Bab 1

163 15 2
                                    

"Aku mau Elara."

Ucapan Lingga yang tersuarakan di meja makan malam itu membuat seluruh keluarga serempak terkesiap, memucat. Tiba-tiba saja, tanpa ada pertanda, Lingga menyiratkan bahwa pernikahan yang akan dilangsungkan beberapa minggu lagi terancam batal. Kacau.

Ini pernikahan yang keluarga tunggu-tunggu. Cucu pertama, sulung, si pembawa nama dari garis keturunan Sudjaya. Lingga adalah pria yang terus didoakan agar segera melepas masa lajang. Namun, agaknya keluarga masih harus menunggu.

Malam itu keluarga inti Amran Sudjaya tak jadi makan. Sang kepala keluarga yang terkenal sabar itu bahkan sampai menggebrak meja sebelum mengajak sang putra ke ruangan kerja untuk bicara. Sang ibu, Lioni, ditemani putri bungsunya menanti dengan cemas di ruang televisi.

Amran menunggu. Berdiri, mondar-mandir, sesekali pria berusia 79 tahun itu menengok pada sang anak yang duduk tenang di sofa. Wajah Amran merah padam, kedua tangannya di belakang punggung saling meremas tak sabar.

"Kau mau terus diam begini, Lingga?" Berusaha bersabar, Amran berubah tak sabar. Ia lebih dulu bersuara.

Lingga melirik. Dua tangannya masih bersedekap di depan dada. Pria itu menatapi ujung meja beberapa saat, lalu mulutnya menghela napas.

"Kurasa aku ingin Elara saja."

Mulut si ayah menganga tak percaya. Makin tegang rahangnya. "Kau rasa? Kau kira semua ini mainan, ya? Kau ingin mempermainkan sebuah keluarga yang tak salah apa-apa?" Suara Amran meninggi, pelampiasan rasa terkejut dan juga marah.

Lingga mengangkat bahu satu kali. "Kurasa ... Elara lebih baik?"

Kalimat ambigu yang terasa tak yakin itu membuat Amran memijat kening. Ia menggeleng tak habis pikir. Kemarin, Lingga sendiri yang berkata setuju dinikahkan dengan Widia. Sekarang, mengapa mengaku lebih menginginkan kakaknya Widia?

Amran sudah menebalkan wajah. Pada teman baiknya, ia meminta tolong. Sutardi, ayahnya Widia, setuju memberikan salah satu putrinya untuk menjadi menantu tertua di rumah Amran. Namun, begini balasan Lingga?

Sangat tidak bertanggung jawab. Ketika semua persiapan pesta sudah hampir rampung. Anaknya malah bilang ingin mengganti calon istri.

Masih berusaha bersabar, Amran ikut duduk di sofa. Ia menarik dan membuang napas beberapa saat. "Jelaskan. Buat keputusan. Jangan membuatku menjadi jahat di depan Sutardi."

Lingga menggaruk rambut. Wajahnya menoleh kiri dan kanan tanpa sebab. Menatap kembali Amran, dia tersenyum kaku.

Langsung saja itu membuat Amran naik pitam. Pria tua itu melepas sandal rumah, lalu melemparnya pada sang anak. Bukannya takut atau menyesal, Lingga malah menampilkan raut tak senang.

"Jelaskan, anak kurang ajar!" Lepas juga pertahanan diri Amran. Cukup sudah menjadi ayah yang bijak.

Lingga tergelak pelan. Dia menggeleng bingung. "Rasanya ... Elara lebih cocok denganku."

"Elara yang kau sebut sejak tadi ini, Elara kakaknya Widia?" Amran memastikan.

Lingga mengangguk. "Yang wajahnya judes itu," tambahnya.

Amran mengerutkan dahi. "Kapan kau sedekat itu sampai bisa menilai demikian?"

Seingat Amran, Lingga hanya beberapa kali bertamu ke rumah Sutardi. Kalau pun bertemu Widia, seringnya mereka kencan di luar. Kapan Lingga sempat menilai Elara, sulungnya Sutardi itu?

"Aku tidak ingat," jawab Lingga. "Yang jelas, kurasa aku ingin Elara saja. Jangan Widia. Kami tidak cocok."

Habis memberi kesimpulan, Lingga meninggalkan ruang kerja ayahnya. Amran tentu tak membiarkan putranya bisa lolos dengan mudah. Ia kejar anak itu, ditariknya kerah kemejanya saat di ruang tengah.

Love Is A Prize Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang