➳༻❀✿❀༺➳
Lembayung perlahan menyapa, membias cahaya indah ketika menemani mereka melangkah kembali menuju kawasan tercinta setia dijaga. Mega bergerak lambat diiringi kicau burung di atas sana, larian bumiputra hingga suara tawanya pun seakan menambah rasa hangat untuk segala suasana. Akara kian memanjang menandakan bahwa pesona sang mentari perlahan akan terganti indurasmi, sedangkan diri apatis tidak berubah dan tetap berpegang pada segala intuisi.
Sisa hujan membawa banyak genangan, sedangkan sisa perkelahian seolah menjadi sebuah bukti kekuatan.
Namun, melihat bagaimana hasil akhir didapatkan setelah tandang di markas Shishitoren justru membuat diri sepenuhnya terdiam. Sebab, Sakura Haruka masih tidak mengerti mengapa aksi adu jotos dikatakan sebagai bentuk komunikasi penyampai isi pikiran?
Tak ada hal selain dentum pukulan juga tendangan memenuhi rungu serta ingatan, bahkan daksa begitu larung ke dalam situasi runtuhnya pembatas ego ketika berhadapan dengan sang lawan. Bilur menjalar hingga terhias rudira mana mungkin dianggap sebagai percakapan antara dua insan saling berbagi, dirinya yang terlampau bodoh untuk mengerti atau mereka semua yang tidak mau memberi penerangan atas segala hal telah terjadi?
Tujuannya datang ke kota ini untuk menemukan jati diri, di mana ia sangatlah inginkan posisi tertinggi. Bukan tanpa alasan setiap ajun bersikeras diusahakan, tetapi meraih puncak memang jelas selalu menjadi hal utama diharapkan. Orang terkuat akan diakui semuanya. Dan orang lemah akan terhapus dengan sendirinya. Sedangkan sosok pemimpin semula terbesit bengis juga adikara nyatanya penuh senyum bahkan canda tawa, jika begini, bagaimana Haruka si anggara berhasil menggulingkan takhta?
Sedari dulu eksistensinya tak pernah diterima. Saban hari dipandang sebelah mata. Seluruh masyarakat jelas tidak mau menyapa jelmaan kutukan seperti dirinya. Seandainya berada di titik utama harus memiliki dukungan nyata, lalu ia bisa apa?
Haruka tidak pernah sekali pun menerima kehadiran orang lain untuk melengkapi hidupnya. Bahkan diri sendiri saja sepertinya sulit meski seujung kuku dibanggakan dengan begitu percaya juga terbuka.
Tetapi sekali lagi Haruka dibuat tidak mengerti dengan pola pikir bahkan untaian kalimat singkat dari kakak kelas di hadapannya, diri yang terlalu larut dalam nestapa berkepanjangan ataukah Umemiya Hajime yang memang terlalu naif sehingga begitu mudah menerima orang baru di sekitarnya?
"Ketika mengetahui bahwa ada orang luar kota datang kemari, aku jadi penasaran kira-kira akan seperti apa sosoknya, ya?"
Lengkungan kurva terlukis lebar begitu menggemaskan, kedua mata sampai menyipit seakan menandakan jika memang kegirangan.
"Dan setelah melihatmu kemarin juga hari ini, aku sudah bisa menyimpulkan. Kau orang yang baik."
Tidak. Seharusnya memang tidak seperti ini.
Terasa elusif jika dirinya sanggup berbaur dalam waktu singkat begitu saja, terlebih Haruka sudah terlampau lama berada di dalam kondisi sara bara. Inginkan kursi teratas pun agar kelak ia bisa menerima dirinya sendiri, dan membuktikan pada semua orang bahwasanya sosok kerap dihujani banyak diperdom bisa memegang kendali.
Sialnya setiap pemikiran kini perlahan terasa dipatahkan begitu saja, dan tidak bisa sekadar menjawab dengan ribuan sawala. Terus menebar senyum secerah dompet awal bulan seperti mereka, atau melihat sekitar kemudian menerima seseorang tanpa niat untuk meninju wajah itu adalah mustahil baginya. Haruka tidak bisa.
Kota ini aneh sekali. Warganya apalagi.
Kring!
"Permisi, Kotoha?"
Alunan merdu dari suara lembut di ambang pintu pun membuyarkan lamunan, iris heterochromia sontak melirik ketika mendapati sosok menawan dilengkapi sebelah tangan membawa kantong belanjaan. Tak terlihat jelas disebabkan posisinya berdiri menyamping, tetapi Haruka bisa langsung menyadari bahwa dia bukanlah orang asing.
"Belanjaanmu ada yang tertinggal. Maaf jika terlambat, tetapi sungguh, aku baru menyadari ketika menutup toko tadi."
"Eh?! Benarkah? Aku sendiri juga tidak menyadarinya. Jadi merepotkan sampai harus diantar kemari. Terima kasih, [Name]!"
"Bukan masalah. Kalau begitu, aku akan langsung kembali."
"Baiklah!"
"Hati-hati lho, [Name]-chan! Hari mulai gelap!"
Seperti mendadak ada gerakan lambat bertabur kerlipan bunga, bersamaan dengan sang gadis menoleh maka Haruka pun seketika terpana. Kedua tangan terkepal kuat di atas meja, wajah sampai telinganya bahkan sudah semerah tomat di kebun Umemiya.
Padahal, gadis itu tidak melakukan apa-apa selain melukis senyum seindah cahaya nirwana. Namun ... Haruka dibawa kembali pada kilas balik pertemuan pertama mereka.
Dia si penumbuh afeksi. Ada di sini.
"Terima kasih, Ume-san. Aku pasti akan hati-hati. Kalau begitu, permisi semuanya. Maaf mengganggu."
Tubuhnya membungkuk sopan, labium tetap mempertahankan lengkungan senyum melebihi batas kesempurnaan. Iris berkilau bak sahmura tak sengaja saling bersirobok dengan heterochromia di hadapan, hanya tiga detik tetapi berhasil membangkitkan euforia berkepanjangan.
Kring!
Gadis itu pergi, tetapi tidak dengan pair jantung yang justru semakin bergemuruh berisik sekali.
Satu kali lagi, Haruka dibuat tidak mengerti.
Kota ini aneh sekali. Warganya apalagi.
Bukankah kota Makochi masih berada di bumi, lantas mengapa ada bidadari?
➳༻❀✿❀༺➳
KAMU SEDANG MEMBACA
AFEKSI : Sakura Haruka
Fanfiction【 AFEKSI 】━━ ❝Sebab hati telah terbuka, mana mungkin ia abai begitu saja.❞ © WIND BREAKER, SATORU NII © COVER FANART BY ME! © DACHAAAN, 2024