= 12 =

244 43 21
                                    

So breath like you know you should

Yeah, breath till you've understood

Breathe - Mackenzie

***

Gue biasanya nggak pernah mempermasalahkan datangnya hari senin. Nggak peduli waktu SMA dulu setiap senin selalu ketemu kimia dan matematika, atau nggak masalah setelah di bangku kuliah selalu mengawali senin dengan padatnya praktikum. Karena prinsip gue kalau memang lagi sial, yah sial saja nggak perlu menunggu senin datang dulu. Tapi senin gue kali ini benar-benar gloomy. Bukan karena biofarmasetika yang tiba-tiba kuis tadi, bukan juga karena dua mata kuliah setelahnya diisi presentasi dan bukan juga setelah jam kuliah berakhir bukannya pulang tapi malah gue masih nge-jogrog di ruang musik untuk latihan band. Hal-hal yang gue sebutkan tadi sudah menjadi rutinitas yang lama-kelamaan membuat gue terbiasa. Tapi yang membuat gue gloomy karena minggu gue yang harusnya indah kalau gue habiskan bareng anak-anak kontrakan atau jalan bareng kak Ghaly, malah jadi menyebalkan saat gue harus terpaksa menemani papa hadir di acara keluarga.

Berkumpul bersama keluarga papa bukanlah aktivitas favorit gue, beda kalau disuruh kumpul bersama keluarga mama. Keluarga papa memang old money, anak-anak dan cucu-cucu Candra nggak ada yang floop kehidupannya. Tapi karena hal itu juga yang membuat acara kumpul keluarga bukannya menjadi hangat malah seperti menjadi ajang pamer dan saling menjatuhkan walaupun tidak kentara. Jujur, gue nggak suka nenek gue dari pihak papa dan juga dua tante gue. Kenapa? Karena setiap mau ketemu mereka gue selalu diserang insecurity yang seolah-olah nggak ada ujungnya. Gue selalu membuat diri gue terlihat hebat padahal gue juga nggak mengerti apa yang gue kejar dan apa keuntungan buat diri gue sendiri hanya demi menyenangkan mereka.

Dan yang lebih mengesalkan, setiap usaha gue seolah nggak bernilai di mata mereka hanya karena ego mereka yang nggak mau gue terlihat lebih unggul dari anak-anak mereka. Like, I mean di usia setua itu masih mau mengejar apalagi sih? Mau mempertahankan apalagi? Dan sudah bertahun-tahun kenapa juga mereka masih belum bisa menerima mama dan mengakui kehebatan mama? Kenapa anak-anak mama nggak boleh lebih unggul dari mereka?

"Lo kenapa Nu? Sakit?" lamunan gue buyar seiring teguran bang Abhi.

Sejak tadi gue juga memang banyak diamnya, bahkan gue malas meladeni bang Abhi yang seperti biasa kalau nggak gangguin gue kayaknya saluran pernapasannya bakal tersendat. Pertanyaan bang Abhi hanya gue jawab dengan gelengan pelan.

"Udah selesai kan latihannya? Gue balik duluan yah." Gue berkata seraya membereskan barang-barang gue.

"Bentar dulu Nu, Milan habis order Chatime. Tunggu bentar yah?" pinta bang Cakra. Gue akhirnya duduk lagi karena nggak enak dengan bang Milan yang sudah berniat baik.

"Lo kenapa sih? Jangan diem-diem aja dong, ayo berantem." Bang Abhi menowel-nowel lengan atas gue.

"Gue lagi nggak mood berantem yah?" gue melirik sinis ke bang Abhi.

"Ah nggak seru ah." Bang Abhi pura-pura merajuk.

"Kenapa sih Nu? Hawa jadi nggak enak nih karena lo diam-diam aja." bang Milan ikut duduk di sebelah gue.

"Lagi nggak mood aja bang."

"Wah Numa nggak mood, dunia lagi nggak baik-baik aja nih."

Bang Yuki yang sejak tadi asyik dengan ponselnya ikut menimpali. Perkataannya barusan membuat gue sedikit menaikkan kedua sudut bibir gue.

"Berantem sama Ghaly yah? Atau lo di-ghosting?"

"Bang Abhi mending lo diem atau stik drum bang Milan masuk mulut lo." Ketus gue, nggak terima dengan kata-katanya. Gue masih alergi dengan kata ghosting soalnya.

The Time I Was In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang