Aku dan Muiz menikmati istirahat siang kami di warung makan langganan dekat kantor. Sudah lama kami tidak mampir ke sini, biasanya kami hanya memesan makanan secara Online. Kali ini Muiz begitu merindukan masakan lezat Mbok Nunung, pemilik warung ini. Kami pun memutuskan untuk makan siang di luar.
Setelah menghabiskan hidangan yang memuaskan, kami masih punya waktu sekitar 20 menit sebelum harus kembali ke kantor. Kami memutuskan untuk bersantai sejenak, menikmati suasana warung yang tenang.
Tiba-tiba, dari ambang pintu, kami melihat seorang gadis cantik berambut panjang dan berkulit putih berdiri dengan ekspresi bingung, mencari tempat duduk kosong. Muiz yang mengenali sosok itu segera menyunggingkan senyum. Tanpa ragu, ia melambaikan tangan dan memanggil gadis itu untuk bergabung dengan kami.
Gadis itu, yang tak lain adalah Mira, tampak senang melihat kami. Ia segera menghampiri meja kami. Kami pun menyambutnya dengan hangat, siap untuk menghabiskan sisa waktu istirahat siang dengan obrolan ringan bersama Mira.
“Muiz, Sakti, kita bertemu lagi,” ucap Mira dengan senyum cerah.
“Silakan duduk, Mira,” titah Muiz, mempersilakan gadis itu bergabung dengan kami.
“Terima kasih,” sahut Mira, segera mengambil tempat di samping kami.
Kehadiran Mira kembali membangkitkan memori indah saat kami pertama kali berjumpa. Tentu saja, aku tak akan pernah melupakan hadiah sederhana yang ia berikan padaku kala itu.
“Apa kabar, Mira?” tanyaku, membuka percakapan.
“Baik. Kalian sudah makan?” balasnya.
“Sudah, baru saja selesai. Kau sendiri ke sini untuk membeli makanan?” Muiz bertanya dengan antusias.
“Ah, tidak. Aku hanya ingin bertemu dengan ibu Nunung. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan tentang Uncle Toton,” jelas Mira.
“Oh, bagaimana kabar pamanmu itu?” Aku kembali bertanya, penasaran.
“Sayang sekali, Uncle Toton sudah meninggal 3 tahun lalu,” ujar Mira dengan raut wajah sedih. “Aku ke sini karena katanya dulu Uncle sering makan di sini, dan papahku bilang ada sesuatu yang Uncle titipkan pada ibu Nunung.”
“Maafkan kami, Mira. Kami tidak bermaksud membuatmu sedih,” ucapku dengan nada menyesal.
“Ah, tidak apa-apa, Sakti,” Mira menjawab dengan senyum menenangkan.
Muiz melirik jam tangannya, lalu menatapku. Aku tahu betul arti tatapan itu - kami harus segera kembali ke kantor.
“Mira, maaf, kami harus segera kembali ke kantor,” ujarku dengan nada menyesal.
“Oh, begitu. Baiklah, kalian tidak boleh terlambat,” Mira memahami situasi kami.
“Sampai bertemu lain waktu, Mira,” ucap Muiz seraya tersenyum, dibalas anggukan dan senyum manis dari Mira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merengkuh Sebuah Harapan (TERBIT)
Ficción GeneralHarapan tak selalu terwujud. Bagai bunga yang mekar di padang, harapan tumbuh dalam setiap insan. Namun, tak selalu berujung pada kata "terwujud", terkadang hanya menjadi angan yang terhempas. Bagai ombak yang menghantam karang, harapan bergulung-gu...