahkan diri demi menuruti maunya Lingga...