IV

11 2 1
                                    

"Hari ke-28 di rumah penderitaan?"

Lelaki itu memasang wajah bingung, alisnya berkerut saat aku menulis kalimat pembuka di halaman kosong bergaris paling atas. Rencana bunuh diri digagalkan oleh dia, lelaki dengan gaya french crop-nya, kaus putih yang agak ketat karena kebesaran otot. Dia menginap di sini semalaman, aku tidak berharap untuk dijaga karena terakhir kali aku hanya ingin mati, dia menggagalkan semuanya.

Dia bukan siapa-siapa, kami tidak saling kenal sebelumnya tapi dia begitu baik menanggung biaya rumah sakitku bahkan sempatnya menjagaku di sini, berbeda sekali dengan orangtuaku yang bahkan mereka tidak peduli dengan bagaimana keadaanku sekarang.

Dia memberiku makan, selalu memantau apabila aku ingin sesuatu atau dimintai tolong untuk menuntunku ke kamar mandi. Sepanjang malam sejak terakhir aku ingin bunuh diri, aku sama sekali tidak mengobrol dengannya karena aku terus tidur tak bangun-bangun hingga pagi ini aku merasa tidurku sudah cukup. Kata dokter sebaiknya jangan sampai kepalaku terbentur lagi karena aku bisa terkena konkusio atau gegar otak, bisa juga memicu hilang ingatan.

Aku mengangguk, "Suka nulis diari, ya? Terus itu kenapa rumah penderitaan?" dia bertanya begitu penasaran. Membenarkan posisi duduknya di atas kursi, memusatkan atensinya pada jawaban yang akan aku berikan, entah kenapa dia mengingatkanku pada bobul, anak berjiwa penasaran yang menggebu, keingintahuannya membuat bobul puas atau kalau dia tidak dapat jawaban, dia akan sangat berisik melontarkan pertanyaan-pertanyaan pagi hingga malam tak pernah lupa.

"Ini bukan sekadar diari, kuberi nama Eunoia in Kesawan. Isinya bukan cuma apa yang aku anggap peristiwa bahagia, keluh kesah selalu aku tuangkan dalam buku ini, ibaratkan buku ini adalah teman curhat walau gak pernah menanggapi atau ngasih solusi," kataku, dia mengangguk paham, "dan kalau rumah penderitaan itu menggambarkan rumah sakit karena emang rumah sakit itu bikin pasien kayak aku menderita."

Dia terkekeh, padahal aku bersikap biasa saja dan rautku sudah pasti polos kelihatannya. Apa yang lucu? Faktanya memang rumah sakit membuatku menderita.

"Ada-ada aja kamu. Emang sih rumah sakit itu bikin orang jadi sakit tapi luka-lukamu itu gak akan sembuh kalo gak ditangani di rumah sakit." Dia mengambil tumbler stainless dari atas nakas, meneguk air yang aku tak tahu itu kopi, teh atau minuman soda barangkali dan tidak mungkin susu, 'kan?

"Mau?" Dia menawarkan setelah aku memandanginya agak lama ketika dia minum. "Apa itu?" tanyaku.

"Susu."

Serius?? Lelaki berotot seperti dia minum susu? Eh, tapi biasa orang berotot yang dikonsumsi kalau bukan makanan porsi kuli tinggi protein ya susu fitness.

"Susu fitness?" Dia malah menggeleng.

"Kenapa kamu kira aku minum susu fitness?" Aku menunjuk ke arah badan berototnya.

"Enggak. Aku gak hobi minum gituan, ini susu biasa kok, mungkin kamu bakal ngira aku kayak anak kecil, gak maco gitu tapi kalo mood terasa kurang enak aku minumnya susu. Daripada aku ngerokok, ngopi berlebihan atau mabok."

Benar yang dikatakannya. Apa enaknya minum kopi bergelas-gelas, merokok sampai dua kotak demi menghilangkan stres, itu juga bisa membahayakan kesehatan. Seperti dalam penggalan slogan di buku novel Gadis Kretek.

"Btw, kenapa kamu semalam mau bunuh diri? Ada masalah?" Dia memang cowok yang super penasaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Btw, kenapa kamu semalam mau bunuh diri? Ada masalah?" Dia memang cowok yang super penasaran. Dari sekian banyak kalimat yang aku tuangkan ke buku catatan, baru kali ini aku teringin curhat padanya, aku tidak selingkuh dari buku catatan, sesekali aku pasti boleh curhat pada manusia yang akan menanggapi keluh kesahku, tidak hanya dengan kutulis di atas buku dan kalimat-kalimat itu semakin tua.

"Aku cekcok sama orang tuaku. Aku diperlakukan gak adil, orang tuaku lebih sayang adikku daripada aku."

"Emang salah ya kalo orang tuamu sayang sama adekmu sendiri?"

Aku terdiam sejenak, menatap lurus ke dinding. "Gak salah, hanya saja aku seperti dianaktirikan. Anak yang diadopsi dari panti asuhan lebih disayang daripada anak kandung."

Sudah aku tebak dia pasti heran, alisnya berkerut, pasti banyak pertanyaan ada dalam kepalanya saat ini.

"Maksudmu... adikmu itu bukan adik kandung?" Aku menggeleng seraya menarik bibir ke bawah.

Tiba-tiba saja aku ingin mengakhiri percakapan ini karena samar-samar perkataan pedas dari mamak muncul di kepalaku. Rasanya aku ingin menghempaskan tubuh saat mengingat kepedihan itu ke lantai. Berantakan jiwaku.

"Maaf, aku kayaknya bikin kamu kepikiran, ya?"

"Oh, gakpapa kok, kamu juga yang ngeliat aku mau bunuh diri. Tapi kenapa kamu mau bantu aku terus? Aku berpikir kamu lebih peduli daripada orang tuaku sendiri."

"Mamaku selalu ngajarin aku kalau bantu orang dengan ikhlas itu akan mendatangkan hal yang baik, pada orang yang kutolong atau aku sendiri. Aku juga belajar dari sosok perempuan yang selalu membantu siapapun yang kesusahan, gak ada perangainya yang memperlihatkan dia mengharapkan balasan, dia tulus, bersih sekali hatinya."

Beruntung sekali perempuan itu.

"Tapi aku gak ikhlas saat kebaikannya dibalas dengan perlakuan buruk, kepolosannya dibalas dengan rundungan, aku ngerasa bersalah pernah tinggalin dia di saat dia cuma punya aku. Sekarang aku ingin membayar rasa bersalahku dengan kembali ke Medan dan akan menjadi teman masa kecilnya lagi."

Kenapa aku mengingat sesuatu yang tidak asing? Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, lelaki di depan mataku ini seperti sosok yang selama ini selalu kurindukan, mungkinkah dia? Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi tapi entah kenapa mulutku ingin bertanya sesuatu, penasaran sekali jiwa ini.

"Siapa namanya?" tanyaku dengan wajah serius dan super penasaran. "Aku memanggilnya Bita, Bintang Tangguh."

Aku menghempaskan buku catatanku begitu saja di samping kanan kasur, membuka selimut dan kaki kuturunkan ke bawah.

"Eh, mau ke mana? Aku tuntun, ya?"

"Gausah, aku bisa kok, cuma mau ke kamar mandi aja."

Dia sudah berancang-ancang untuk membantuku jalan tapi karena kutolak dan terburu-buru dia akhirnya pasrah.

Aku tidak sedang kebelet pipis atau pup. Kau berpikir untuk apa aku pergi ke kamar mandi?

AKU INGIN MENANGIS TERHARU.

Tolong jangan biarkan ada yang ganggu kehisterisanku, Tuhan.

Mungkin aku akan pingsan.

To be continued..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐄𝐮𝐧𝐨𝐢𝐚 𝐢𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐚𝐰𝐚𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang