the brink of a wrinkle in time

543 141 11
                                    

Langit telah merubah coraknya menjadi kelam. Seiring itu, nampak sesosok gadis yang baru saja turun dari sebuah taksi di depan pekarangannya.

Mata Elise berpindah dari huniannya menuju hunian Oliver yang nampak tenang seperti biasa. Pun ia segera mendecih pelan sebelum berjalan masuk ke dalam rumah. Membuka kunci hanya untuk meletakkan barang-barang yang ia bawa keluar kota dan pergi kembali dengan berbekal dompet di genggaman.

Elise berjalan menyusuri jalanan lenggang. Lampu penerangan telah menyala dengan udara dingin yang menyeruak. Ia merapatkan jaket dan berjalan cepat menyusuri jalan turunan, menuju minimarket terdekat yang biasa ia singgahi.

Sekotak susu, dua batang cokelat, sekotak strawberry, beserta dua roti sandwich adalah pilihannya untuk makan malam hari ini. Dosen yang memandatinya sebagai partner berangkat keluar kotanya begitu tega memulangkan Elise dengan taksi setelah mereka sampai di stasiun tanpa mengajak gadis itu makan malam terlebih dulu. Yah, seharusnya Elise tidak terkejut lagi.

Jadilah ia harus mengurus makan malamnya sendiri meski pergi ke luar kota pun hanya dibayar dengan ucapan terima kasih.

Nasib baik suasana minimarket di tempatnya itu tak seberapa ramai. Bahkan hampir lenggang. Lantas Elise tak perlu antri berlama-lama dan segera meluncur keluar dari sana.

Hanya saja, saat ia hendak melangkah keluar dari parking area, seorang lelaki dengan jas maroonnya tengah menatap Elise penuh rasa tertarik.

Oh, tidak lagi.

"Bagaimana bisa gadis secantik ini berjalan seorang diri?" Ucap lelaki yang nampak seperti seorang gangster itu sembari menghampiri Elise. Membuat sang gadis jelita mengernyit saat langkahnya diikuti tanpa izin.

Untuk kali ini, sisi guru teladan Elise yang gemar berceramah seakan tidak teraktivasi sebab ia lebih memilih menjadi seorang gadis bisu.

Entah mengapa radarnya mengatakan jika ia takkan menang melawan lelaki yang nampak berbahaya ini. Lihat saja tatonya yang menyembul dari punggung tangan hingga lehernya. Manalagi lelaki itu merokok. Bau asapnya, Elise sangat membenci ini.

"Oh, jadi kau tipikal gadis cantik yang congkak."

"Tolong." Ujar Elise sembari menghentikan langkah dan menghadap lelaki itu pada akhirnya, "Tolong jangan mengikuti saya atau saya akan berteriak."

Lelaki itu tertawa, "Siapa yang mengikutimu? Aku memang hendak ke arah sana."

Klasik. Alasan klasik yang sudah pernah didengar Elise sejuta kali.

Namun kembali, Elise berusaha tak melanjutkan percekcokan ini sebab wajah lelaki itu terlihat menakutkan ketika tersenyum. Seperti seseorang yang tega melukai siapapun tanpa ampun.

Dengan segera, Elise kembali melangkah. Ia mengeratkan dan meraba kantung jaketnya untuk memastikan jika ia membawa alat pertahanan diri seperti biasa. Ada. Perasaannya sedikit lega saat mendapati pepper spray beserta stun gunnya ada disana.

Belakangan ini Elise terlalu terlena dengan kedamaian yang ia terima karena Oliver selalu berada disekitarnya. Jika tidak pun, lelaki itu selalu berhasil menakuti para jantan nekat yang mengikuti Elise hingga ke rumah. Hanya saja kali ini berbeda. Oliver bahkan tak tahu jika Elise sudah kembali dari perjalanan luar kotanya.

Dan saat ini, beberapa rumah telah Elise lewati. dan lelaki itu masih berada di belakangnya, berjalan dengan langkah yang bahkan terdengar mengintimidasi.

Elise menelan salivanya. Setelah gang kecil yang berada di depan nanti terlewat, maka dapat dipastikan jika lelaki itu memang jelas mengikuti dirinya. Dan jika saat itu tiba, maka Elise akan menelepon Oliver, meminta bantuan dari lelaki itu dengan terpaksa sebab rumah yang berada di sudut dataran tinggi adalah gang buntu dan hanya tersisa huniannya beserta milik Oliver saja.

Flowers & CigarettesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang