Sampai Menutup Mata

4.4K 94 4
                                    

Embun di pagi buta
Menebarkan bau basah
Detik demi detik ku hitung
Inikah saat ku pergi?

Seorang gadis bersandar di kursi roda yang didudukinya seraya menghirup udara pagi yang masih segar. Cukup lama. Sekitar setengah jam yang lalu. Di mana sang mentari yang belum terbit saat si gadis ini sudah berinteraksi dengan ribuan embun yang membasahi populasi flora yang ada di taman depan rumahnya pun kini sedikit demi sedikit mulai memamerkan kilauan sinar hangatnya hingga menerpa wajah gadis tersebut.

Sivia Rainsha. Nama gadis itu. Gadis yang kini kedua matanya sedikit terpejam karena berusaha menghalau sinar mentari yang sangat menyilaukan itu. Lalu ia tersenyum kemudian. Entah kenapa. Mungkin merasa begitu bahagia karena sudah cukup lama sekali ia tidak merasakan hangatnya sinar mentari pagi dan juga sudah tidak terlalu sering lagi untuknya melihat ribuan tetes embun yang menggenang kecil di dedaunan dengan indahnya.

Tepat sejak sebulan yang lalu. Sebulan yang mungkin merupakan bulan tersuram yang pernah Sivia alami. Bagaimana tidak, Sivia yang dulu hidupnya selalu ceria dan baik-baik saja tiba-tiba divonis oleh dokter mengidap penyakit mematikan nomor dua di dunia. Kanker. Ya, Sivia mengidap penyakit kanker di otak kirinya. Dan kanker itupula yang telah merubah hidup keluarga Sivia hampir seratus delapan puluh derajat. Keuangan keluarganya yang dulu cukup dibilang di atas rata-rata pun kini mulai berangsur habis dan hampir tak bersisa karena terpakai untuk membiayai semua perawatan Sivia selama ini. Miris memang, tapi mungkin itulah takdir yang harus mereka jalani.

Namun saat ini, entah karena sudah terlalu pasrah dengan takdir, Sivia memilih tinggal di rumah dan tidak ingin lagi berurusan dengan obat-obatan yang menjerat organ tubuhnya secara paksa. Meski semua orang terdekatnya menolak akan pilihan Sivia tersebut, Sivia tetap kekeh dengan pilihannya. Ia sudah tak ingin lagi menyusahkan orang lain terlebih orang tuanya yang mati-matian pinjam uang sana-sini demi menebus perawatan yang dijalaninya. Yang jelas sekarang Sivia sudah pasrah dan memberi kekuasaan penuh kepada Tuhan akan keputusan terbaikNya nanti. Apa Ia akan memberikan hidup yang lebih lama lagi pada Sivia, atau mungkin sebaliknya, mengambil kehidupan itu sendiri dari tubuh Sivia. Karena bagaimana pun Tuhan berkehendak, Sivia harus selalu ikhlas menerimanya. Toh bukankah semua manusia akan kembali padaNya suatu saat nanti?

Kembali, Sivia menghela napas. Kali ini napas gusar lah yang ia tunjukkan saat matanya menangkap beberapa helai rambut yang terjatuh di pundak kanannya. Lantas ia mengambil dan memandang helaian rambut itu dengan senyuman kecil.

"Rambutku. . ." gumamnya perlahan. Mengingat akan rambutnya yang memang sudah tak tersisa lagi saat ini, senyuman kecil itu tiba-tiba ditemani dengan butiran bening yang masih menggenang di sudut mata Sivia.

"Rambutku sudah habis, Tuhan." lalu ia terdiam lagi setelahnya. Efek kemoterapi yang telah empat kali dijalani Sivia itu sudah merenggut sedikit demi sedikit mahkota terindah yang Tuhan anugerahkan kepadanya tersebut.

"Dan. . . Apakah detik-detik hidupku akan segera berakhir juga seperti nasib rambut ini, Tuhan?" lagi-lagi Sivia bergumam lirih. Kali ini seperti sebuah pertanyaan yang memang tak membutuhkan sebuah jawaban pasti baginya. Lantas Sivia memejamkan mata seraya menggenggam erat helaian rambut di telapak tangannya.

"Kalaupun itu harus terjadi, aku selalu siap. Aku. . ." semakin kuat mata Sivia terpejam, semakin erat juga tangannya menggenggam. Berusaha setegar mungkin meski sebenarnya ada rasa takut yang menyeruak hebat di dalam dadanya.

"Aku. . ." belum sempat gadis ini melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba. . .
"Ayo tebak siapa?" seru seseorang tiba-tiba. Kedua tangannya yang menutupi mata Sivia dari belakang itu cukup membuat gadis tersebut merasa kaget.

ALVIA'S STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang