sticks and stones

606 145 20
                                    

Elise membuka matanya perlahan ketika cahaya mentari mengusik lewat celah jendela. Ia mengerang pelan sebelum terduduk dan memandang jauh pada jendela yang terbuka lebar.

Matanya terasa berat. Kepalanya pusing. Seakan ada rongga lebar menganga yang bersarang di dadanya setiap ia membuka mata.

Neneknya telah tiada.

Lantas, untuk apa ia bertahan di dunia ini? Satu-satunya alasan Elise melakukan hal yang tak ia suka dengan menjadi model freelance, bahkan menjadi obat tidur untuk lelaki asing adalah demi neneknya. Elise juga sudah kehilangan minat dalam menjadi seorang guru di masa depan. Aku ingin mati saja dan menyusul nenek segera.

Apalagi yang membuatnya bertahan? Neneknya, rumahnya, sang pelita jiwanya telah tiada.

Ah, bukankah seharusnya ini sudah dua minggu berlalu sejak Elise menerima telepon dari rumah sakit? Sudah dua minggu sejak Elise melihat nafas sang nenek terhenti di depan matanya sendiri.

Namun lubang hitam di hatinya masih berlarut dalam pedih. Elise bahkan tak ada nafsu makan atau sekedar beranjak dari ranjang untuk beraktivitas.

"Sudah bangun?"

Manik Elise beralih dari jendela menuju sosok yang duduk pada sofa di sudut ruangan. Oliver, sejak kapan ia disana?

"Bagaimana jika hari ini kita keluar?"

Alis Elise mengkerut, "Sejak kapan anda disini?" Ucapnya.

Lelaki itu pun memasang mimik tenang seperti biasa, "Sebenarnya, ini rumahku jika kau sadar."

Mendengar itu tentu saja Elise hanya mengerjap dengan tak tertarik sebelum pandangannya mengedar. Kamar yang besar, jendela lebar, suasana dingin dari lantai marmer, membuat Elise bertanya-tanya, "Kenapa saya ada disini? Bukankah semalam saya tidur di kamar saya sendiri?"

Oliver diam. Terlihat tenang seakan sudah tahu kalimat itu akan terlontar dari mulut Elisabeth, "Kau selalu tidur di tempatku sejak dua minggu lalu. Pertanyaan inipun selalu kau tanyakan setiap paginya."

Benar. Elise memang menginap di tempat Oliver sejak pemakaman sang nenek. Sebab jika dibiarkan sendirian, Elise akan terus menangis, enggan makan, enggan membersihkan diri. Maka dari itu saat mendapatinya terpuruk, Oliver pun mengajak Elise ke tempatnya. Merawat gadis itu seakan ia adalah tanggung jawabnya.

Biasanya, setelah pertanyaan ini Elise akan kembali linglung dan menangis. Ia akan kembali tenggelam dalam kesedihannya, tak perduli dengan apapun. Elise akan terus diam seperti manekin meski Helma datang dan membantunya membersihkan diri, meski Oliver menyuapinya makan agar ia tak terlalu kehilangan banyak gizi.

"Ah, benar. Nenek sudah tidak ada." Ucapnya. Pun Elise segera menunduk. Mungkin ini sudah waktunya ia kembali larut dalam duka.

Pun Oliver bangkit dari sofa, mendekati sang jelita yang terlihat lemah tak berdaya untuk mengusap kepala Elise -menenangkannya, "Temanmu tak bisa datang hari ini. Aku akan menyekamu sebelum kita sarapan."

Tak seperti biasanya, Elise segera mendongak untuk menatap Oliver kemudian, "Menyeka? Kenapa anda harus melakukan itu?"

Oliver mengerjap beberapa kali. Jika biasanya, gadis itu takkan bergeming dan tak perduli dengan apapun yang dikatakan, dilakukan orang disekitarnya. Namun sepertinya kesadaran Elise telah kembali saat ini. Meski sayu, namun pandangan Elise memang nampak berbeda, "Apa kau sudah mulai bisa diajak bicara?"

"Memang sebelumnya saya bisu?"

Oliver tersenyum tipis, "Oke, kau sudah kembali." Timpalnya sembari menepuk puncak kepala Elise, "Jadi kau mau mandi sendiri atau kumandikan seperti biasanya jika kawanmu itu tak bisa kemari mengurusmu?"

Flowers & CigarettesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang