Hari ke-26 di Kesawan.
Hari ini terasa berat, aku mungkin banyak menghela nafas atau menahan nafas karena otakku berkecamuk tak berkesudahan dari pagi hingga malam.
Bagaimana kau bisa hidup tenang jika suasana rumah porak-poranda tak karuan? Biasanya aku datang ke Kesawan pukul 10 pagi, hari ini pukul 8 malam aku baru datang, bayangkan apa yang menghalangiku dari tadi pagi?
Adik tiriku terus membuatku kesal karena selalu dimanja oleh Mamakku. Sekalinya aku memberontak Bapak meninggikan suaranya padaku padahal adik tiri melakukan kesalahan. Semenjak adik tiri diadopsi aku tidak diberi kasih sayang yang cukup, ketidakadilan dan pilih kasih yang kudapat.
Meski aku sudah 20 tahun, memang aku anak yang mandiri tapi semua kenakalan adik tiri seharusnya jangan dimaklumi, aku mengaku kalau aku masih butuh perhatian mereka.
Dari sebelum adik diadopsi aku memang kurang setuju tapi Mamak punya sifat iba yang kuat, kasihan anak yatim piatu, katanya.
Ah, sialan!
Perkotaan Medan ketika Sabtu malam memang selalu ramai. Muda-mudi menghabiskan malam mereka dengan duduk-duduk di kursi panjang yang terletak di bahu jalan, Kesawan cukup untuk membuat masyarakat Medan betah dengan daerah khusus yang terletak di pusat kota yang menampilkan struktur bangunan peninggalan masa penjajahan, apalagi estetika Kesawan sangat diincar karena dapat memanjakan mata. Kesawan adalah tempat favoritku, di sini tempat aku bercinta dengan hobi menulis dan melukisku.
Dara Bintang Telaumbanua. Kakek yang memberiku nama itu, maknanya bagus, katanya. Telaumbanua itu marga dari suku Nias, aku memiliki suku Nias-Jawa, bapak bersuku Nias dan mamak bersuku Jawa. Meski dulu hubungan antara mamak dan bapak tidak direstui oleh keluarga mereka masing-masing, cinta dan perjuangan mereka mampu menyatukan dua keluarga berbeda suku menjadi satu. Kuakui orang tuaku berhasil dalam rumah tangga mereka tapi tidak dengan anak mereka.
Aku seorang mahasiswa semester empat jurusan Sastra Indonesia di Universitas Sumatera Utara, aku aktif dalam banyak kegiatan mahasiswa yang berkaitan dengan sastra maupun seni. Biasanya seorang penulis itu tidak selalu akrab dengan aktivitas olahraga, aku justru memiliki kemampuan bela diri dan harus punya jadwal khusus untuk berolahraga seperti jogging, senam, meditasi, yoga ataupun lari keliling komplek bahkan kami juga punya gimnasium sendiri di rumah nenek dan kakek.
Nenek memaksaku mempelajari ilmu bela diri waktu aku masih umur tujuh tahun, katanya supaya aku bisa melindungi diri dari manusia-manusia durjana. Nenek dari mamakku saat masih gadis tipe yang tomboy dan ilmu bela diri itu sudah turun temurun dari moyangku, sebab itu nenek sangat bersikeras mendidik cucu satu-satunya untuk senantiasa menjaga diri. Ya… walaupun aku sekarang mempunyai adik tiri. Tetap saja dia bukan siapa-siapa di keluarga kami.
Aku rutin berolahraga di gimnasium nenek setiap hari Minggu. Kalau kata kakek, “Bagus untuk ototmu biar kuat.” Aku akui kakek punya sixpack di perutnya ketika masih muda, dan itu berhasil membuat nenek tergila-gila dengan kakek karena pria yang hobi berolahraga itu idaman nenek banget, mereka bertemu lalu pacaran, setelah itu mereka menikah, aku cucunya.
Turunan bakat menulis dari keluarga bapak. Kakek adalah seorang Jurnalis serta anak-anaknya pun punya pekerjaan sebagai Jurnalis.
Sewaktu aku masih umur tujuh tahun, nenek mengajak anak tetangga sebelah rumahnya untuk turut ikut belajar silat bersama denganku. Anak laki-laki itu biasa kupanggil Bobul yang artinya Bocah Gembul karena dia memiliki badan besar, gemuk dan pipi tembam.
Dia tukang makan dan malas bergerak, nenek tidak tahan melihat anak yang pola makannya berlebihan seperti itu jadi nenek juga harus membuat bobul tersiksa dengan semua latihan fisik. Nenek dengan keluarga bobul juga sangat dekat bahkan mereka saling memberi makanan setiap hari.
Aku suka memainkan pipinya yang penuh itu sampai dia menangis kesakitan. Kami dulunya sangat dekat, ke mana-mana selalu berdua, duduk berdua di kelas, kami juga pernah dijodoh-jodohi karena banyak orang bilang wajah kami mirip.
Saat aku masih menempuh sekolah dasar, aku dirundung habis-habisan, aku dipermalukan, dihukum guru BK karena ketahuan membawa pisau kecil dan mereka mengira aku ingin mencelakai siswa lain padahal nenek yang menyuruhku membawa pisau itu untuk jaga-jaga, aku juga pernah hampir dikeluarkan atas tuduhan berbuat mesum di gudang sekolah padahal aku disekap dan mau diperkosa oleh guru Matematika yang terkenal galak. Alasan guru bejat itu ingin memperkosaku karena aku tidak terlalu paham dengan pelajaran berhitung dan selalu kedapatan tidur di jam pelajaran dia.
Tindakan guru itu berhasil dicegah oleh bobul, dia yang menyelamatkanku dari fitnah serta pelecehan guru gila itu. Tapi ketika kami lulus SD, bobul pindah ke luar negeri ikut orang tuanya dan dia tidak akan pulang ke Medan untuk selamanya. Aku sedih sekaligus kecewa karena hanya dia teman yang mau berteman denganku saat itu.
Banyak teman-teman semasa sekolahku menganggap aku cewek kurang pergaulan sejak kepergian bobul, aura suram atau sombong, aku tidak peduli dengan semua sebutan dari mereka, aku selalu merindukan bobul, hanya bobul yang bisa membuatku ceria kembali. Aku akui dulu aku extrovert, semenjak bobul pergi, aku lebih suka menyendiri dan tidak mau bergaul dengan teman sebaya hingga tamat SMA. Masa-masa itu sangat menghancurkan hidupku hingga nenek melarikanku ke psikolog.
Nenek marah ketika tahu aku pergi dari rumah karena orang tuaku pilih kasih sejak kedatangan adik tiri. Aku sakit hati, bapak memarahi dan memaki-makiku karena aku mendorong adik tiri hingga jatuh lalu sengaja menangis, menuduhku yang bukan-bukan lantaran adik tiri sengaja merusak laptop hasil tabunganku selama empat tahun, di saat itu juga aku sedang pusing mengerjakan makalah, akan dikumpulkan besok di jam pelajaran pertama. Kejadian itu sewaktu aku sudah SMA.
Adik tiri sering menutupi kebenaran, dia membuatku selalu salah di mata orang tuaku, padahal dia hanya anak yang diadopsi dari panti asuhan, sedangkan aku anak kandung mereka yang masih butuh kasih sayang bukan bentakan.
Aku pergi dari rumah dua kali, saat masih SD dan saat SMA. Aku sempat pernah tinggal bersama dengan nenek selama enam bulan, enam bulan itu juga aku mengenal dan bersahabat dengan bobul. Bobul selalu mendengarkan curhatan tentang orang tuaku yang menyebalkan, dia tak hanya menenangkan, dia juga beri nasihat agar aku tidak sampai membenci mereka, bagaimana pun mereka orang tua yang telah merawatku hingga sebesar ini. Dia anak yang bijak, bertutur sopan pada siapa saja walau jahil perangainya. Dialah teman masa kecilku sekaligus sahabat, entah aku rasakan seperti seorang keluarga, rasanya aku juga menyimpan rasa cinta.
Aku sangat sedih dengan kepergiannya, dia yang mampu menyembuhkan depresiku. Aku benci dengan psikolog, mereka selalu memberikan pertanyaan yang bisa menguras energiku, bahkan ketika aku diam mereka akan mencatatnya di buku catatan menyebalkan yang lebih baik dibakar saja. Walaupun sosok bobul sudah tidak ada di sampingku, aku berusaha tetap tegar, menghempaskan rasa sakit hati yang terpendam yang datangnya dari mana mana.
Sebenarnya melukis tidak pernah menjadi hobiku dari kecil, melukis adalah hobinya bobul, setiap malam aku pergi ke Kesawan untuk mencari inspirasi kalau aku kepikiran atau merindukan bobul. Awalnya aku hanya membuat sketsa belum bersemangat untuk memberinya warna hingga lama kelamaan sketsa kuberi warna-warna pastel lalu aku pun mahir melukis banyak pemandangan berdasarkan apa yang kulihat di kota ini.
Aku duduk di kursi panjang coklat mengkilap di seberang Gedung Lonsum depan Lapangan Merdeka, membuat sketsa dengan pensil lukis dan kanvas hadiah pemberian bobul saat ulang tahunku yang ke delapan. Pensil dan kanvas itu tidak pernah kupakai karena aku pernah bilang pada bobul, "Sayang kalau dipake, mending dimuseumkan aja." dan sekarang aku sudah berumur 20 tahun, betapa aku rindukan bobul. Aku tidak pernah dengar lagi kabarnya di luar negeri sana, dengan kecanggihan teknologi sekarang pun tidak akan bisa membuatku bertemu atau sekadar tahu kabar bobul, kalau memang Tuhan tidak berkehendak. Apakah dia masih mengingatku?
To be continued..
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐄𝐮𝐧𝐨𝐢𝐚 𝐢𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐚𝐰𝐚𝐧
RomanceDibalik tenangnya jiwa Dara ketika berada di Kesawan, Dara sebenarnya gadis yang masih sangat suka mengutuk, keras, dan benci pada diri sendiri. Kepergian sahabat masa kecilnya adalah salah satu bagaimana Dara kehilangan keceriannya, bahkan orangtu...