9. Makan malam

56 6 1
                                    

Kenangan yang tidak bisa dirinya lupakan sampai sekarang, tetapi semudah itu bagi Lea melupakan dirinya. Bahkan tidak mengenali dirinya, Lea menatapnya dengan tatapan merasa tidak bersalah. Ia sudah menahan diri, tetapi Lea tetap seperti seorang yang tidak mengenali dirinya membuatnya sangat marah dengan wanita yang berada di depannya ini.

Selama perjalanan juga mereka hanya diam, tidak mengatakan apapun. Lea hanya merasa tidak nyaman dengan suasana canggung ini, dia terus melirik Dean yang hanya diam. Tidak seperti biasa lelaki itu bersikap seperti ini, sehingga ia merasa bersalah karena bertanya.

"Dean?"

Lea memanggil namanya, tetapi terlihat kalau Dean tidak mendengar suaranya yang pelan. "Dean." panggilnya lagi dengan suara agak keras.

"Ya? Ma-maafkan saya Lea, saya sibuk dengan pikiran saya sendiri." Pria itu tampak gusar, dia memijit pelipisnya. "Ada yang ingin kamu katakan?"

"Ah, saya minta maaf pak Dean."

Pria itu memiringkan kepalanya, "minta maaf?" tanyanya kembali, "kenapa? Untuk apa?"

"Seperti pak Dean tidak nyaman dengan pertanyaan saya tadi, saya minta maaf kalau itu menyinggung bapak."

Dean menatap Lea yang menunduk. Ia semakin ragu, apakah benar wanita di depannya ini adalah Lea yang dirinya cari? Tetapi nama dan wajah mereka terlalu mirip jika hanya disebut kembaran. Tanda lahir yang ada di pergelangan tangannya, tahi lalat yang berada di ujung hidung dan ujung mata kanan gadis itu. Semua itu terlalu mirip, apakah benar gadis ini melupakan dirinya?

"Sekali lagi saya minta maaf Lea, tingkah ceroboh saya membuat kamu merasa tidak nyaman. Mari kita lupakan saja, ya?"

"Baiklah,"

Seperti tidak terjadi sesuatu, mereka kembali bercakap dengan tenang. Saling melempar candaan dan menikmati makan malam hari dengan santai. Tidak seperti makan malam pertama mereka, Dean terus saja menggoda dirinya untuk mengajak tidur bersama. Tetapi sisi baru Dean saat ini membuat Lea semakin tertarik dengannya.

"Kamu yakin bisa lanjut minum?"

Wanita itu mengangkat salah satu alisnya, "kamu meremehkan saya?" Wajahnya yang sudah memerah menunjukkan kalau dirinya mulai sedikit mabuk, "aku suka minuman ini."

Dean hanya bisa menghela napas. Dia mengambil gelas wine dari tangan wanita cantik di depannya itu, "bahkan kamu tidak sadar kalau sedang mabuk. Saya rasa sudah cukup kamu minum, jika tidak ingin mengulang malam panas kita."

"Kita tidak melakukan apapun, saat itu." jawab Lea, mengoreksi perkataan Dean.

"Yah, mungkin malam itu tidak, tapi malam ini bagaimana?"

Lea tertawa, ia masih mencoba mengambil gelasnya lagi. "Kamu sendiri yang mengatakan pada saya kalau Dean tidak melakukannya dengan wanita mabuk."

"Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi kedepannya.... Benar?"

"Kenapa harus aku, Dean?"

Dean terdiam. Lea berbicara dengan informal padanya, ia bahkan tidak tahu alasannya, tetapi jika wanita di depannya ini adalah Lea. Tentu saja wanita itu harus Lea, cinta pertamanya yang hilang.

"Karena Lea, adalah Lea."

Ia tidak mengerti maksud perkataan dari Dean, seperti kata Dean. Sepertinya benar kalau dirinya sedang mabuk, ia tidak bisa menahan rasa kantuk yang mulai menyerang.

"Bahkan aku tidak memiliki apapun saat ini," ucap Lea pelan. Dia menunduk dan kepalanya hampir terbentur meja jika tidak segera di tangkap oleh Dean. "Ingatanpun aku tidak punya,"

"Kamu mengatakan sesuatu Lea?" tanya Dean. Dia menatap meminta jawaban atas ucapan wanita yang tertidur itu, dia mengatakan soal 'ingatan' tetapi ia tidak bisa mendengar jelas apa yang Lea katakan.

"Astaga, Lea.... Kamu selalu membuatku frustasi."

***

Dean memangku Lea yang tertidur. Karena mereka semua dalam pengaruh alkohol, walau pria itu tidak mabuk, ia tidak menyetir dan lebih memilih memanggil supir karena tidak ingin membuat Lea berada dalam bahaya karenanya. Ia memeluk Lea dan membelai rambut wanita itu, Dean membantu melepas aksesoris yang Lea pakai di kepalanya. Karena mungkin saja Lea bisa terbangun karena rambutnya yang tertarik oleh jepit-jepit yang menghiasi rambut hitamnya.

Deg

Jantung Dean seketika berdetak tidak karuan, ia hanya berniat untuk memijat pelan kepala Lea. Tetapi ia meraba sesuatu yang sangat mengerikan, bekas jahitan pada kepala gadis itu sangat besar. Ia tidak tahu apa yang telah dialami oleh Lea, tetapi ini sangat mengerikan.

"Kenapa lukanya sangat panjang...."

Pria itu membenarkan posisi duduknya dan meraba kembali kulit kepala Lea yang terdapat luka jahitan itu, karena sudah malam ia tidak bisa melihat lebih jelas. Dengan tangannya yang gemetar ia mencoba untuk menahan air matanya. Ia tahu kalau ini pasti sangatlah sakit, tetapi melihat Lea tetap hidup dengan keadaan seperti ini adalah sebuah anugrah.

"Astaga, Lea... Kamu itu ...." Dean mendengus, ia memeluk wanita itu lebih erat lagi. Rasa khawatir dan kasihan terlukis di wajah pria itu, ia mendekatkan bibirnya pada kening Lea dan mengecupnya lama, seperti tidak ingin kehilangan wanita yang berada di pelukannya ini.

Setelah melunasi transaksi dengan supir, Dean membawa Lea masuk ke dalam rumah wanita itu. Membuka pintu dengan kunci yang dirinya cari dalam tas Lea, wanita ini masih tertidur di gendongannya. Dean mengangkat wanita itu tanpa merasa berat, kemudian membaringkannya dengan lembut.

Ketika ingin menyelimuti Lea, pergerakannya terhenti. Lagi-lagi dirinya melihat bekas jahitan di tubuh gadis itu. Bekas jahitan yang tidak kecil berada di lengan atas bagian dalam, sehingga selama bertemu dengan Lea ia tidak sadar dengan semua itu.

Dean menghela napas panjang. Terlalu banyak teka-teki yang harus dirinya cari. Pria itu menyandarkan kepalanya pada pinggiran kasur, sembari melonggarkan ikatan dasi yang dirinya pakai di lehernya. Ia bingung harus mencari tahu mulai dari mana, ini semua tidak mudah.

"Tidur yang nyenyak Lea...."

Ia turun dari lantai atas. Mengeluarkan rokok yang dirinya simpan di kantong celananya, hal buruk yang menjadi kebiasaannya ketika dirinya sedang banyak pikiran. Udara dingin ini membuat kepalanya semakin sakit, ia menghisap puntung rokok, menyesapnya kuat dan mengeluarkan asap rokok dari mulutnya. Berkali-kali entah itu rokok yang ke-berapa telah dirinya pakai, setelah puas Dean kembali ke dalam ruang Lea.

Ia duduk di sofa empuk ruang tamunya dan menyandarkan tubuhnya, karena banyak pikiran dan tubuhnya sudah sangat lelah. Dean tertidur dengan lelap, ia tidak mau tidur dengan Lea walau dirinya ingin. Aroma rokok yang menempel pada dirinya pasti membuat Lea merasa tidak nyaman. Ia tidak ingin Lea merasakan ketidaknyamanan. Karena Dean hanya ingin Lea merasa nyaman dan aman bersamanya.

***

Halo Liy'ders! Apa kabar?

Jangan lupa vote dan komen ya!
Sebagai apresiasi, supaya aku semangat nulisnya. Ini sudah bukan bagian flashback Dean ya, tapi bagian makan malam mereka!

Terima kasih sudah membaca ✨🦋♥️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dean's Hidden SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang