Keesokan harinya, setelah Sila terluka kemarin, kami memutuskan untuk tidak bermain ke kampung sebelah. Sila dengan jujur menceritakan kejadian itu kepada ibunya, dan akhirnya kami dilarang untuk pergi ke sana lagi.
Siang ini, kami sedang menikmati jajan di warung dekat sekolah. Fariz, yang merupakan teman kami yang paling kaya, dengan murah hati membeli banyak jajanan untuk dibagikan kepada kami semua. Namun, Haikal, si pencuri ulung, dengan cekatan merampas beberapa jajanan dari tangan Fariz.
Muiz, yang dikenal sebagai anak yang baik hati, langsung menegur Haikal dengan menggerakkan telunjuknya di depan wajah Haikal. Haikal pun menghela napas pasrah dan meletakkan kembali semua jajanan yang dirampasnya di atas meja kayu yang sudah keropos.
“Kau tidak boleh serakah, Ical,” tegur Muiz dengan lembut.
“Iya, iya, aku sudah menaruhnya di sini. Sekarang ambillah,” ujar Haikal dengan nada pasrah. Aku segera mengambil dua bungkus snack jagung. Satu bungkus aku berikan kepada Sila.
“Melati, apa kau mau cokelat?” tanya Ridwan sambil menyodorkan cokelat kacang kepada Melati. Melati mengangguk dengan senyum, lalu menerimanya.
Kami asyik menikmati jajanan sambil sesekali bercanda. Namun, tiba-tiba datang gerombolan anak SMP yang nakal. Mereka sering usil dan memeras uang saku kami.
Kami terdiam sejenak, menatap mereka dengan was-was. Kami tahu mereka akan mengganggu kesenangan kami hari ini. Namun, kami berusaha tetap tenang dan tidak memancing keributan. Kami hanya berharap mereka segera pergi dan membiarkan kami menikmati jajan kami dengan tenang.
“Oi Sakti, berani-beraninya kau mengajak kawan-kawanmu kemari. Ini tempat kami, cepat pergi!” ucapnya dengan tatapan tajam.
“Tidak salah bukan? Kalian bisa duduk di sana,” aku menunjuk deretan kursi yang masih kosong, berusaha menenangkan situasi.
“Berani kau sama kita, hah?!” Dia mendorongku dengan penuh kekesalan. Sementara teman-temannya mulai mendekati kami dan merampas semua makanan yang kami punya.
“Dasar anak ingusan, cepat pergi!!” bentak salah satu dari mereka.
Tak ingin menciptakan keributan di tempat umum, Muiz menepuk bahuku dan mengajak kami semua untuk pergi. Kami terpaksa meninggalkan jajan kami dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Perasaan kami campur aduk, antara kesal, kecewa, dan takut. Kami tidak bisa berbuat banyak menghadapi gerombolan anak SMP yang lebih besar dan kuat itu. Meski hati kami dongkol, kami memilih untuk menuruti ajakan Muiz demi menghindari masalah yang lebih besar.
Sepanjang perjalanan, kami terdiam, masih merasakan ketidakadilan yang baru saja kami alami. Namun, kami berjanji dalam hati untuk tidak menyerah dan akan mencari cara untuk menghadapi mereka suatu hari nanti.
***
Kami tertawa terpingkal-pingkal mendengar Sila yang terus mengomel tidak jelas. Sesekali aku menengok ke belakang untuk melihat wajah Sila. Gadis itu terus saja meracau bak burung yang kelaparan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merengkuh Sebuah Harapan (TERBIT)
General FictionHarapan tak selalu terwujud. Bagai bunga yang mekar di padang, harapan tumbuh dalam setiap insan. Namun, tak selalu berujung pada kata "terwujud", terkadang hanya menjadi angan yang terhempas. Bagai ombak yang menghantam karang, harapan bergulung-gu...