Pandangan Kaynara tak hentinya memandang sang anak yang terbaring dengan sekujut tubuh yang penuh dengan alat medis. Ia masih terus menangis, sambil memegangi tangan anaknya. Ia sedang memakai baju steril yang digunakan khusus untuk menengok pasien di ruang ICU.
"Sayang. Makan dulu yuk? Kamu belum makan dari kemarin lho," ucap Arvan pelan.
Kaynara dengan pandangan kosongnya, menggeleng. "Aku ngga laper."
"Kay, dengerin aku. Meskipun ngga laper, kamu harus makan dong, Sayang."
"Nanti kalo aku pergi cari makan, Kai bangun terus nangis nyariin aku gimana?"
Revan menahan tangisnya, kemudian memeluk sang istri. "Sayang, Kai bakal baik-baik aja. Percaya sama aku."
"Mas, ak---"
Tiba-tiba saja alat bantu pernapasan Kai berbunyi. Hal itu membuat Kaynara juga Revan panik setengah mati. Kai terlihat kejang hingga Revan berteriak memanggil dokter. Kaynara sudah histeris ketakutan dan panik. Sampai-sampai dokter dan suster harus memaksa mereka untuk keluar ruangan.
"Mas.. anak kita, Mas."
"Kay. Tenang sayang. Tenang."
"Anak kita di dalem, Mas. Aku mau masuk."
"Kaynara! Dengerin, Kay. Tenangg..."
Kedua orang tua mereka pun berusaha menenangkan Kaynara. Namun, ibu mana yang tenang jika anak satu-satunya berada dalam kondisi tidak baik seperti itu.
Beberapa menit kemudian, dokter pun keluar ruangan dengan wajah yang murung. Revan seolah mengerti apa yang terjadi, tapi tidak dengan Kaynara.
"Bapak, ibu. Mohon maaf. Kami sudah berusaha tapi Tuhan berkehendak lain," kata sang dokter.
Kaynara menoleh kearah Revan. "Hm? Apa, Mas? Maksud dokternya apa, Mas?"
Sontak Revan memeluk Kaynara. "Tenang sayang. Ikhlasin Kai ya."
"Innalilahi wa innailaihi rojiun."
"Apa? Kenapa kalian bilang itu? Kai baik-baik aja!"
"Kaynara. Sayang. Ikhlas, Nak," kata mamanya.
Tangis Kaynara pecah sampai tubuhnya terjatuh di lantai. Ia meronta, hingga menyangkal bahwa yang terjadi adalah benar adanya. Seketika pandangannya gelap begitu saja. Kaynara pingsan. Beruntung Revan segera menangkapnya.
Sambil menunggu Kaynara sadar, Revan mengurus segala administrasi untuk kepulangan jenazah anaknya. Di depan kamar jenazah, tubuhnya sangat lemas. Ia cengkeram map hijau ditangannya hingga ruas jarinya memutih. Revan tak kuasa menahan tangisnya. Air matanya jatuh beriringan dengan rintik air hujan yang mulai membasahi bumi.
"Van, ayo kuat, Van." Rafli langsung berlari mendekat ketika melihat temannya itu bersujud lemas.
Revan belum berhenti menangis. Masa bodo dengan orang-orang yang mengatainya berlebihan. Siapa pula orang yang kuat merasakan jadi Revan saat ini. Anak satu-satunya pergi, bahkan untuk mendengar ia memanggil ayahnya dengan jelas pun, belum pernah. Belum lagi Revan yang sering keluar kota atau negeri, dan pastinya waktu untuk bermain dengan Kai semakin sedikit.
"Gue gagal jadi ayah, Raf," katanya.
"Nggak! Jangan salahin diri lo kaya gini, Van. Semua udah takdir Allah. Mending sekarang, kuatin diri lo, terus urus semuanya sampe beres. Inget, Kaynara sekarang butuh elo, Van."
Revan mendongak. "Gue ngga bisa liat Kaynara, Raf. Ngga bisa."
"Van! Kalo bukan lo, siapa lagi? Satu-satunya orang yang bisa bikin dia kuat, cuma elo. Temenin dia, Van! Gue tau lo kuat dan bisa ngelewatin ini semua."
"Berat banget, Raf. Berat." Air mata Revan sudah tak terbendung lagi.
"Gue tau. Gue paham banget. Gue juga tau lo bisa lewatin ini, Van. Please jadi kuat demi Kaynara. Ikhlasin anak lo biar dia tenang."
Revan masih menunduk, menangis tapi kini dalam diam. Entah ia harus melakukan apa. Tetapi beberapa saat kemudian, ia tersadar dan langsung pergi menemui Kaynara ditemani oleh Rafli.
Di ruangan, Kaynara sudah tersadar. Ia juga sedang ditenangkan oleh mamanya. Ketika Kaynara melihat Revan, lelaki itu berusaha tersenyum.
"Ada Rafli tuh, Sayang."
"Hi, Kay."
Seketika Kaynara kembali menangis. "Raf, Kai udah ngga ada."
"Stt... iya iya. Gue tau. Ikhlasin ya, Kay." Rafli beralih memeluk Kaynara walau hanya sebentar.
"Sayang, kita bawa Kai pulang ya? Papa udah siapin semuanya di rumah," kata Revan.
"Kai tadi masih main-main sama aku di taman, Mas. Masih ketawa-tawa sama aku."
Revan mengangguk, kemudian memeluknya lagi. "Iya. Sekarang dia mainnya di Surga sama bidadari. Dia lebih bahagia disana, Sayang."
"Tapi aku juga mau bahagia sama dia, Mas." Kaynara menangis lagi sambil mencengkram kuat kaos yang dipakai Revan.
"Iya. Suatu saat kita pasti ketemu lagi sama Kai." Revan melepas pelukannya, lalu menatap mata Kaynara. "Sekarang kamu harus kuat dulu. Kita anter Kai ke rumah barunya. Ya?"
Kaynara balik menatap dengan kedua bola matanya yang sayu juga wajahnya yang lemas.
"Oke, Kay? Aku yakin kamu mama yang kuat. Hm?"
"Ayo, Kay. Gue sama yang lain bakal temenin lo terus," sambung Rafli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Gendut dan Si Casanova Part 2
Storie d'amoreKehidupan setelah menikah? Jawabannya hampir sama dengan yang lain. Beraneka ragam rasa. Senang, sedih, pusing... Rasanya cobaan silih berganti. Tetapi konon, jika dihadapi bersama, semua akan terasa mudah. Apa Kaynara dan Revan bisa melewati itu se...