Bab 6

69 7 1
                                    

"Nona sempat mengigau tadi," beritahu salah seorang pelayan pada Lingga yang baru tiba. "Nona mencari Pak Sutardi ke kamar. Lalu, Nona menangis karena kami beritahu kalau Pak Sutardi tidak di sini."

Lingga mengangguk satu kali. "Dia belum mau makan?" Kini ia menggulung lengan kemeja. 

Pelayan itu menggeleng sedih. "Saya sudah membujuk. Saya tawarkan akan menyuapi, seperti yang sering Bapak lakukan saat Nona sakit. Tapi, dia tidak mau."

Lingga menelisik ekspresi sedih pelayan itu. Ia heran mengapa wanita itu terlihat sungguhan sedih? Apa hubungan Elara dan pembantu di sini sedekat itu? Di rumah Amran, Lingga bahkan tak ingat siapa nama orang yang biasa membantu Lioni di dapur.

"Apa makanannya masih hangat? Tolong bawa ke sini, saya akan antar ke kamarnya."

Pelayan itu mengangguk patuh, lalu berlalu ke dapur. Tak berapa lama ia kembali dengan nampan berisi sepiring nasi, sup ayam dan daging.

Lingga menerima itu, kemudian naik ke lantai dua, ke kamar Elara.

Saat Lingga tiba di kamar itu, ia mendapati Elara sedang duduk sambil memeluk lutut di sudut ruangan. Bukan di tempat tidur, perempuan itu duduk di lantai, sudut dekat jendela. Elara tak menoleh mendengar pintu terbuka. Ia bahkan terlihat tidak peduli pada sekitar.

"Elara," panggil Lingga pelan.

Si lelaki tidak disahut, apalagi ditoleh. Ia pun berinisiatif mendatangi. Mengambil tempat di sisi satunya jendela, pria itu ikut duduk.

"Kau tahu ibumu ada di rumah sakit?"

Pertanyaan Lingga menguap tanpa dijawab.

"Widia tidak bisa datang, ibumu menangis terus. Karena itu dia meminta bantuanku untuk memeriksa keadaanmu."

Dirinya kembali diabaikan, Lingga berusaha bersabar. Ia angkat piring berisi nasi dari nampan, kemudian ia tuangkan kuah. Saat diberikan pada Elara, perempuan itu malah berdiri hingga isi piring tadi tumpah. Nasi yang basah itu mengotori lantai dan celana Lingga.

Elara naik ke ranjang, ia berbaring memunggungi. Lingga yang kesal mengumpat. Pria itu menghampiri. Disibaknya selimut Elara, dibaliknya  tubuh gadis itu hingga mereka berpandangan. Amarah yang ada seketika lesap saat Lingga menemukan air mata di pipi Elara.

Gadis itu memunggungi lagi, menaikkan selimutnya hingga menutupi wajah. Lingga menghela napas. Pria itu berbalik, kembali ke dekat jendela. Ia bereskan kekacauan di sana, kemudian keluar dari kamar.

Tampaknya, memaksa Elara makan tidak akan berhasil. Lingga tak tega bersikap keras, ia yakin Elara masih belum pulih dari duka. Karena itu, si lelaki mengalah.

***

Tidak tidur berhari-hari jelas akan membuat emosi seseorang tidak stabil. Amarahnya akan mudah terpicu, bahkan hanya karena hal-hal remeh. Ditambah, Widia sendiri masih sering teringat akan kepergian ayahnya yang terasa begitu cepat dan tiba-tiba. Mungkin, karena itulah Widia mengetuk kamar Elara agak keras pagi ini.

Widia kembali mendapat bantuan dari keluarga  Lingga. Pagi tadi, agar dirinya bisa pulang dan punya waktu berisitrahat sejenak, Lioni bersedia menggantikan. Sejak satu jam tadi, hingga nanti malam, ibunya Lingga  yang akan menemani dan menjaga Asmiati di rumah sakit.

Widia jelas kurang tidur. Ia lelah, terlihat dari wajahnya yang pucat dan kuyu. Namun, jangankan punya waktu untuk tidur, perempuan itu masih harus dibuat pusing dengan keadaan Elara.

Tidak mau makan. Tidak keluar kamar. Pagi tadi muntah-muntah. Semua itu Widia dengar dari pelayan mereka, Buk Sukma. Sungguh membuat Widia sedih, tetapi juga marah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love Is A Prize Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang