Aku, Muiz, Fariz, Ridwan, Haikal, Sila, dan juga Melati keluar dari gerbang sekolah dengan semringah. Kami bertujuh bersahabat sejak kelas satu SD. Kebetulan kami satu kelas sehingga kami mulai akrab dan menjalin persahabatan yang erat.
Kami berangkat sekolah dengan mengendarai sepeda. Meski kami semua sudah memiliki sepeda masing-masing, namun kami lebih suka saling berboncengan. Aku dengan Sila, Muiz dengan Fariz, Ridwan dengan Melati, sedangkan Haikal sendiri.
Sebelum pulang ke rumah masing-masing, biasanya kami mampir terlebih dahulu ke lahan luas di kampung sebelah dan bermain dengan anak-anak lain.
Padahal orang tua kami sudah sering kali mengingatkan jangan terlalu sering main ke kampung sebelah. Mereka bilang anak-anak di sana nakal.Namun, kami tak peduli. Lagi pula, memang begitulah sifat anak-anak seusia kami. Terkadang anak-anak kampung sebelah mengajak kami bermain ke hutan. Kami sangat tertarik, namun Sila melarang keras kami untuk ikut bersama mereka. Sila selalu khawatir jika kami pergi ke hutan, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
“Woy, mereka sudah datang!” seru anak-anak kampung sebelah begitu melihat kami sedang memarkirkan sepeda di bawah pohon nangka.
Sila dan Melati segera berlari menghampiri gerombolan anak perempuan yang tengah bermain lompat tali. Mereka tampak bersemangat bergabung dengan permainan itu.
Sementara itu, aku, Muiz, Fariz, Ridwan, dan juga Haikal langsung melepas sepatu dan segera berkumpul di tengah pekarangan untuk bermain bola. Kami tertawa-tawa dan saling berebut bola, menendangnya ke arah gawang yang dibuat seadanya.
Suasana di lahan luas itu begitu ramai dan ceria. Anak-anak dari kedua kampung berbaur, saling bercanda dan bermain bersama tanpa memandang perbedaan. Kami semua larut dalam kegembiraan, melupakan peringatan orang tua kami tentang anak-anak kampung sebelah yang katanya nakal. Bagi kami, mereka adalah teman-teman yang menyenangkan untuk diajak bermain.
***
“Oi Sakti, Sila terjatuh!” teriak gadis berkuncir dua dengan panik.
“Sebentar kawan, aku akan segera kembali,” ucapku dan segera berlari ke arah gerombolan para gadis.
Sila terduduk dengan memegangi lututnya yang berdarah. Aku berjongkok di depan Sila.
“Sakit?” aku bertanya dengan nada khawatir.
“Perih, Sakti. Tapi tidak apa-apa, aku akan berhenti bermain,” jawab Sila. Meskipun Sila adalah gadis pemberani dan cerewet seperti emak-emak, dia tetaplah gadis normal yang lemah jika terluka. Aku dapat melihat jelas mata Sila yang berkaca-kaca.
“Luka seperti ini harus segera diobati, Sila. Ayo kita pulang,” aku menggenggam tangan Sila dengan lembut.
Sila menggeleng, “tidak, luka ini tidak parah. Aku akan duduk di bawah pohon sambil melihat kalian bermain. Tidak enak jika kita pulang duluan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Merengkuh Sebuah Harapan (TERBIT)
General FictionHarapan tak selalu terwujud. Bagai bunga yang mekar di padang, harapan tumbuh dalam setiap insan. Namun, tak selalu berujung pada kata "terwujud", terkadang hanya menjadi angan yang terhempas. Bagai ombak yang menghantam karang, harapan bergulung-gu...