8. Dua arah

3 2 0
                                    

Saat sampai di gedung apartemen Krasa tiga diantara empat petugas kepolisian tersebut langsung bergegas menuju ke unit apartemen milik korban, sementara satu petugas lainnya diam di parkiran, tengah menjawab panggilan telpon dari seseorang.

Di sinilah Arsen dan Kean berada, kamar Rui Dianaarta, lokasi tragedi itu terjadi  menatap ke arah lantai, “Ada dua kemungkinan, lampu baru menyala pada pukul 11 malam. Itu menunjukan pemilik rumah baru sampai rumah atau pelaku yang baru datang ke apartemen ini,” Arsen berucap  sambil terus memperhatikan bercak darah kering di lantai.

“Tak mungkin pelaku bisa mencari barang pada keadaan gelap, dan selain itu sepertinya segala sesuatu yang dibersihkan pelaku dengan tak sempurna bukan karna ia ceroboh tapi karna ia buru buru, kemungkinan juga korban baru kehilangan nyawa di kisaran pukul 10- 11 malam,” ucap Kean.

“Pelaku buru buru, karna ia tau seseorang akan segera datang? Tak mungkin yang dia takutkan adalah nona Amira, berarti yang ia takutkan adalah pemuda yang mondar mandir di parkiran? Siapa pemuda yang dimaksud nona Amira, Kevin? Ataukah Nico?” Arsen menimpali argumen Kean.

“Kemungkinan itu Kevin, Nico baeu pulang pukul 12 malam bukan?” Ray menimpali diskusi antara Arsen dan Kean.

Theo datang di sela sela percakapan mereka “Alibi dari Nico dan Kevin tak dapat dipastikan. Menurut pernyataan Nico ia lembur hingga pukul 11 lebih dan sampai di sekitar pukul 12, namun dari CCTV kantor ternyata Nico sudah pulang pukul 10.30 dan untuk Kevin, jalanan yang ia katakan macet ternyata dalam keadaan lancar pada pukul 10 malam – 4 pagi hari,” ucap Theo, satu tangannya ia bawa dalam saku celananya. Memperhatikan wajah ketiga petugas lainnya yang menampilkan ekspresi serius

Kean berjongkok “Satu pisau ditemukan berlumuran darah di bawah kasur, bagian bilah pisau yang paling lebar memiliki ukuran sama dengan luka katana yang menembus tubuh korban, jejak jejak tersamarkan karena prilaku spontan kakak korban.” Kean mendongak menatap ke arah Arsen yang tengah menunjukan ekspresi serius.

“Mungkin ... korban telah tewas lebih dulu dengan menusukkan pisau itu, lalu pelaku datang dan menusuk korban dengan katana, tujuannya adalah untuk menyamarkan upaya bunuh diri korban” ucap Kean.

“Buku terbalik di ruang tamu ... pelaku ingin mengarahkan ini sebagai pembunuhan? Tapi kenapa? Ia bisa saja ditangkap atas tuduhan pembunuhan dan dihukum penjara seumur hidup”  Kean kembali melanjutkan ucapannya, tatapannya kembali ke lantai, masih dalam posisi berjongkok dan kini ditambah dengan ekspresi seriusan.

“Pelaku ini pasti sangat percaya diri dan mungkin saja ia membalikkan buku buku itu untuk menjebak seseorang yang tidak  tahu menau mengenai OCD korban, alasan korban bunuh diri ... pelaku tak mau umum mengetahuinya dan ingin membalas dendam pada orang yang menjadi penyebab bunuh diri korban?” Arsen mengelus elus dagunya, tatapannya terfokus pada satu arah dan pikirannya menyelam dalam teori teorinya.

“Tapi, apa motif pelaku?” Ray menimpali pernyataan Theo.

Arsen mengangguk “Pelaku mungkin ingin menyembunyikan motif bunuh diri korban agar tak mencoreng nama baiknya atau pelaku melakukan bini sebagai upaya balas dendam itu mungkin saja. Kita bisa liat nanti saat hasil autopsi keseluruhan yang  akan dijelaskan oleh tim forensik,” ucap Arsen lalu menghela nafasnya.

“Siapa pelakunya? Awalnya kita menyimpulkan bahwa pelaku kemungkinan besar adalah Kevin, tapi kalau sekarang ... kakak korban juga merupakan tersangka.” Ray menunduk alisnya berkerut dan matanya memancarkan kesedihan.

Arsen menepuk pundak Ray, “Jangan pernah berempati dalam kasus kasus seperti ini, kita tak boleh percaya siapapun yang terlibat dan semua yang terlibat adalah tersangka.” Arsen berjalan menuju pintu keluar apartemen yang menjadi TKP.

Kean berdiri dan membalikkan tubuhnya, berhadapan dengan Ray dan Theo. “Apa kalian sadar kepanikan dan kegelisahan Arsen lebih lebih dari biasanya? Ia sangat tak sabaran pada kasus ini.” Raut wajah kean sangat jelas terlihat cemberut  mewakili rasa kesal Yang ia alami.

Theo menghela nafas “Setiap orang pasti melakukan kesalahan, abaikan saja soal itu, dia hanya gelisah. Setidaknya kesimpulannya masih waras dan tidak terganggu, kalaupun ditanya dia tidak akan menjawab,” ucap Theo. Theo lalu menoleh ke arah pintu keluar, pintu yang tadinya dituju Arsen. Kini sudah tak terlihat lagi pemuda dengan nama Arsen tersebut.

“Lebih baik kita menyusulnya, dia pasti ke parkiran, ini juga sudah pukul 5.30 sore, lebih baik kita kembali ke kantor,” ucap Theo sambil memperhatikan jam tangannya.

Theo berjalan ke arah pintu keluar, diikuti oleh Kean dan Ray. Raut wajah Kean masih tampak berpikir dengan serius begitu pula dengan Ray yang juga menampilkan raut wajah yang tak kalah serius.

Theo menghela nafasnya, bagaimanapun sulit untuk mengontrol Kean dan Arsen kalau ada kasus yang mereka tangani bersama dan sekarang bertambahlah sudah kewajibannya mengurus Ray yang baru saja terjun ke divisi mereka. Ketiga pemuda cerdas dengan ribuan teori yang di dukung oleh fakta di lapangan. Seiring berjalannya waktu, menangani kasus kasus bersama mereka membuat Theo semakin sadar, bahwa bukti dan kondisi di lapangan bisa memiliki lebih dari satu arti.

Keempat petugas tersebut sudah sampai di kantor kepolisian, mereka dan berjalan bersamaan menuju ruang rapat. Ray, anggota mereka yang paling muda mengusap air matanya yang keluar karna ia mengantuk.Di depan pintu ruang rapat, terlihat pemuda dengan pakaian serba putih.

Melihat hal tersebut Ray yang pandangannya masih kabur sedikit berteriak karna kaget, “Ha..hantu!” Ray bersembunyi di balik Theo.

Ketiga rekannya yang lain menghela nafas, Arsen mendekat pada pemuda yang memakai pakaian serba putih tersebut. “Ada apa Cakra?” tanya Ray pada pemuda tersebut.

Pemuda dengan nama Cakra itu sedikit membungkukkan tubuhnya “Maaf tim forensik perlu mengadakan lebih banyak pemeriksaan lagi pada mayat korban, jadi kami belum bisa memberikan data yang relevan” ucapnya, sungguh merasa bersalah karna tak mampu melakukan autopsi dengan cepat.

Arsen menoleh pada ketiga rekannya dan mereka menganguk. “Tak masalah, angkat tubuhmu jangan terus membungkuk. Terima kasih atas kerja keras kalian. Apakah setelah jam makan siang besok , hasilnya sudah dapat disampaikan?”  Arsen bertanya sambil memperhatikan petugas forensik yang sedang berdiri di depannya.

“Kami usahakan pak, saya akan kembali ke ruang autopsi. Permisi pak,” ucapnya kemudian berlalu pergi meninggalkan Arsen dan rekannya.

Arsen membalikkan tubuhnya, berhadapan dengan ketiga rekannya. “Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?” Arsen menoleh pada Theo selaku pemimpin penyelidikan ini.

Theo tampak berpikir sejenak hingga akhirnya ia mendapat keputusan, Theo berkata, “Kalian pulang dan istirahat, biar saya yang melaporkan hasil penyelidikan hari ini. Dan Ray, kamu sudah mencatat semua kesimpulannya kan? Tolong kirim filenya ke saya. Triama kasih atas kerja keras kalian.”

Kean bersandar pada tembok sambil memejamkan matanya, mengingat ingat semua teori dan bukti pendukung yang telah mereka dapatkan. Arsen menggunakan headset dan mendengarkan musik sambil memejamkan matanya, sementara Ray mengutak atik ponselnya kemudian setelah beberapa saat terdengar notifikasi pada ponsel Theo. Setelah memeriksa isi file yang dikirimkan oleh Ray Theo mengangguk.

“Baikalah, sampai jumpa semuanya, kita bertemu esok hari pukul 7 pagi,” ucap Theo. Setelah mengatakan hal tersebut Theo meninggalkan Arsen, Kean, dan Ray.

Arsen, Kean, dan Ray pun saling menoleh kemudian berjalan keluar kantor kepolisian bersama menuju ke parkiran, masuk ke mobil merek masing masing kemudian mengemudi ke rumah masing masing. Arsen menoleh pada jam di mobilnya, tertata pukul 6.20 sore.

******

—Beralih kita pada suatu ruangan yang diterangi cahaya remang remang. Tampak foto seorang gadis tertempel memenuhi seluruh ruangan, foto tersebut menunjukkan satu orang gadis yang sama dari usia balita hingga remaja dengan berbagai pose dan berbagai sudut pemotretan.

Seseorang bertubuh tinggi tengah memperhatikan semua foto itu dengan tatapan yang dipenuhi rasa kepemilikan, dielusnya tembok ruangan yang dipenuhi foto gadis tersebut, ia berkata, “Sungguh disayangkan kamu menghilangkan nyawamu sendiri.”—

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Renjana Tiada TaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang