Eps; 02

177 64 0
                                    

  Ceilo membuka matanya meskipun menahan rasa sakit yang menyerang leher dan punggungnya, matanya beberapa kali berkedip serta samar-samar mengenali tempat asing yang temaram dan tanpa sinar matahari. Saat seluruh penglihatannya tak lagi pudar, sontak Ceilo menggerakkan tubuhnya namun hal itu tak terjadi karena dirinya terikat dengan tali besar tepat di kaki dan tangannya. Kepalanya pun bergerak liar—mengabaikan rasa sakit di lehernya.

  Suara tamparan keras dari gadis yang mungkin satu tahun lebih muda dari dirinya terdengar paling mendominasi, Ceilo menelan ludah melihat pipinya yang merah karena tamparan itu. Matanya berair namun tak jatuh satu tetes pun, kurus, pucat dan lesu menggambarkan dirinya secara nyata dalam pertemuan pertama ini. Suara keras itu kembali terdengar disusul tangis bayi sekitar empat bulan yang ternyata tak jauh dari tempat duduk gadis yang ditampar.

  Ceilo tidak mengerti apa yang sudah terjadi dan ada di mana kiranya dirinya, mata Ceilo menatap wajah Dobby yang pucat dan beberapa biji keringat yang membasahi pelipisnya. Teman karibnya itu seperti sedang tertidur pulas, namun hal itu tak berlangsung lama sebab Ceilo dikejutkan dengan siraman air hangat yang masih berasap tipis membasahi dirinya dan Dobby, Ceilo bisa merasakan seluruh tubuhnya terbakar meskipun hanya dengan air hangat. Dan, Dobby terbangun dari pingsan itu. Laki-laki yang menawarkan tumpangan saat pulang sekolah tadi, rupanya dia lah yang menampar gadis di seberang sana.

  Dobby terlihat bingung, sama seperti pertama kali Ceilo membuka mata. Tangisan bayi terdengar kian keras, suara rintihan dalam yang menyanyat terdengar dari bibir pecah gadis yang ditampar itu, tangannya terbebas tak seperti Ceilo dan Dobby.

"Sudah kubilang jangan buat kebisingan!" Laki-laki itu membentak gadis yang berlutut, ia menggendong bayi yang menangis dan memeluknya dengan erat.

"Sekali lagi kudengar dia menagis, Siap-siap dia jadi santapan harimau. " Laki-laki itu berbicara membungkuk dengan intonasi jelas namun suara rendah yang ditekan.

"Aku sudah membersihkan dapurnya, Pak. " Laki-laki yang mungkin berusia tiga tahun lebih tua dari Ceilo datang dengan sebuah pel dan sikat, dia tak jauh berbeda dari anak-anak lain yang duduk meringkuk ketakutan di lantai kotor tanpa alas.

  Laki-laki yang dipanggil Pak menoyor kepala gadis itu dan melangkah penuh emosi pada laki-laki yang baru datang. Bogem keras menabrak tulang pipinya, dan ia tertunduk sambil mengeratkan sikat yang hampir jatuh dari tangannya. Darah mengalir dari hidungnya, bibirnya tampak pecah dan berdarah karena bogeman itu.

"Kenapa lama sekali?! " Ucap laki-laki yang dipanggil Pak, dia segera berlalu pergi menaiki tangga bahwa tanah, ya, sekarang Ceilo sadar dia berada di ruang bawah tanah yang tak terurus.

"Anakmu berisik sekali, Fluer. Aku pun pusing mendengarnya. " Laki-laki itu melempar sikat yang dipegangnya hampir mengenai gadis yang sedang menyusui bayinya, lalu laki-laki itu menyeka darah di hidungnya.

"Ini semua karena kau bekerja lambat, Diaz. " Gadis muda yang menyusui itu berkata penuh emosi, Fleur bahkan tidak peduli anak-anak lain melihat mata bengkak dan wajah memarnya dilihat Ceilo dan Dobby yang masih kebingungan.

  Suara langkah kaki yang nyaring seolah memukul tangga kayu rubanah membuat semua orang memucat, termasuk Ceilo yang ikut panik melihat anak-anak lain seolah ingin menangis saat langkah kaki itu kian mendekat. Wanita berusia empat puluh menyeret anak kecil yang mungkin masih berusia delapan tahun, tangisnya memecahkan kesunyian dan mengundang mata menatap ke arahnya.

"Kau berusaha kabur?! Ha! Menyusahkan saja! " Wanita itu melepaskan tanganya dari kaki sang anak, tubuhnya banyak luka gores bahkan memar bekas pecutan tali tampak belum mengering dari tubuh kurus dan tak terurus.

"Kubilang bawa daging kelinci sebelum malam datang, mana kelincinya!? "

"A— aku tidak melihat satu kelinci pun di hutan, " jawabnya sambil menagis sesegukan, suara tangis bocah itu sangat nyaring dan bergetar, rasa takutnya terpampang jelas di wajahnya yang kecil dan terbakar matahari.

"Makanya cari! Nggak becus! Nggak guna! " Wanita itu tampak marah besar dan terlihat seperti orang frustrasi, dia memukulinya dengan tangan kosong. Lalu mengambil tali tambang yang tak jauh dari Fleur yang duduk ketakutan.

  Bocah usia belia itu semakin menangis saat melihat tali yang dipegang Wanita itu, seolah-olah tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Ia terduduk karena lemas, pipinya dipukul begitu saja dan tak tahu lagi yang sedang dilakukan wanita itu, Tiba-tiba suara tangis bocah itu tak lagi terdengar. Namun semua mata tertuju padanya, termasuk mata Ceilo dan Dobby yang melihat kaki kecil bocah itu bergerak liar terbaring di lantai.

Wanita itu berdiri dari duduknya yang menutupi bocah itu, kepalanya menoleh ke belakang—tepat tertuju pada Ceilo yang memucat. Ceilo menunduk, ia tampak memainkan jarinya yang kesemutan dan kakinya yang gemetaran.

" Ciro, buang bangkainya ke sungai. " Ucapnya lugas dan menatap anak laki-laki yang mungkin seumuran dengan Ceilo.

  Anak yang disebut namanya segera berdiri, Ciro tak jauh berbeda dari anak lain. Hampir semua kondisi anak yang ada di tempat ini kekurangan makanan dan sama-sama tak terurus, namun kebanyakan dari mereka bebas tanpa dijerat tali. Tak seperti Ceilo dan Dobby.

  Wanita itu pergi berlalu begitu saja, namun kembali matanya menghunus ke arah Ceilo dan Dobby. Mengenali anak baru yang baru saja mereka tangkap sebagai tahanan baru yang cukup menjanjikan.  Wanita itu melanjutkan langkah dan menaiki tangga, hingga tak lagi terdengar suara tangga kayu yang berisik.

  Ciro melangkah mendatangi bocah yang tak lagi bergerak di tengah lantai sana, tali tambang terikat erat di lehernya. Bahkan tubuhnya tampak kaku, Ciro membungkuk mengambil ujung tali yang melingkar di leher bocah itu. Anak itu menarik tali dan berhasil menyeret bocah itu kembali menaiki tangga, tidak ada yang membantu Ciro membawa bocah itu naik ke atas.

"Mau dibawa kemana, bocah malang itu? " Suara pelan dari Erion membuat suasana yang tadinya tegang sedikit mencair.

"Apa kau tuli? " Suara besar yang sepertinya baru pubertas terdengar kasar, membuat Fleur menoleh ke arah Ciro yang berusaha membawa bocah itu.

"Mayatnya akan di buang ke sungai. " Fleur menyahut sebagai jawaban atas pertanyaan Cetta, dia tampak mengelus pipi lembut bayinya yang tertidur pulas setelah berusaha ia beri asi meskipun hampir tak ada, sebab ia tak mendapat asupan makanan yang seharusnya dikonsumsi ibu menyusui.

"Apa, sejauh itu Ciro membawanya? " Cetta tampak terkejut, dia bahkan tidak yakin Ciro akan kembali ke tempat kotor ini setelah membawa bangkai ke sungai. Terlebih ini adalah hutan belantara.

°
🪷🪷🪷

KISAH LAUTAN LOTUS

Kisah Lautan LotusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang