Flashback dikit ya, hehe.
**
Pada tahun 2014, di sebuah rumah sederhana yang memiliki sedikit kehangatan tetapi juga sering kali didera kekacauan kecil, seorang anak laki-laki bernama El duduk di atas kasur tua yang terhampar di lantai ruang keluarga.
Kasur itu terletak di bawah dan di depan TV dan biasa di gunakan tidur siang oleh keluarganya.Dengan hati-hati, El mengaduk sayur sop di mangkuknya, berusaha menenangkan rasa lapar dan lelah yang menyusup setelah seharian bermain.
Namun, kedamaian itu tak berlangsung lama. Tanpa diduga, Elaina—adik perempuannya yang baru berusia enam tahun—tiba-tiba muncul dari pintu kamar dengan wajah ceria dan penuh rasa ingin tahu.
Dengan tangan mungilnya yang bergetar penuh semangat, Ina mulai menarik sprei kasur, membuat debu-debu halus dan kotoran-kotoran kecil terbang ke udara dan mengotori makanan El yang baru saja ia suap.
El terhenyak, matanya melebar melihat makanannya tercemar. Kepedihan dan kemarahan mulai menyebar dalam dirinya seperti api yang menyala-nyala.
“Ina!” teriak El, suaranya bergetar karena kemarahan dan frustrasi. “Kamu bikin makanan Abang kotor!” Setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan rasa kesal yang mendalam.
Makanan yang sudah dia nikmati dengan penuh harapan kini terpaksa harus terbuang sia-sia.
Rasa marahnya bukan hanya karena makanan, tetapi juga karena merasa dirinya tak memiliki hak untuk menunjukkan perasaannya.
Tiba-tiba, pintu ruang keluarga terbuka lebar, dan ibu mereka muncul dengan tatapan tajam diikuti bibirnya yang mengerucut. Tanpa memandang kotoran yang menghiasi makanan El, ibu langsung menyalahkan El. “Udah, ngalah aja kenapa sih? Kamu udah gede loh,” ucapnya dengan nada tegas.
El terdiam. Rasa sakit dan ketidakadilan mengalir dalam dirinya seperti arus sungai yang tak terputus.
Ia merasa seolah-olah dunia telah menutup mata terhadap masalahnya. “Itu makanan loh,” pikirnya dalam hati, “dan apa salahnya gue marah? Ini bukan soal dewasa atau anak-anak. Rasanya ketika makan tiba-tiba di masukin kotoran kayak gitu nggak enak juga. Ditambah lagi, aku harus dimarahin.”
Dia melihat Ina yang berdiri di sudut ruangan, air mata menggenang di matanya yang polos. El merasa bersalah karena kemarahannya yang tak bisa dia tahan.
Namun, dia juga merasa tidak adil karena rasa lapar dan kotoran yang menempel pada makanannya.
Ketika ibunya pergi dan meninggalkan El dengan rasa campur aduk, El menatap mangkuk sop yang sudah ternodai beberapa kotoran di depannya, merasa keputusasaan yang menyelimuti.
Dia merasa seperti berada di persimpangan antara dunia anak-anak dan dunia dewasa, sebuah tempat yang membingungkan dan penuh emosi yang tak bisa dijelaskan.
Pada saat itu, El hanya bisa merenung dalam kesunyian, merasakan beratnya menjadi seorang anak yang sering kali tak dipahami oleh orang dewasa di sekelilingnya.
**"El, kenapa kamu melamun?" tanya William yang membuyarkan lamunan El.
"E-eh, a-ayah? Nggak kenapa-kenapa kok. El hanya mikirin berapa tugas sekolah yang harus El salin di buku catatan," balasnya dengan sedikit gugup.
"Pertanyaan ayah sebelumnya belum lo jawab, El," ujar Edgard sembari mengangkat satu alisnya.
"Hah? Ayah tanya apa?"
"Hadeh, kamu ini. Ayah tadi tanya, kamu maunya beli motor apa? Biar kita nggak salah pilih dealer," balas William dengan helaan napas panjang.
"Jangan kebanyakan ngelamun nak, nggak baik," tegur Carla menyadari akan putra bungsunya yang terlalu banyak melamun.
El meringis ketika mendengar teguran dari ibunya. Lalu menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh William. "Kita beli yang 250cc aja, yah. Hehe," balasnya.
William mengangguk paham, lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
"Oh ya, Elaina ke mana, bun?" tanya Edgard yang menyadari ketidakhadiran Adik perempuannya.
"Elaina di rumah, nak. Katanya dia mau nyuci seragam dulu," jelasnya.
Edgard dan El mengangguk paham bersamaa.
**
Sore yang telah lama dinanti akhirnya tiba. El dan keluarganya, bersama beberapa teman dekat, bersiap untuk pulang dari rumah sakit.
Setelah beberapa waktu yang penuh perjuangan, hari ini mereka merayakan momen yang penuh kebahagiaan.
Sebagai hadiah spesial, mereka berhenti di dealer Kawasaki yang terkenal di Indonesia.
Dalam suasana ceria, mereka membeli sebuah motor Kawasaki Ninja ZX25R, yang membuat El sangat senang.
Di dalam delaer, El berdiri di samping motor baru mereka, matanya bersinar penuh kegembiraan. Ia memandang motor sport berwarna hitam yang mengilap dengan penuh kekaguman.
“Motor impian El, akhirnya bisa di dapet!” seru El, suaranya dipenuhi semangat. “Terima kasih, Bunda! Terima kasih, Ayah!”
Ibunya tersenyum bangga, wajahnya menunjukkan kebahagiaan yang tulus. “Kita akhirnya bisa pulang, Nak. Semoga motor ini membawa banyak kebahagiaan untukmu.”
Edgard ikut merayakan dengan ekspresi ceria. “Wah, keren banget! Semoga lo bisa cepat beradaptasi dengan motor ini.”
El mengangguk dengan penuh semangat.
Namun, William menunjukkan ekspresi datar dan kurang bersemangat. Ia hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan, tampaknya tidak terlalu terkesan dengan motor baru tersebut.
“Hmm, ya, baguslah,” kata William, suaranya datar dan tidak bersemangat.
Di perjalanan pulang
Saat mereka kembali ke mobil, suasana menjadi semakin akrab dan ceria. Namun, ketika mereka sampai di rumah, mereka melihat pemandangan yang tidak terduga.
Di dalam rumahnya, tampak sosok pria bertubuh kurus dan memiliki tatapan tajam tengah duduk di sofa ruang tamu dengan salah satu kakinya yang menumpu kaki sebelahnya.
"Kenapa dia bisa ada di sini?" gumam El.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELGARD (Otw Revisi)
Teen Fiction⚠️⚠️Dilarang plagiat⚠️⚠️ Di dalam sebuah rumah yang cukup megah, ada seorang anak lelaki berusia 18 tahun. Dahulunya, ia memiliki keluarga yang saling menyayangi satu sama lain dan memberikan kehangatan dalam setiap hubungan mereka. Namun, kebahagi...