"Kenapa akhir-akhir ini kau selalu menolak pekerjaan dariku? Apa kau sudah tidak memerlukan uang untuk semua biaya yang kau tanggung?" Helma, ia baru saja keluar dari kelasnya yang berbeda dengan Elise. Namun berbagai pertanyaan sudah dituangkan di atas kepala sang kawan yang nampak menghindari tatapannya.
"Bukankah aku sudah bilang-"
"Iya. Aku tahu kau sedang rehat sebab wajahmu terluka akibat kelakuan si dungu itu, kan? Tapi ini sudah sebulan. Lukanya bahkan sudah tidak terlihat." Gadis itu memperhatikan wajah Elise lekat-lekat. Lebam yang pernah bertengger disana memang sudah raib seakan tak pernah ada di tempat pertama.
"Begini," Elise, ia tengah menghentikan langkah dan menatap Helma setelah menarik nafasnya, "Aku pensiun. Dari awal aku memang tak pernah menyukai pekerjaan itu."
"Kau serius? Lalu bagaimana dengan biaya rumah sakit? Uang kuliahmu? Siapa yang akan membayarnya??"
"Tenanglah, Helma. Kau tak perlu memikirkannya. Semua sudah teratasi."
Helma jelas tak puas dengan jawaban itu. Pun ia segera menghalangi jalan Elise yang hendak berlalu, "Jelaskan bagaimana itu semua sudah teratasi?"
Elise menimbang-nimbang apakah ia akan mengatakannya kepada Helma atau tidak. Dan tentu saja jawabannya, "Kau tidak perlu tahu. Yang pasti aku tidak menjual keperawananku."
Helma mengerjap. Bagaimana bisa kalimat itu keluar dari calon guru teladan seperti seorang Elisabeth? Tentu saja Helma takkan berpikir sedemikian rupa!
Jika manusia diibaratkan dengan secarik kertas, tentu saja Elise merupakan kertas paling bersih yang berada di atas tumpukan surat kabar. Kertas Elise bahkan berwarna pastel yang cantik dan sengaja kau simpan sebab terlalu bagus untuk digunakan.
Dan dengan kalimat Elise yang cukup membahayakan, pun ia berhasil menghentikan kejaran Helma untuk saat ini. Meski ia yakin akan tiba masanya dimana Helma mengetahui darimana Elise mendapatkan semua uangnya.
Nasib baik Elise harus segera berpindah kelas untuk mengejar mata kuliah selanjutnya hingga sore tiba. Dan begitu urusan perkuliahannya hari ini usai, ia pun segera bergegas pulang.
Elise tak seberapa lama menunggu busnya tiba untuk menurunkannya tepat pada halte yang terdapat minimarket di seberang. Tempat itu terletak beberapa kilometer dari huniannya. Elise wajib mampir sebab stok makanan yang ia miliki sudah hampir tak ada.
Dan baru saja ia masuk ke dalam sana, mata Elise telah menangkap sosok mencolok serta familiar hingga ia sedikit menghentikan langkah.
Beberapa detik kemudian pula, sosok yang ditatapnya turut mendapati kehadiran Elise dan segera memiringkan kepala sembari berkata, "Sudah pulang?" Ucap Oliver yang baru merampungkan pembayarannya di kasir yang berada di dekat pintu masuk.
Elise hanya mengangguk pelan. Gadis itu segera melewati Oliver dan masuk untuk membeli barang-barang yang ia butuhkan.
Sudah sebulan ini, Elise berperan sebagai teman tidur lelaki itu. Tidak kurang dan tidak lebih. Entah Oliver yang datang ke tempatnya atau mungkin sebaliknya.
Di minggu pertama, mereka masih melakukan aktivitas simbiosis mutualisme itu di ruang tamu. Membiarkan Oliver menyentuh surainya hingga pagi tiba. Seminggu dijalani, keduanya merasakan pegal di sekujur tubuh sebab terlelap dalam keadaan duduk. Tak nyaman.
Di minggu kedua, mereka pun setuju untuk terlelap di tempat seharusnya -kamar tidur. Entah itu di kamar Elise yang hangat dan sederhana dengan Oliver yang sudah membeli kasur lipat agar Elise tetap di sebelahnya, atau di kamar Oliver yang luas dengan king size bednya -membiarkan tubuh mereka dibatasi oleh sebuah bantal yang diletakkan di tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flowers & Cigarettes
FanficShe was sunshine. He was midnight. Aiming for the destination, the purpose to be tangled together.