04 | Kirana

41 5 0
                                    

°Rumah Ganendra°

Hampir tidak ada hari tenang bagi Jeffran semenjak ia memutuskan untuk menjadi seorang ayah tunggal. Hari-harinya dipenuhi oleh agenda mengurus anak-anak berisik seperti Hasya dan Gafi. Berbeda dengan Juan yang lebih tenang, kedua anaknya yang lain memang cenderung lebih cengeng dibanding anak-anak lain di luaran sana.

Jeffran akui jika putra sulungnya itu memang benar-benar definisi "Cowok Cool" yang biasanya populer di kalangan para gadis. Tidak sepertinya yang lebih ramah, Juan itu berbeda. Putranya itu sangat pendiam di hadapan orang baru, terlebih orang-orang yang membuatnya tak nyaman. Sayangnya, ia tak tahu mengapa Juan bisa tumbuh seperti itu.

Benar, ia memang telah gagal menjadi seorang ayah yang baik bagi anak-anaknya. Ia rasa, semua yang dihadapinya kini merupakan balasan dari sikap-sikap buruknya di masa lalu. Tentu tak ada sempurna, terutama dirinya yang masih jauh dari istilah tersebut. Ia dulu pernah menjadi seseorang yang buruk, tak memperdulikan orang lain dan cenderung menyepelekan hal-hal penting. Dulu ia hanya terfokus pada tujuannya saja, hidup bahagia bersama seseorang yang ia cintai. Dan kini, ia telah terperosok dalam lubang penyesalan yang sangat dalam dan tak berujung. Semuanya telah berbeda dari yang sebelumnya.

"Yayah, cucu!"

Jeffran sedikit tersentak kala suara teriakan cempreng memasuki kedua rungunya.

Si kecil Gafi, pagi-pagi sudah menuntut susu padanya. Masih lengkap dengan piyama bermotif robot serta boneka beruang di tangannya, Gafi berjalan agak pelan ke arah sang ayah yang lama berdiri di meja pantry. Sesekali ia mengucek mata kanannya sambil menguap dengan kantuk yang masih tersisa.

"Iya ini ayah buatin ya sayang. Gafi tunggu di sofa dulu, ayah selesain masakannya dulu ya."

"Ote, Yayah!"

Jeffran tersenyum simpul mendengar sahutan dari si bungsu. Setelah memasuki usia 5, putra bungsunya itu bukannya terlihat makin besar, malah terlihat makin seperti bayi yang menggemaskan di matanya. Ia jadi tidak bisa marah jika melihat ketiga anaknya bertingkah, terlebih-

"Ayah, Juan nakal berantakin rambut Asya!"

Baru saja menyinggung mereka, si tengah sudah terlebih dahulu menghampirinya dengan keadaan yang cukul berantakan. Rambut panjang Hasya terlihat sangat berantakan, terlebih raut wajah kesal dan kedua matanya yang berair, seperti ingin menangis.

Jeffran menghela nafasnya panjang, kelakuan random anak-anaknya itu selalu saja berhasil membuatnya mengelus dada. "Nanti ayah sisirin ya sayang. Asya temenin Gafi dulu, ayah mau selesain ini dulu ya."

Hasya mengangguk, lalu ia pun bergegas menemui si bungsu yang kembali terlelap di sofa ruanh tengah.

Hfftt... dua anak sudah beres. Tinggal-

"Maaf Juan telat turunnya. Ini apa aja yang belum selesai, Yah?"

Yah, si sulung. Lengkap dengan apron hitam yang bertengger di tubuh pemuda itu, Juan terlihat sangat siap untuk membantunya. Tanpa diberi perintah pun, Juan dengan sigap mengambil alih sayuran yang baru saja akan dipotong oleh Jeffran.

"Ayah udah selesai goreng telurnya sih, ini tinggal capcay-nya yang belum kepegang."

"Yaudah, Juan aja yang lanjutin, Yah. Ayah harud bikinin susu buat Gafi, kan?"

Jeffran mengangguk sambil tersenyum simpul. Putra sulungnya itu memang selalu saja berhasil mengambil hatinya.

Meski agak sensitif, namun dibanding yang lainnya, Juan itu yang paling peka di antara sadaranya yang lain. Juan pun selalu berinisiatif membantu Jeffran dan yang lainnya jika tengah kerepotan. Ia juga memiliki sikap yang paling dewasa di antara kedua saudaranya itu. Mungkin itu karena embel-embel anak sulung memang telah melekat pada dirinya sejak ia lahir.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rumah GanendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang