Seperti Pertama Kali

1.8K 102 41
                                    

Pradipta Sandya Djiwono, lahir di Singapura pada 17 Oktober 1970 merupakan putra ketiga dari empat bersaudara, ia memiliki dua kakak perempuan dan satu adik laki-laki. Lahir dari keluarga priyayi tak membuat Pradipta hidup layaknya pangeran. Bahkan diusianya yang begitu muda, ia lebih memilih tergabung dalam kesatuan militer.

Putra ketiga dari pasangan Soedarma Djiwono dan Dona Nirmala Djiwono, cucu dari Raden Mas Mardani Djiwono ini sangat mencintai tanah airnya. Ratusan kali ia menghadap maut tak menyurutkan semangatnya untuk berguna bagi Nusa dan Bangsa.

Pradipta, laki-laki bertubuh tegap dan atletis dengan tinggi rata-rata laki-laki Indonesia pada umumnya, 170cm. Tubuhnya mencerminkan kekuatan dan kepercayaan diri. Ia memiliki bentuk wajah yang oval dengan garis rahang yang tegas sehingga memberikan kesan maskulin dan berwibawa. Mata elang berwarna coklat tua itu mampu membuat siapa saja terpesona dan terpikat. Pradipta biasa tampil dengan rambut hitam legam tersisir rapi kesamping. Arloji yang setia melingkar ditangan kanannya menunjukkan kesan betapa elegan dan berkelas dirinya.

Didepan banyak orang ekspresi wajahnya sering terlihat serius dan mematikan. Namun bisa berubah begitu hangat saat tersenyum terutama ketika lesung pipinya tampil sempurna. Salah satu kunci yang paling tepat dari senyum hangat Pradipta tiada lain tiada bukan adalah Trisna. Trisna Hadini Suyatma, putri keempat Alm. Jenderal Besar Suyatma, kelahiran Jogjakarta 14 April 1977.

Wajahnya yang cantik selalu menonjolkan keanggunan dan kelembutan. Bentuk bibir yang tipis dengan senyum menawan seringkali menunjukkan sikapnya yang hangat. Untuk ukuran seorang perempuan, Trisna termasuk kedalam golongan semampai atau hanya memiliki tinggi badan 158cm, mungil dan menggemaskan.

Trisna sangat menyukai wewangian yang diekstrak dari bunga kenanga atau mungkin cempaka, karena ia memiliki aroma tubuh seharum bunga. Putri Suyatma yang satu ini memiliki kepribadian yang karismatik, cerdas dan penuh empati. Tutur katanya yang santun dan lemah lembut bisa membuat siapa saja bertekuk lutut dihadapannya. Jadi sangat wajar bila sosok tegas seperti Pradipta selalu bisa luluh bila berhadapan dengan perempuan seperti Trisna.

Seperti pertama kali mereka bersama, satu rumah dan hidup berdampingan. Dimas yang tengah bercengkrama dimeja makan sambil menunggu makan malam dengan sepupunya, putra dari kakak pertama sang ayah, Diran Wardana Satrio merasa heran melihat ibunya turun dari lantai atas tepatnya keluar dari kamar ayahnya dengan rambut setengah basah yang tergerai. Seingat Dimas ibunya itu masuk kekamar itu siang tadi, berarti hanya ada satu kemungkinan bahwa ibunya belum keluar seharian ini dari kamar ayahnya.

Diran menoleh kearah Dimas, seakan mengerti tatapan sepupunya itu, ia mengangkat bahunya tanda tak tahu apa-apa. Dimas sendiri juga merasa heran, karena ini pertama kalinya setelah sekian tahun ia melihat kedua orang tuanya tinggal dikamar yang sama dalam waktu yang cukup lama.

Trisna yang menyadari tatapan anak dan ponakannya tak lepas dari dirinya bahkan saat ia menuruni anak tangga menjadi sedikit kikuk. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah penampilannya ada yang aneh, atau ada sesuatu menempel pada wajahnya itu. "Kenapa kalian berdua menatap ibu seperti itu?"

"Kenapa lama sekali bu, kita sudah sangat terlambat untuk makan malam, dimana ayah?" Hanya itu yang keluar dari mulut Dimas. Ia sedikit menggerutu karena sudah sangat lapar. Sedangkan Diran yang sedari tadi tak berhenti menatap Bu De-nya itu hanya bisa bengong saat Trisna bertanya hal yang sama pada dirinya. "Bu De terlihat berbeda, terlihat lebih fresh, lebih cantik." Ucap Diran yang merasa agak aneh ditatap penuh tanya oleh Trisna.

"Apa perlu Dimas panggil ayah?" Ulang Dimas karena tak mendapat jawaban dari ibunya atas pertanyaannya tadi.

"Tidak usah dipanggil, itu ayahmu sudah turun." Jawab Trisna yang bersiap akan duduk sambil memalingkan wajahnya agar tidak menatap Pradipta. Jujur saja dirinya merasa begitu canggung dihadapan anak dan keponakannya itu. Dimas dan Diran menoleh bersamaan kearah tangga.

SETELAH KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang