Halilintar menutup layar laptopnya dengan kasar. Dia sedikit memundurkan kursi belajarnya semata-mata agar bisa menyandarkan kepalanya yang mulai pening.
Samar-samar dia bisa merasakan betapa kaku otot lehernya dan jika diibaratkan secara hiperbola, pinggangnya pun bisa rontok kapan saja setelah duduk berjam-jam.
Dengan sedikit susah payah iris delima itu melirik ke arah jarum jam yang menunjukkan pukul dua dini hari. Dia menghela napas berat. Sudah berbulan-bulan Halilintar merasa seperti berputar-putar di dalam sebuah labirin tanpa jalan keluar.
Kehidupannya yang normal bagai berubah 180 derajat saat Halilintar memasuki masa semester akhir. Wataknya yang sedari dulu memang serius itu semakin tidak bersahabat ketika waktu istirahatnya harus dikorbankan untuk menyusun skripsi.
Mulanya dia tidak ingin terlalu memusingkan. Namun, lama kelamaan segala halang rintang yang berkaitan dengan deadline, revisi, juga tekanan dari luar maupun dirinya sendiri membuat pikirannya begitu kalut.
Hal itu juga menjadikan Halilintar tak acuh dengan kondisi fisik dan mentalnya yang semakin hari semakin jauh dari kata baik-baik saja.
Wow, apakah harus sesulit ini? Apakah mereka yang seperjuangan dengannya juga merasakan hal yang sama?
Mengapa Halilintar rasa prosesnya begitu lamban dibandingkan dengan yang lain? Apakah dia benar sudah melakukan yang terbaik, atau usahanya selama ini sebetulnya belum cukup?
Tidak bisakah jika dia langsung lulus saja dan mendapat pekerjaan yang layak agar dapat membantu memenuhi kebutuhan adik-adiknya?
Lagi-lagi, dia mendengus. 'Sepertinya aku butuh kafein,' batin Halilintar dalam hati.
Dengan berat hati, Halilintar memaksakan tubuhnya yang lelah untuk bangkit dan melangkah menuju ke dapur. Seperti biasa, dia adalah orang terakhir di rumah yang masih terjaga di saat yang lain sedang sibuk-sibuknya menjemput mimpi.
Terkadang adik bungsunya, Solar, turut serta menemani. Menurut Solar, mengulang materi di saat yang hening seperti sekarang ini dapat membantu mempertajam konsentrasinya. Meski begitu, Halilintar mendapati adiknya telah tidur lebih awal akibat kelelahan setelah mengikuti olimpiade matematika hari ini.
Ternyata, Halilintar salah besar. Pemikiran itu segera dipatahkan ketika matanya menangkap sosok siluet yang berdiri di depan kabinet dapur.
Tanpa berniat menyalakan lampu, Halilintar memicingkan mata mencoba mengenali siapakah gerangan sosok itu. Dia bergerak mendekat secara perlahan agar tidak menarik perhatian.
Jantungnya berdegup sedikit lebih kencang dan bulu kuduknya berdiri ketika otaknya mulai membayangkan yang tidak-tidak.
'Apakah itu hantu?'
'Sepertinya tidak apa jika memang hantu, aku hanya perlu membaca doa dan dia akan menghilang. Tapi bagaimana jika ternyata itu adalah pencuri?'
'Apakah aku harus teriak atau melawannya dengan bela diri?'
Suara-suara di dalam kepala Halilintar seketika berhenti saat sosok itu tiba-tiba menoleh. Tubuhnya sedikit terlonjak akibat terlalu terkejut setelah tertangkap basah melakukan hal yang tidak seharusnya.
Pun dengan Halilintar yang sama terkejutnya, mulutnya terbuka tanpa ada sedikitpun suara yang keluar. Namun, itu tak berlangsung lama ketika iris merah darahnya bertabrakan dengan manik sewarna aquamarine yang sangat familier.
"...Ice? Apa yang kau lakukan di sini?"
Yang ditanya menggaruk bagian belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Tubuhnya sedikit bergeser dan Halilintar dapat melihat sebuah panci berisi air mendidih sedang digunakan untuk merebus dua bungkus mi instan.
KAMU SEDANG MEMBACA
✧𝘽𝙤𝙀𝙡 & 𝘽𝙤𝙁𝙪 𝙄𝙣𝙩𝙚𝙧𝙖𝙘𝙩𝙞𝙤𝙣'𝙨
Random‧ ⊹¨ ⧼ˋ ʙᴏᴇʟ & ʙᴏғᴜ. ˒ ⧽ ♪ ˎ✦ ꞌꞋ ࣪⋒⋒─ꜤDesk:⤾☁︎︎ ࣪ ▸ ִֶָ Hanya berisi tentang daily life/kehidupan para Boel & Bofu. Kurang suka? skip. Suka? jangan lupa votement ya reader's ^_^ ✁‑-‑-‑-‑-‑-‑-‑-‑-‑-‑-‑ _____________________________________ ∘₊✧─────...