1. Agnia Rosalina

1K 179 150
                                    

Selamat datang di "Merengkuh Sebuah Harapan"
Salam hangat dari Cimollin
.
.
.
Dukung Cimollin yuk dengan cara follow akun wattpad ini dan jika ingin tahu tentang Cimollin kalian bisa kunjungi instagramku @Cimollin_rsq dan jika kalian ingin melihat konten seputar cerita ini silakan kunjungi akun instagram @wattpad_bycimollin
...


Dulu, saat masih kanak-kanak, aku sering menangis tanpa henti. Terjatuh dari sepeda, tersandung, tak diajak bermain, tak diberi uang jajan, dipaksa makan siang, oh betapa sedihnya. Tangisan demi tangisan, keluh demi keluh, merajuk dan mengaduh, entah berapa kali. Wajar saja, aku hanyalah bocah kecil yang baru menginjak usia lima tahun.

"Eee dasar bocah!" mereka sering berkata.

"Kecil-kecil sudah nakal, mau jadi apa kamu?"

"Mengaduhlah kau, sampai terkencing-kencing pun tak apa!"

Mungkin jawabanku saat itu adalah...

"Tentu saja, aku bukan sayur kol yang bisa diperlakukan semena-mena. Aku manusia kecil, yang kelak akan tumbuh dewasa. Bukan adonan tepung yang bisa diberi bumbu apa saja."

"Aku akan beranjak dewasa, sesuai dengan takdir yang ditetapkan."

"Lalu, akankah mereka mau memandikanku? Tentu saja tidak, mereka pasti tak sudi."

Aku menghela napas berat, merasa muak dengan ocehan ibu-ibu daster bunga-bunga itu. Seandainya saja manusia terlahir dengan kedewasaan, mungkin tak perlu lagi ada ayunan, botol susu, atau mainan kaleng etek-etek yang suaranya nyaris menyamai knalpot rusak.

Rasa kesal juga menyergapku saat melihat ibu-ibu itu selalu melarangku bermain pasir milik tetangga yang sedang merenovasi rumah. Harusnya mereka tahu, anak sekecil itu punya segudang pertanyaan mengenai lingkungannya yang penuh misteri.

Tiba-tiba, aku terkejut bukan main saat melihat truk yang mengangkut pasir, lalu menumpahkannya di lahan kosong dekat rumah tetangga. Gundukan pasir itu membentuk sebuah gunung yang kemudian aku dan kawan-kawanku berlarian menghampirinya. Kami memainkan pasir itu dengan sesuka hati, sampai akhirnya pemilik pasir itu menghampiri kami seraya berkacak pinggang.

"Kalian ini, pasir bukan untuk mainan. Cepat pergi dan jangan kacaukan orang kerja!" tegurnya dengan nada ketus.

Ibu berdaster ungu itu mengusir kami. Sila, kawanku itu memasang wajah kesal dan mengerucutkan bibirnya. "Mak rombeng," ucap Sila dan berlari terbirit-birit. Aku tertawa renyah dan ikut berlari bersama kawanku yang lain.

Harap-harap ibu itu tidak mengaduh pada orang tua kami. Lagi pula seharusnya mereka memaklumi kenakalan kami yang masih terbilang wajar. Kami hanyalah anak-anak yang ingin bereksplorasi dan memuaskan rasa ingin tahu.

Merengkuh Sebuah Harapan (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang