>37<

80 14 0
                                    

37. Undangan

"Assalamualaikum Umma. Umma lagi buat apa?"

"Wa'alaikumussalam. Sudah makan Kak?"

"Sudah," jawab Adira. Gadis itu baru saja pulang kuliah. Wajahnya terlihat lelah, padahal hari ini Adira pulang lebih awal dari biasanya. "Gimana hari ini?" tanya Umma Aira.

"No bad, Umma. Kalo dibilang baik juga enggak, dibilang jelek juga enggak."

"Langsung istirahat sana," saran Umma Aira.

Adira menggeleng, dia yang awalnya duduk beranjak ke wastapel untuk mencuci tangan lalu bergabung dengan Umma Aira. "Dira bantu ya..."

"Kakak pasti capek. Mending istirahat, Umma masih bisa."

"Enggak mau," Adira tetap kekeh menolak untuk beristirahat. Dan berakhir membantu Umma Aira, karena Umma Aira yakin putrinya akan sulit dibujuk jika sudah mantap dengan keputusannya.

"Baik lah."

"Kakak bantu Umma goreng tempenya ya, udah Umma bumbuin."

"Oke," jawab Adira senang. "Ini," menujuk pada ayam yang sudah di bumbui, "di goreng sekalian?"

"Boleh."

"Oke."

Keduanya sama-sama sibuk dengan bagian masing-masing. Sampai waktu terus berjalan dan masakan pun selesai dibuat. "Astaghfirullah Umma lupa Kak."

"Lupa apa Umma?"

"Ada undangan buat Kakak."

"Undangan apa?"

"Undangan nikah dari Tante Liana."

"Kak Dylan tah?"

"Iya."

"Kapan Umma?"

"Minggu, jam 10 di gedung C,"jelas Umma Aira.

"Cuman Dira aja?"

"Umma juga, tapi ada undangan pribadi juga buat Kakak."

"Oke."

****

"Mas Raden!"

Adesya berteriak sambil mengetuk pintu kamar kakaknya dengan sangat kasar. "Mas buka pintunya! Kenapa juga harus di kunci sih?"

Teriak Adesya sangat kencang sampai terdengar di lantai bawah. Kedua orang tuanya yang sudah paham dengan sikap putrinya hanya bisa diam. Jika sampai 15 menit masih saja berteriak, barulah akan menegur.

Clek. Kunci pintu akhirnya dibuka dari dalam. Adesya langsung membuka pintu dan masuk sebelum kakaknya memberikan izin. "Kenapa?" tanya Raden menatap malas adiknya.

"Kak Dylan beneran mau nikah?"

"Hem."

"Serius Mas?" tanya Adesya ulang karena Raden terlihat menjawab dengan tidak serius.

"Bener Sya. Udah kan? Sekarang keluar!" usir Raden pada Adesya.

"Gak mau," tolak Adesya yang sudah mendudukan diri di kasur milik kakaknya. "Dira bakal baik-baik aja kan?" gumam Adira pelan tapi masih dapat di dengar dengan jelas oleh Raden.

"Aman. Udah saling ketemu juga," sahut Raden dengan santai.

"Serius kak? Kapan? Kok Esya gak tau sih?"

"Lo temennya kan? Kok tanya?" tanya balik Raden pada Adesya, laki-laki sedikit kesal dengan sikap menjengkelkan adiknya ini. Dia sedang lelah dan ingin cepat istirahata, tapi lagi-lagi bocah satu ini kembali menganggunya.

"Dira gak cerita Mas. Coba Mas cerita," mohonnya.

"Bulan lalu kalo gak salah, kami ketemu di cafe... Adira gak sengaja hampir ditabrak sama Malik. Dari sama lah mereka bertiga ketemu," jelas Raden dengan singkat padat dan jelas.

"Terus Kak Dylan gimana?"

"Biasa aja," jawab Raden agak lama.

"Terus respon calon istrinya Kak Dylan?"

"Agak kaget. Tapi terus biasa aja, kayaknya udah tau kalo Dira cewek yang disukai sama Dylan," pendapat Raden.

"Oh gitu...." respon Adesya sambil mengangguk paham. "Terus... anak ormawa di undang gak?"

"Undang semua kok, Dira aja diundang. Lo juga kan Dek?"

"Iya. Makanya tanya ke Mas Raden."

"Udah kan? tanya Raden.

Adesya mengangguk.

"Sekarang keluar! Gue mau turu, habis ngerjain tugas. Kalo Bunda tanya bilang aja langsung turu."

"Oke!"

"Besok gue traktit es cream sepulang dari resepsi Dylan."

"Ditunggu!" seru Adesya sedang lalu keluar kamar kakaknya dengan riang.

****

Dekor berwarna putih dengan hiasan bunga-bunga warna terlihat menawan sepanjang mata memandang. Adira dan keluargany baru tiba di tempat resepsi acara pernikahan.

Awalnya mereka berniat menyapa penganti lebih dulu, tapi karena masih sangat mengantri Baba Zaidan memutuskan untuk nanti saja.

"Bosan?" bisik Aldo pada Adira.

"Iya, Esya sama  Syafa belum kelihatan."

"Mas Raden kesini juga dong?"

"Iya, kan temennya."

Karena tidak tahan dengan berada ditempat yang sangat ramai ini, Adira izin pada Umma Aira untuk keluar. "Umma, Dira izin keluar ya?"

"Iya."

Setelah mendapatkan izin, Adira segera keluar dari gedung itu. Ternyata dari pelaminan, Dylan tak sengaja melihatnya. "Gue jahat ya?" pikirnya.

Adira yang sudah keluar, merasa sangat senang karena padat menghirup udara baru. Dia sangat bersyukur karena lokasinya ada di pinggir kota dan ada tamat yang cantik disini.

Adira memutuskan untuk berkeliling taman. Ketika sedang berkeliling, dia melihat Abid-kakak tingkatnya juga sedang duduk sambil menelepon.

"Kak Abid kan ya?" pikir Adira. Karena tidak mau menganggu, Adira berbalik arah, tapi dia malah berpapasan dengan Raden-Malik. "Dari mana Ra?"

"Jalan-jalan aja, Mas," Adira menjawab pertanyaan Raden dengan cepat, lalu pamit lebih dulu, "Duluan ya Mas Kak, udah ditunggu yang lain."

Raden mengangguk, memberikan jalan untuk Adira.

Sedangkan didalam gedung, Adesya dan Syafa menanti Adira. Mereka berharap agar gadis itu segera kembali masuk dan harapan mereka terkabul dengan cepat.

"Darimana aja?" tanya Syafa.

"Cari angin. Mau nyapa penganti sekarang?"

"Iya," jawab Syafa.

Ketiga gadis itu naik kepelaminan, mereka menyalami ibu dari pengantin dan menangkupkan tangan pada ayah pengantin. "Selamat Tante dan Om Andrew," ucap Adira karena dia hanya mengenal orang tua Dylan

"Terima kasih," jawab Tante Liana."

Lalu berganti pada penganti. "Selamat Kak Dylan dan Istri," ucap Syafa dan Adesya.

"Terim kasih,"

"Selamat Kak Jemi dan Kak Dylan semoga selalu bahagia," ucap Adira dengan tulus.

"Aamiin."

Setelah itu, ketiga turun. Dylan yang melihat senyum tulus Adira merasa senang. Dia bersyukur karena Adira menolak dan menyadarkannya tentang cinta yang tidak harus saling memiliki. Karena cinta hadir untuk membahagiakan, bukan menyakiti.

#24Juli2024

Terima Kasih Dylan✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang