Pagi Buruk

29 5 1
                                    

Beginilah nasib si cantik yang mirip upik abu. Harus selalu mondar-mandir megang sapu sambil bernyanyi lagu 'bang toyib'

"Kemana kemana kemanaaaaaa??? Ku harus mencari, dimanaaa?? Rafael tercintyaa tak tau rimbanya. Buat baper malah di tinggal, hooo hooo. JAYA!"

"Nyanyi opo iki nduk? Kok bawa-bawa nama nak Rafael? Suka kamu, Mone?"

Gue spontan langsung menutup rapat mulut gue, dan melihat kearah ibu dan adek gue yang menatap gue dengan pandangan bingung.

Gue bingung. Mulut gue kaku, otak gue berfikir keras mencari alasan. Gak mungkin banget kan, gue dengan gampangnya bilang 'iya bu, Nella lagi kangen pakai kuadrat sama buabang Rafael' bisa di gantung gue.

"Hmmm, enggak kok bu. Nella cuma nyanyi aja. Soalnya kan, nanti siang Nella harus latihan lagi"

"Hubungannya apa? Latihan sama nyanyi? Malah sebut-sebut namanya kak, Rafael" semprul! Adek gue malah memperpanjang pertanyaan.

"Ya gak gitu. Kan di sekolah itu, si Rafael terkenal banget tuh. Banyak baperin cewek-cewek disana. Ibu mau tau gak?"

"Apa, apa? Apa nduk?" Secara spontan, gue, ibu dan adek gue mulai duduk di kursi ruangan tamu. Gosip Time pun dimulai.

"Jadi, selama ini. Si Rafael itu punya sisi gelap buk" Bisik gue.

"Sisi gelap cemana maksud kamu?" Penasaran banget muka ibu gue. Udah mirip ibu komplek sebelah, kalau lagi ngegosip.

"Iya. Di sekolah dia sering banget gonta-ganti cewek. Kalau udah bosen, ya dia tinggalin. Terus cari cewek lain lagi. Begitu terus. Intinya dia udah banyak baperin cewek-cewek. Yang sakit ati ama tuh orang juga banyak kayanya bu" Dusta gue.

Ya kali ucapan gue jujur. Demi melupakan kejadian memalukan barusan. Gue sampai harus berbohong begini.

"Aduh. Kok nak Rafael begitu? Ibu Marinka tau gak?"

"Enggak! Enggak bu!" Gue langsung menggelengkan kepala gue cepat.

"Jangan sampe ibu Marinka tau, bu" bisik gue lagi.

"Kenapa emangnya? Kan kalau ibu Marinka tau, malah makin bagus. Jadi, nak Rafael bisa di nasehatin" serius banget sih, nyak gue.

"Kelakuan Rafael udah terlalu buruk bu. Kasihan, ibu Marinka. Nanti dia bisa stressssss"

Maafkan gue Rafael. Gue tau lu bakalan maafin gue, dan bakal paham sama maksud gue. Kenapa gue harus nge buruk-buruk-kin elu.

"Emang semengerikan itu ya? Playboy banget dia ya?" Tanya ibu gue lagi.

"Banget bu! Makanya, Nella juga udah capek nasehatin dia sebenarnya" kepala gue nyemplung di comberan! Ya kali, mulut gue tanpa dosa ini malah sok muji diri sendiri.

"Lebih ngeri lagi sebenarnya mulut lu, Nell. Sejak kapan gue baperin cewek-cewek?"

Dudidam dah muka gue. Udah berdiri aja si pangeran kodok depan rumah gue. Ini anak titisan lampir apa gimana sih? Tiba-tiba udah disini aja.

"Eh nak Rafael. Udah lama? Masuk-masuk" sopan banget nyonya rumah ini menyambut tamu.

Gila parah ini gue bingung harus ngapain. Pelan-pelan gue lihat muka Rafael.

SIAL! Tidak ada tanda persahabatan di wajah itu. Rafael masuk dengan Bapak. Dan duduk di kursi tempat gue duduk.

Bisa gak sih, gue masuk ke sumur aja sekarang? Malu banget gue anjir! Udah gue nyanyiin lagu baper ke dia dan ketahuan ibu, sekarang gue malah fitnah dia, dan ketahuan sama orangnya sendiri. Masih pagi udah sial aja nasib gue.

"Nak Rafael udah sarapan?" Tanya ibu gue.

"Belum bu. Tadi dari rumah langsung kesini sama Bapak" jangan tanya kenapa dia bisa seakrab ini sama keluarga gue. Ya karena dia memang seperti itu, udah diajarin dari orok sama orang tuanya.

Dan terlebih lagi, gue sama dia udah kenal lama. Dia juga nyaman sama keluarga gue. Malah, dia lebih sering ngeluh ke ibu gue dari pada ibunya sendiri. Demam aja dia minta obatnya sama ibu gue, minta di masakin sama ibu gue.

Lama-lama dia bakal jadi saingan gue juga kayanya nih.

"Yasudah, ayuk kita sarapan bareng. Ibu buatin bubur ayam" Rafael mengangguk dan berdiri mengikuti ibu, Bapak dan adek gue ke meja makan. Namun sebelum itu, dia berhenti sebentar di depan gue.

"Setelah ini, jelasin sama gue" ucapnya berlalu.

Gila! Rasanya, gue mau lari ke paris naik odong-odong. Bisa pucat pasi gue di marahi sama dia nanti.

"Yuk, kak" gue mengangguk pelan mendengar ajakan Bapak. Hati gue gelisah dan gue juga sedikit mau pipis di celana rasanya.

GUE TAKUT!

***

"Sekarang, jelasin sama gue. Kenapa lu harus jelek-jelekin gue di depan ibu"

Diam aja gue. Udah diam aja, Nell. Bukan karena gue gak bisa ngomong. Tapi karena seluruh badan gue udah gemetar.

Saat ini, gue dan Rafael sedang berdiri di belakang rumah gue. Ya, pemandangan yang paling menarik dari rumah gue yang sederhana ini terletak di belakang rumah gue sih. Karena orang tua gue suka menanam bunga di belakang, dan membuatkan ayunan untuk adek gue. Ayunan yang bergantung di pohon beringin yang besar ini.

Yakin banget gue, kalau malam hari pasti yang main di ayunan ini si mbak kunti. Ini kok jadi bahas pemandangan dan mbak kunti sih? Gue lagi di ospek nih!

"Kenapa diam aja? Tadi semangat banget perasaan" tanyanya lagi.

Gue harus gimana? Masa ia gue ngomong sama dia yang sebenarnya? Bisa besar kepala nih orang.

"Maaf" dan kata itu pun keluar dari mulut gue.

"Lu sebenci itu sama gue? Sama ucapan gue yang kemarin?" Tanyanya lagi. Gue memberanikan diri menegakkan kepala gue dan melihatnya.

Raut wajah Rafael buat gue bingung. Dia menatap gue dengan pandangan yang sulit gue artikan.

"Bukan seperti itu. Gue, gue cuma. Ah! Gue minta maaf, Raf" gue kembali menunduk. Terdengar tarikan nafas dari Rafael.

"Lihat gue" gue mendongak dan kembali melihatnya.

Gue terenyuh sesaat. Saat tangan halusnya terangkat menyentuh kepala gue. Mengusapnya dengan pelan.

"Elu, apa yang udah lu lakuin sama gue?" Tanyanya yang buat gue diam dan tak bersua sedikitpun. Gue hanya menikmati belaian tangannya di kepala gue.

Terasa tenang. Dan perasaan gue jadi senang

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SI BULUK DAN KISAH CINTANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang