Sweet Thing's Ft. HaliGem

200 53 0
                                    

HaliGem with slight HaliTauGem

"Lagi apa?"

Yang diajak bicara menolehkan kepala. Matanya menangkap seseorang berdiri di ujung tangga dengan rambut sedikit acak-acakan.

"Eh, kak Hali udah bangun. Gempa lagi buat salak," balas sang adik sambil menyunggingkan senyum. "Gimana, kak? Masih pusing?"

Halilintar menggeleng singkat lantas menghampiri yang lebih muda. Perhatiannya terpaku pada kelincahan tangan adiknya dalam menguleni adonan berbahan dasar labu kuning tersebut. "Boleh kubantu?"

Mendengar hal itu membuat Gempa semakin bersemangat. "Boleh! Nanti kakak bagian membentuk adonannya jadi bulatan, ya. Mudah, kok."

Gempa menuang tepung terigu dan mencampurkannya dengan begitu telaten. Saat adonannya kalis, dia mengambil secuil potongan lalu diputar di atas telapak tangan hingga berbentuk bulat.

"Seperti ini, kak. Dikira-kira saja, jangan terlalu kecil ataupun besar. Yah, pokoknya seukuran dengan biji salak, sesuai namanya." jelas Gempa yang ditanggapi dengan gumaman oleh sang kakak.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Halilintar langsung bertindak sesuai titah adiknya.

Nah, kalau begini Gempa jadi cukup terbantu. Niatnya, hari ini mereka ingin membuat pesta kecil-kecilan untuk merayakan hari jadi.

Dari hasil diskusi singkat yang tentunya disetujui semua pihak, ketiga kembar itu mendapat jobdesk masing-masing.

Halilintar bertanggung jawab memasak nasi tumpeng dan ayam ungkep sejak pagi-pagi buta - yang meski sudah dibantu tetap berujung membuat si sulung sempat tumbang kelelahan, Gempa membuat takjil, dan Taufan yang saat ini absen untuk membeli beberapa bahan untuk es buah.

"Aku tinggal masak santan sebentar ya, kak. Biar sama-sama selesai. Terima kasih sudah mau bantu," ujar Gempa seraya berlalu menuju dapur yang berada di seberang.

Sekembalinya Gempa dalam waktu lima belas menit kemudian, lelaki bermata keemasan itu dibuat terkejut dengan apa yang dilakukan sang kakak.

"Loh, kok jadi begini?" Tangannya mengambil salah satu kreasi Halilintar dan menatap tak percaya. "Kak Hali ini mau buat biji salak atau bakso jumbo?"

"Salahnya di mana? Aku sudah lakukan sesuai arahan." balas Halilintar tanpa rasa bersalah.

Iris delimanya menyortir butiran adonan yang telah dibuatnya sebelum menyadari satu hal. Setelah dilihat-lihat, adiknya sama sekali tidak bohong.

Adonan biji salak buatan Halilintar berukuran jauh lebih besar daripada yang sudah dicontohkan Gempa.

Untuk perbandingan, ukurannya persis seperti menyandingkan kelereng dan bola bekel.

"Tapi ini terlalu besar, kak Hali...!"

Dengan raut setengah ditekuk, Gempa mengulang proses pembulatan adonan hasil karya Halilintar yang dirasanya kurang pas. Sebenarnya, dia tidak marah.

Hanya sedikit menyayangkan waktu memasak takjil berkuah gula merah itu harus tertunda akibat sebuah kesalahan kecil yang seharusnya bisa dicegah.

Namun, Gempa cukup maklum mengingat Halilintar belum terbiasa membuat makanan manis seperti Taufan.

Aktivitasnya terhenti saat Gempa merasakan sesuatu menyentuh wajahnya. Siapa sangka, ternyata itu berasal dari telunjuk Halilintar yang beberapa kali menusuk-nusuk pelan pipinya seolah baru menemukan mainan baru.

"Err.. kak Hali?"

Halilintar tak langsung menjawab, kali ini tusukan itu berubah menjadi cubitan kecil. "Ya?"

"Ngapain?"

Pertanyaan itu dijawab dengan kombo maut ibu jari dan telunjuk yang semakin bergerak brutal. Halilintar seakan lupa total dengan kegiatan mereka, pun dengan omelan Gempa sebelumnya. "Pipimu. Ini pipi atau biji salak? Kenyal betul."

Sekali lagi, Gempa dibuat terkejut, tetapi kali ini disertai rasa heran luar biasa. "Kak Hali ngigau?"

Halilintar tertawa kecil, suatu hal yang Gempa pikir baru akan terjadi saat dunia sedang tidak baik-baik saja. Gawat, sepertinya kakaknya ini salah minum obat.

"Asal kamu tahu, pipimu itu yang paling chubby dan menggemaskan di antara kita bertiga dari dulu." Sekarang, tangan kiri Halilintar ikut memainkan pipi sang adik yang satunya. "Kalau saja sedang tidak puasa, sudah kugigit pipimu."

Korban kegemasan Halilintar cukup kesulitan untuk tetap fokus membentuk adonan. Dengan susah payah, dia mencoba lepas dari cengkraman kakak sulungnya namun gagal. "Kak Hali, lepaaas!"

"Tidak mau."

"Gempa mau masak. Sebentar lagi kak Taufan pasti pulang dan kita masih harus membuat es buah. Sudah cukup, kak Hali..." Permohonan itu total diabaikan oleh Halilintar yang saat ini menekan kedua pipi adiknya ke tengah, membuat wajah Gempa cemberut mirip ikan peliharaan mereka.

Pada akhirnya Gempa menyerah dan memutuskan untuk balas memainkan pipi sang kakak. Kedua pipi mereka saat ini berlumuran tepung, mengingatkan akan masa kecil mereka saat Ibu menaburkan bedak pada wajah mereka seusai mandi.

Tanpa terasa, mereka telah beranjak dewasa dengan banyaknya perubahan fisik dan sikap namun sama sekali tidak mengurangi rasa sayang terhadap satu sama lain.

"Pfft... Kak Hali mirip kue mochi."

"Gempa kanibal. Pipimu tidak ada bedanya dengan adonan ini, kamu tega mau makan dirimu sendiri?"
Celetukan asal itu membuat keduanya tertawa lepas.

Perang cubit-cubitan terus berlanjut hingga kembaran mereka yang lain akhirnya tiba di rumah. Sejurus kemudian, sebuah suara melengking terdengar di dalam kediaman trio itu,
"AKU MAU IKUT CUBIT PIPI GEMGEM JUGAAAAAA!"

Sore itu menjadi waktu yang sangat berkesan karena diisi hangatnya kebersamaan. Baik Halilintar, Taufan, maupun Gempa saling bertukar gurau, merayakan berkurangnya usia dengan rasa syukur.

Menikmati momen sebaik-baiknya selagi masih diberi kesempatan. Mereka akan kembali lalui suka dan duka bersama-sama. Sebab mereka adalah perwujudan rumah bagi satu sama lain. Setidaknya, ini lebih dari cukup.

The End.

The End

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
✧𝘽𝙤𝙀𝙡 & 𝘽𝙤𝙁𝙪 𝙄𝙣𝙩𝙚𝙧𝙖𝙘𝙩𝙞𝙤𝙣'𝙨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang