Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa satu tahun sudah Argi di Bandung. Waktu yang singkat itu ia isi dengan berbagai kesibukan. Di kampus Argi juga mengikuti beberapa organisasi. Keadaannya semakin membaik. Argi tak lagi merasa sedih. Dorongan untuk bunuh diri tak pernah lagi menguasai pikirannya. Bisikan di telinga sudah lama hilang. Dosis obatnya pun sudah dikurangi sejak enam bulan lalu. Argi merasakan perubahan yang signifikan. Berkat dukungan Sang Ibu, ia berhasil mendekati kata sembuh.
Dalam setahun belakangan, Argi tak bisa melupakan Nadira. Bayang-bayang akan gadis itu selalu mampir tiap kali ia hendak tidur. Argi pun bertanya-tanya bagaimana kabar gadis itu. Mungkin ia sudah dilupakan. Mungkin Nadira sudah jatuh cinta pada lain hati. Argi pun berharap demikian, meski hatinya bertolak belakang. Argi tak menyadari bahwa Nadira penting baginya. Ia merasa, kini, ia bisa membalas perasaan gadis itu. Argi merasa lebih yakin. Ketidakpercayaan dirinya mulai lenyap perlahan. Argi ingin sekali bertemu Nadira.
Di sisi lain, Lia sibuk mengupas apel. Ia memperhatikan Argi yang tengah melamun. Lia tersenyum menatap Argi. Hubungannya dengan keluarga Argi menjadi sangat dekat. Ia pun sudah menganggap Argi sebagai adiknya. Lia pun menjadi teman pertama Argi di Bandung. Berkat Lia, Argi tak merasa kesepian, begitu pun sebaliknya. Keduanya bagai sejoli yang berjuang melawan sakit masing-masing. Dan kini keduanya menjadi lebih baik. Lia dan Argi pun percaya bahwa keduanya dapat sembuh. Memiliki penderitaan yang sama membuat Lia dan Argi paham satu sama lain. Dan itu membuat keduanya nyaman, ditambah Amira yang selalu mendukung mereka.
"Gak terasa, ya, udah satu tahun kita lewati semuanya," ucap Lia, membuyarkan lamunan Argi.
"Iya, gak terasa, waktu cepat berlalu."
"Dan kini, kondisi kita jauh lebih baik." Lia memakan sepotong apel yang ia pegang. "Aku benar-benar beruntung ketemu Bunda dan kamu, Gi."
"Aku dan Bunda juga senang bisa kenal kamu, Li."
Lia tersenyum. "Bagaimana dengan Nadira? Masih sering kepikiran?" tanya Lia, sebab Argi sering menceritakan soal Nadira kepadanya.
"Memang bisa ya, Li, cinta datang terlambat?" Argi balik bertanya.
"Bisa saja, Gi."
"Apa ini disebut penyesalan?"
"Aku rasa berbeda. Kamu tak membalas perasaannya karena ada sesuatu yang menghalangimu, bukan karena kamu tidak suka dia, kan? Dan aku rasa, kamu sudah lama suka sama dia, tapi perasaan itu selalu kamu sangkal. Kini, perasaan itu menjadi lebih nyata dan mulai mengusik dirimu dengan hadirnya rasa rindu."
Argi terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Memang benar ia merindukan Nadira. Tetapi ia tidak tahu bagaimana harus mengobati rasa rindu itu.
"Ayo kita ke Jakarta, akhir pekan," ajak Lia.
"Mau ngapain?" Argi masih tak tahu.
"Ketemu Nadira. Obat rindu itu pertemuan, Gi."
"Bagaimana kalau dia sudah tidak mencintaiku? Atau mungkin ia sudah punya pacar baru?"
"Makanya kita ke Jakarta, kita cari tahu kebenarannya. Kalau terus berdiam diri kamu gak akan pernah tahu, Gi. Bagaimana jika perasannya padamu masih ada?"
"Apa mungkin perasaan suka bisa bertahan selama itu?"
"Cuma setahun, Gi. Mungkin saja perasaan itu masih ada. Aku saja pernah jatuh cinta selama tiga tahun, bertepuk sebelah tangan, pula."
Argi mencerna kata demi kata yang Lia lontarkan. Perkataan itu ada benarnya. Argi tak akan pernah tahu bagaimana dengan perasaan Nadira jika ia tidak mencari tahu. Argi pun tak mengerti mengapa perasaannya menjadi begitu kuat. Nadira berhasil masuk ke tempat terdalam hatinya, meski sedikit terlambat. Mungkin juga perasaan itu hadir sebab kondisinya yang mulai membaik. Sakit yang tadinya menjadi penghalang untuk Argi merasakan cinta, kini memudar perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For You [TAMAT]
Novela JuvenilTidak sabaran, Nadir langsung saja mengajak Argi menjalin suatu hubungan; pacaran. Sialnya, ia ditolak, sebab bentuk tubuhnya yang bulat seperti bola, juga wajahnya yang penuh dengan jerawat seperti daun jambu yang Argi lihat di rumah temannya, dan...