Eps; 06

105 16 0
                                    

Semua orang di sana diam, apalagi saat menyadari wajah berseri Ceilo dan suara antusiasnya yang sedang mengundang kematian. Cetta menggeleng, Diaz pun demikian, berbeda dengan Erion yang tampak ragu dan Fleur yang bimbang. Mata Fleur menatap dalam pada ketulusan Ceilo namun akhirnya ibu muda itu menggeleng lemah kendati ia membutuhkan sayuran yang mungkin bisa menjadi sumber ASI untuk bayinya.

"Makanlah, kau harus berkerja keras besok. " Ucap Fleur, gadis itu membaringkan bayinya di lantai dengan alas kain lusuh yang kotor, Fleur juga berbaring di dekat bayinya lalu menutup mata segera tidur.

Mata Ceilo menyorot ke arah Cetta dan Erion, juga pada Diaz yang menyadarkan kepalanya sambil menutup mata. Ceilo menunduk lesu menatap makanan di piringnya, laki-laki itu segera melangkah mendatangi Dobby dan duduk di sana sambil memegangi piringnya, kemudian Ceilo menaruhnya di lantai dan sedikitpun tak mau memakannya, hal itu berhasil membuat Dobby merasakan yang sama, rasa laparnya tiba-tiba hilang.

"Aku kangen Ibu. " rintih Ceilo yang tiba-tiba memeluk Dobby, anak laki-laki itu menangis tak bersuara dalam peluk erat Dobby.

"Aku juga rindu Ayah, dia nggak pernah pulang ke rumah. " Dobby tampak menyapu kantong matanya yang basah, bahkan sudah terdengar isak pelan dari hidungnya yang berair.

"Mereka pasti nyariin kita. " Ceilo semakin kejer, bahkan dirinya semakin merapatkan diri dalam pelukan Dobby. Keduanya mengadu nasib, namun tidak yang akan berubah karena mereka sudah terlanjur terkurung di tempat ini.

"Aku takut nenek belum makan malam, dia nggak bisa ambil nasi sendiri karena kakinya udah nggak kuat, aku mau pulang Ceilo. " Dobby tampak menenggelamkan wajahnya di bahu Ceilo, tangis Ceilo kian pecah saat Dobby berkata demikian. Dua anak laki-laki polos yang tidak mengerti banyak hal itu hanya bisa menangis, pikiran mereka bahkan tak sampai untuk membuat rencana pelarian.

Fleur membuka matanya saat mendegar tangis anak baru, sambil mengelus pipi bayinya—gadis itu juga sedang membendung air yang tak boleh jatuh, Fleur menyeka kedua matanya, lalu tersenyum simpul menatap anaknya yang sudah tertidur lelap, tangan Fleur sesekali mengusir nyamuk yang berusaha hinggap di kulit bayinya. Tangisan kesedihan dan ketakutan dari Ceilo dan Dobby tak terdengar lagi, seorang perempuan berambut sebahu berdiri di undakan tangga pertama. Matanya menatap ke bawah namun kosong, perempuan itu menatap jarum jam di tangan kanannya, lalu berbalik meninggalkan undakan.

Perempuan dengan rok itu menatap wanita lanjut yang sudah tertidur di sofa, mata Zie berpindah pada sebuah tab yang menampilkan sebuah radar dan titik-titik merah pada layar hijau rumput. Zie segera melangkah meninggalkan sofa, perempuan itu keluar dari rumah di ditengah hutan belantara tanpa menimbulkan kebisingan.

Rumah itu tak memiliki sebiji lampu listrik, hanya lampu rakitan yang memanfaatkan genset dan beberapa aki mobil untuk beberapa tempat. Di luar pun tak ada satu bohlam lampu, itulah kenapa Zie menyalakan senter kecil yang begitu terang. Kakinya melangkah tergesa-gesa masuk ke dalam semak ilalang dan tumbuhan berduri, sepatunya lah yang tak mengganggu langkah itu. Zie tampak mengikuti jalur baru, sebetulnya hanya ada satu jalur untuk ke luar dari pedalaman hutan, dan itulah kenapa Zie melangkah tergesa-gesa mengikuti jalur yang sepertinya baru muncul itu.

Semakin jauh Zie melangkah, semakin mengecil juga cahaya senter Zie dari rumah tua itu. Kaki Zie berhenti melangkah saat ia menatap pita merah diikat di sebuah batang ilalang, semakin laju lagi kaki Zie melangkah. Hingga akhirnya ia benar-benar berhenti sambil mengatur napasnya yang singkat, membungkuk sebentar lalu berdiri tegap menatap anak laki-laki kecil yang sedang duduk di atas rumput.

Plak!

Ciro meringis kesakitan saat tangan Zie mendarat ke pipi kecilnya. Ciro menunduk ketakutan, tak sedikitpun matanya menatap wajah Zie bahkan jarinya tampak gemetaran saat tamparan itu terasa panas.

"Kau cari mati? Sudah ku katakan bukan, ambil pitanya jika kau sudah tiba di sini. " Zie berkata penuh penekanan dan berbisik seolah-olah takut ada yang  mendengar, padahal hanya ada telinga serangga dan burung malam yang ada di semak itu.

"Maaf kak Zie. " Ucap Ciro sedikit tergagap.

"Jangan berteriak. " Ucap Zie dingin, perempuan itu langsung mengeluarkan cutter dari dalam saku roknya, lalu mendorong Ciro hingga jatuh tengkurap ke tanah. Zie menahan kedua tangan Ciro dan tanpa belas kasih, Zie memotong sedikit daun telinga Ciro. Anak itu hampir saja berteriak karena terkejut apa yang sedang dirasakannya, sebab Ciro juga tak menduga bahwa perempuan itu memotong daun telinganya. Ciro menggigit bibirnya setelah Zie berdiri dan menumpahkan alkohol di telinga Ciro yang banjir darah, anak itu pun hampir bergulung menahan perih.

Zie tersenyum miring, setelahnya Ciro merasa lebih baik lalu Zie memamerkan daun telinga yang sudah dipotong itu pada Ciro, bahkan Zie berlutut dan mendekatkan benda itu ke wajah Ciro.

"Lihat apa yang menempel di telinga mu, " Ucapnya dengan alis terangkat, sedang Ciro menggeleng sambil menyentuh telinganya yang sudah di potong daunnya.

"Chip, mereka bisa melihat keberadaan mu  dengan benda yang mereka pasang. Implan yang membuatmu tetap berada dalam pengawasan mereka, mereka tahu  posisimu. " Zie tersenyum lagi setelah ia menjelaskan benda kecil seperti tindik mini sekali yang terpasang mati di daun telinga itu.

  Zie membuang potongan telinga itu pada semak yang berjarak cukup jauh dari tempat mereka berdiri, tangannya lalu terjulur membantu Ciro bangun. Ia menepuk-nepuk pundak kecil anak itu, sambil menarik napas panjang Zie berkata, " Ikuti pita merahnya, lalu masuk ke dalam pohon besar yang ada lubangnya, sembunyi di sana dan aku akan cari cara membantu teman-temanmu yang lain. "

Ciro mengangguk patuh kendati yang harus menahan luka di telinganya berhari-hari. Anak itu mulai berkaca dan tanpa terasa air matanya sudh jatuh menggukir garis tak rata di pipi kotornya, Zie yang melihat itu hanya terkekeh kecil.

"Jangan menangis, kau akan pulang Ciro." Zie mengusap rambut berminyak anak itu, matanya menatap langit yang gelap, tak ada bulan dan bintang yang menghias langit.

"Aku berharap banyak padamu, kak Zie. " Ucap Ciro sambil mengusap air matanya, anak itu segera berbalik badan masuk ke dalam semak yang masih rapat, sebelum melangkah Ciro menyunggingkan seulas senyum lalu melambaikan tangannya. Setelah itu, Ciro benar-benar masuk ke dalam semak rapat, kakinya melangkah hati-hati sambil mencari pita merah yang sudah ditaruh Zie di sana.

Zie pun kembali memasukkan cutter ke dalam saku roknya, perempuan itu kembali menyalakan senter dan melangkah tergesa-gesa menuju rumah tua. Malam kian gelap, dan Zie yang berwajah datar itu tampak menarik satu sudut bibirnya, melahirkan seringai yang janggal dan penuh arti.


°
🪷🪷🪷

Kisah Lautan Lotus

Kisah Lautan LotusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang