"Desain, riset. Apa pun soal projek ini, lakukan dengan baik. Mau kalian lembur sampai pagi, saya tidak peduli. Berikan hasilnya dua hari lagi."
Kalimat sarat kekejaman itu membuat dua arsitek di depan Lingga mengangguk singkat. Mereka pamit dari ruang meeting. Sudah tak heran pada perangai sang bos. Jika bukan karena sedang dalam suasana hati yang buruk, Lingga yang demikian--memberi perintah tak masuk logika-- pastilah karena bertekad memuaskan ambisi.
Mereka tak akan buang waktu untuk protes atau meratap. Sebab dua arsitek itu juga punya karakter yang tidak beda jauh. Mereka bekerja sama karena memang nyaris serupa.
Lingga sendiri juga berkemas. Setelah ini ia perlu bertemu sang adik sebentar untuk membahas perkembangan perusahaan milik Amran. Menutup buku agenda, pria yang sudah akan melangkah keluar itu mendapat panggilan telepon.
Widia yang menghubungi. Pikiran Lingga mulai berasumsi buruk. Segera ia jawab panggilan tadi.
"Kak El sudah bangun, Kak." Widia langsung menyampaikan kabar.
Napas Lingga rasanya tercuri untuk beberapa saat. Pria itu memegangi tepian meja ketika embusan napasnya terdengar lega.
"Kalian sudah beritahu dia soal Om Sutardi?" Kini dahinya menekuk lagi. Tak siap mendengar jawaban tak sesuai dari Widia. Bagaimana pun, perempuan lebih emosional dan sikap itu cenderung bisa memperburuk keadaan.
"Belum, Kak. Sejauh ini Ibu masih berusaha mengalihkan. Tapi, Kak El tak berhenti menanyakan di mana Ayah."
Lingga bisa rasakan kesedihan dari sura Widia bertutur. Pria itu maklum. Kakinya pun mulai bergerak meninggalkan ruangan.
"Jangan beritahu apa pun dulu. Aku segera ke sana." Berjalan cepat, Lingga menuju tempat parkir. Ia kemudikan mobilnya secepat yang dibisa. Pria itu sudah tak sabar bertemu Elara tersayangnya.
Menunggu tiga hari bukan sebentar. Lingga tak bisa melakukan pekerjaan tanpa cemas. Setiap menit ia menanti kabar dari Widia atau Asmiati. Dan bila dua perempuan itu menghubungi, ia resah menebak kabar baik atau buruk yang akan diterima.
Belum pernah Lingga mengkhawatirkan seseorang sampai seperti ini. Padahal, dirinya dan Elara belum lama saling mengenal. Pun, mereka memangnya punya hubungan apa?
Lupakan soal status. Ketika akhirnya menginjak kamar rawat Elara, Lingga mati-matian menahan diri untuk tak meraih perempuan itu ke dalam pelukan. Elara tengah tertidur saat dia datang. Widia menjelaskan jika perempuan itu sudah menjalani beberapa pemeriksaan dasar dan dokter berkata hasilnya tidak buruk.
Lega sekali hati Lingga mendengar itu. Ia tarik satu kursi ke dekat ranjang. Menghempas tubuh di sana, bak sudah terprogram tangannya meraih jemari Elara. Masih dingin.
Seolah menyadari kehadirannya, Elara membuka mata. Lingga terkesiap dengan perasan bersalah.
"Aku mengganggumu? Maaf," ucap si pria sungguh.
Mata Elara yang sayu berkedip. Entah perempuan itu sadar atau tidak, tetapi ia tak menarik tangannya dari genggaman Lingga. Bibir pucat itu bergerak pelan.
"Ayahku," katanya parau. Matanya mengerjap gusar. Kening Elara bahkan berkerut. "Ibu bersikap aneh. Kenapa Ayahku tidak di sini? Widia juga selalu mengalihkan pertanyaanku. Ayahku di mana?"
Ada nyeri di dada Lingga usai mendengar tanya itu. Ia eratkan genggaman di jemari Elara. Lingga bahkan bisa melihat kalau kini Elara hampir menangis. Apa perempuan itu punya firasat?
Tentu saja, batinnya. Elara ini putri kesayangan Sutardi. Tidak mungkin dia tak merasakan apa pun, meski tak tahu apa-apa.
"Aku tidak tahu harus bertanya pada siapa," sambung Elara masih bersikeras. "Ayahku di mana? Kenapa tidak di sini? Kenapa bisa saat aku bangun, aku tidak melihat Ayahku? Mengapa dia tidak menjagaku seperti biasa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/372481519-288-k241441.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is A Prize
RomantizmPernikahan adiknya terancam gagal. Tak ingin melihat ayahnya sedih, Elara menemui calon suami adiknya, Lingga. Perempuan itu bersedia melakukan apa saja agar pernikahan tetap terlaksana. Malam itu, Elara menyerahkan diri demi menuruti maunya Lingga...