Bab 5

108 15 2
                                    

Elara meraba ke belakang, telapak tangannya yang berhasil menyentuh punggung tangan Lingga membuat pria itu berhenti mendorong kursi roda si perempuan. Berusaha memasang wajah tenang, Lingga merasa tenggorokannya tercekat ketika Elara meraih tangan Asmiati yang sejak tadi menuntun jalan.

"Ibu, aku mau bertemu Ayah. Bukan ke tempat kakek." Perempuan itu tampak menggeleng ragu,  memaksakan senyum, berharap ibunya sungguh salah karena membawanya ke makam.

Asmiati menggenggam tangan putrinya erat. Ia memberi isyarat pada Lingga untuk lanjut mendorong kursi roda itu. Hingga mereka berada dekat dengan makam kakek Elara, Rizwan Halim.

Lingga berhenti tanpa dikomando. Bahu Elara yang tegang menjadi tanda untuknya agar memberi jeda sejenak. Tangis Asmiati sudah mulai terdengar, membelah senyap yang dingin di area pemakaman itu.

Tak perlu memeriksa, Lingga yakin tatapan Elara kini tertuju pada gundukan tanah merah yang tampak baru, tepat di sebelah makam Rizwan Halim. Pria itu menelan ludahnya yang terasa pahit.

Elara menunjuk ke sana dengan telunjuk gemetar. Ke nisan yang memiliki nama Sutardi. Perempuan itu menatap ibunya, hendak mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya terdiam. Telunjuknya masih menunjuk-nunjuk ke sana, seolah itu adalah sesuatu yang salah.

"Ibu ...." panggilnya susah payah. "Siapa yang melakukan ini?" Tarikan napas Elara terasa berat dan terburu. "Siapa yang berani menulis nama ayahku di sana?!" Kini Elara terdengar marah.

"Ibu!" Perempuan itu menjerit karena kini Asmiati malah mendatangi makam itu.

Asmiati mengusapi nisan itu dengan air mata bercucuran. Bunga yang dibawa ditaburkan.

"Sayang, putri kesayanganmu barusan meneriakiku," adunya dengan tangis pilu.

Lingga bisa lihat kini dua tangan Elara mencengkeram lengan kursi roda. Tubuh perempuan itu bergetar hebat.

Elara menghapusi air matanya. Ia menoleh pada Widia. "Ibu kenapa? Kenapa Ibu bercanda seburuk ini? Widia?"

Widia memeluk kakaknya. "Sampai di napas terakhirnya, Ayah tetap hanya mengingatmu." Air mata Widia juga sudah tumpah.

Elara mendorong adiknya. "Tidak!" katanya tidak terima.

Perempuan itu berusaha menggerakkan roda kursi. Ia ingin pergi dari sana. Namun, benda itu sama sekali tak bergerak. Elara frustrasi, ia memukuli kursi roda, kemudian pahanya sendiri.

"Ini bohong!" jeritnya sembari menutup kedua telinga. Mata perempuan itu membola takut ke arah makam Sutardi. "Ini bohong! Ayah! Ayah!"

Elara bangkit dari kursi roda. Namun, karena kakinya belum benar sembuh, perempuan itu terjatuh. Lingga menghampiri, berusaha menenangkan. Namun, si lelaki malah dipukul, dicakar dan didorong menjauh.

Elara menyeret tubuhnya. Perempuan itu merangkak ke arah makam Sutardi hingga kaki dan bagian bawah gaunnya kotor oleh tanah. Wajahnya yang pucat berderai air mata.

"Ayah!" teriaknya setelah berhasil menyentuh gundukan makam Sutardi. "Ayah! Ayah mereka menipuku! Ayah!" Dia meraung pilu, berharap dengan demikian sang ayah muncul dan mengakhiri semua mimpi buruk ini.

Wajahnya makin pias, Elara kembali membaca nama yang tertulis di nisan. Ia menggeleng ingkar. Digaruknya tanah. Bunga yang tadi ditabur Asmiati terlempar ke segala arah.

"Elara!" tegur Asmiati terkejut. "Kau mau apa?"

"Kalian berbohong. Kalian menipuku!" Elara meremat gundukan tanah itu. "Ini bukan ayahku. Ayahku tidak mungkin melakukan hal sejahat ini. Ayah! Ayah!" Ia kembali mencakar tanah itu, berusaha menggalinya dan menemukan kebenaran.

Love Is A Prize Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang