Ketika kami melihat Fariz dan Ridwan berjalan dengan pakaian toga yang melekat di tubuh mereka, kami tidak bisa menahan diri untuk bersorak riang. Haikal dengan gembira merangkul kedua temannya, menempatkan dirinya di antara mereka.
Kami semua berkerumun, senyum haru terukir di wajah kami. Aku bangga, akhirnya kedua temanku berhasil menyelesaikan pendidikannya. Aku juga ikut merangkul Fariz dan Ridwan. Sila, Melati dan Mira juga ikut merangkul mereka.
“Ayo kita abadikan momen ini dengan berfoto!” ajak Fariz dengan semangat.
“kebetulan aku membawa kamera,” ungkap Melati sembari mengangkat kameranya.
“Itu memang tugasmu untuk membawanya, Melati” timpal Ridwan.
Kami mulai berjejer, bersiap untuk mengabadikan momen berharga ini. Kami saling bertatap sesaat sebelum akhirnya tertawa menyadari siapa yang akan mengambil gambar.
Mira mengacungkan jari, “ biar aku saja.”
“Tidak Mira, kau harus ikut berfoto bersama kami” ucapku.
“Tidak apa, Sakti. Kemarikan kameranya, ayo semunya bersiap-siaplah” Mira meraih kamera dari tangan Melati. Ia berjalan beberapa langkah ke depan, mencoba mencari posisi yang pas untuk memotret kami.
Kami berpose, bersiap untuk dipotret. Kami semua tersenyum lebar, ikut merasakan bahagia. Mira memotret kami dengan lihai, banyak gambar yang ia tangkap. Aku merasa tidak enak, ia datang jauh-jauh masa hanya untuk menjadi tukang foto.
“Mira, kemarilah. Giliran aku yang mengambil gambar, kau bergabunglah bersama kami” ujarku.
“Apa tidak sebaiknya kita minta tolong saja sama orang lain, supaya kita semua bisa berfoto bersama” usul Muiz.
Haikal mengangguk setuju, ia tersenyum begitu melihat seorang pria berjalan di depan kami.
“Permisi Mas, boleh minta fotoin?” pinta Haikal. Pria itu mengangguk. Kami semua tersenyum dan mulai bersiap. Puluhan jepretan foto berhasil diabadikan. Kami berterima kasih kepada pria tersebut. Fariz dengan baik hati memberikan upah pada pria yang telah membantu kami.
“Jadi, ke mana kita hari ini?” tanya Haikal memberi kode.
“Makan-makanlah, kapan lagi ditraktir abang Fariz yang banyak duit ini” timpal Melati jahil.
Fariz hanya tersenyum pasrah.***
Malam ini kami berkumpul dalam kehangatan, berbagi canda di tengah hidangan yang tersaji di meja panjang. Fariz membawa kami ke sebuah restoran yang tak jauh dari apartemennya, seolah ingin mengabadikan momen yang lama dinantikan. Tak pernah terlintas dalam benakku bahwa kami akan bisa berkumpul seperti ini lagi, sebuah pertemuan yang kurindukan dalam setiap sunyi.
Sambil menyantap makanan, kami mendengarkan kisah Fariz dan Ridwan yang penuh perjuangan melewati pahit-manisnya menyelesaikan skripsi hingga akhirnya mereka berhasil lulus. Aku hanya bisa ber-wow kagum, berkali-kali dibuat takjub oleh cerita mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merengkuh Sebuah Harapan (TERBIT)
General FictionHarapan tak selalu terwujud. Bagai bunga yang mekar di padang, harapan tumbuh dalam setiap insan. Namun, tak selalu berujung pada kata "terwujud", terkadang hanya menjadi angan yang terhempas. Bagai ombak yang menghantam karang, harapan bergulung-gu...