Acara siang itu berjalan dengan sempurna. Dekorasi yang telah dipersiapkan dengan cermat menghiasi ruangan, menciptakan suasana yang anggun dan mewah.
Mark dan aku sibuk mengatur properti terakhir, yakni beberapa lampu panjang yang akan dipasang di sepanjang dinding. Sementara itu, Val dan David bekerja keras menata meja-meja yang nantinya akan digunakan untuk menampung gelas-gelas dan berbagai minuman.
Aku mengambil tangga lipat untuk memasang lampu tersebut, namun Mark mencegahku dan bersikeras untuk melakukannya sendiri.
"Apa kau yakin? Lukamu belum sembuh," kataku khawatir.
"Sudahlah, aku baik-baik saja," jawab Mark tanpa ragu. Aku menghela napas sambil mengamati Mark yang menaiki tangga dengan hati-hati.
Seketika, pandanganku tertuju pada sebuah ruangan dengan cahaya redup di sudut aula. Sebuah siluet dengan jubah yang menutupi kepalanya. Wajahnya gelap dan tak dikenali, hanya berdiri diam membatu.
"Heeiiii~" suara serak dan mengerikan seperti dalam film horor memanggilku. Aku menoleh ke kanan dan kiri, mataku berkeliling mencari asal suara itu.
"Heeiiii~" suara itu berbisik lagi.
"Siapa sih? Usil banget deh!" gumamku pelan seraya menoleh, membuat Mark yang heran bertanya.
"Ada apa? Kau mencari seseorang?" tanya Mark sambil terus bekerja.
"Tidak," jawabku sambil menggeleng.
"Arsheaa~~ ini aku, Aerol. Aku di sini, kau baru saja melihatku, kan?" suara itu berbisik lagi, kali ini dengan nada normal.
"Aerol? Makhluk itu lagi?" gumamku dalam hati.
"Makhluk itu? Wah, aku kecewa sekali mendengarnya," jawab suara itu.
"Hah? Dia bisa mendengar suara hatiku?" ujarku dalam hati.
"Aku bahkan bisa mendengar suara jantungmu," sahut suara itu, membuatku merinding seketika.
Sekali lagi, aku menoleh ke kanan dan kiri, merasa kebingungan.
"Aku di sini~" suara Aerol bergaung di kepalaku. "Di ruangan redup tepat di seberangmu," katanya lagi.
Aku kembali memandang ke arah ruangan itu. Siluet tersebut masih ada, bahkan kini melambai padaku.
"Kenapa kau di sana? Keluarlah," balasku melalui telepati.
"Aku ingin sekali, tapi aku sedang dalam misi," jawabnya.
Rasa penasaranku tak terbendung. "Misi apa?"
"Misi penyelamatan dirimu. Avael tadi diserang, bukan?"
Aku terkejut, bagaimana dia tahu?
"Aku kebetulan berada di sana tadi. Sekelompok orang bermasker hitam mencoba melukaimu," lanjutnya.
"Iya, dan Mark melindungiku sampai tangannya terluka," balasku, masih terguncang dengan kenyataan bahwa Aerol mengetahui semua ini.
"Aku tahu siapa dalang di balik ini." Aerol menatapku dengan sorot mata tajam yang bersinar dalam kegelapan.
"Siapa?" tanyaku dengan napas tertahan.
"Jessi. Dia menyewa beberapa orang untuk mencelakaimu. Dan, kuakui, mereka sangat berbahaya, bahkan untuk manusia."
Aku terhenyak mendengar penjelasan Aerol. Jessi? Mengapa Jessi melakukan ini? Apakah kebenciannya pada Arshea begitu mendalam?
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanyaku, mencari secercah harapan dalam situasi yang menakutkan ini.
"Kita akan mengikuti permainan mereka," jawab Aerol tenang. "Seperti yang kukatakan, aku punya kenalan yang bisa membantu. Namun, kau harus siap untuk berkorban sedikit."
Aku terdiam, masih menatap Aerol dengan serius, mencoba memahami maksudnya.
"Aku akan menjelaskan lebih detail saat jam sekolah," lanjutnya.
Namun sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, Aerol sudah menghilang. Siluetnya lenyap dalam sekejap.
"Arshea!" Suara Mark memanggilku, mengajakku bergabung dengan Val dan David di suatu tempat.
Aku melambai tangan dan tersenyum pada mereka. Aku sekilas menatap ruangan itu lagi, Aerol benar-benar sudah tidak ada disana.
"Kenapa kau dari tadi menatap ruangan itu? apa ada seseorang?" tanya Val di tengah-tengah istirahat kami di taman sekolah.
"Ah, tidak ada apa-apa. Aku hanya merasa aneh saja ruangan itu dibiarkan gelap. Maksudku kenapa tidak digunakan untuk ruangan VIP pesta nanti? Kurasa akan berguna dibandingkan hanya di biarkan saja," jawabku berusaha keras menutupi pertemuanku dengan Aerol.
Val dan David mengangguk sepemikiran, namun tidak bagi Mark. Ia mengetahui kalau aku berbohong. Tatapan matanya berkata seperti itu.
...
Setelah persiapan acara selesai, kami semua kembali ke rumah. Seperti biasa, Mark dan aku menaiki bus untuk pulang.
"Siapa yang tadi kau ajak bicara?" tanya Mark begitu kami duduk di dalam bus.
Aku terdiam sejenak.
"Ah, pasti Aerol, kan?" tebaknya. "Apa yang dia katakan?"
Aku menghela napas, menyerah. "Dia tahu tentang insiden tadi pagi. Katanya, beberapa orang mencoba melukaiku, dan dia yakin ini ulah Jessi."
Mark mengusap dagunya, berpikir dalam-dalam. "Mungkin saja. Karena targetnya memang hanya dirimu. Kalau aku tidak ada bersamamu saat itu, mungkin sekarang kau sudah berada di rumah sakit dalam kondisi kritis."
Aku pun sependapat. Pikiran itu menghantuiku.
"Kalau benar ini perbuatan Jessi, apa yang harus kita lakukan? Waktu yang kupunya hanya tersisa satu bulan sekarang," ujarku, merasa cemas.
Kami berdua terdiam, berpikir keras. Jessi, dengan kekayaan dan pengaruh yang berasal dari ayahnya, bukanlah lawan yang mudah dihadapi. Melawannya terasa seperti menghadapi tembok besar yang tak tergoyahkan.
Tiba-tiba, kata-kata Aerol terlintas di benakku. Dia bilang punya kenalan yang bisa membantu, tapi sulit untuk sepenuhnya mempercayainya. Bagaimanapun, Aerol adalah makhluk licik dan misterius.
"Apa kita perlu melibatkan Aerol sekarang?" tanyaku hati-hati, tahu bahwa Mark sangat sensitif jika mendengar nama itu.
Benar saja, ekspresi Mark langsung berubah datar, tatapannya tajam menembusku.
"A-aku maksudkan, siapa tahu dia punya rencana. Aerol licik, sama seperti Jessi, bukan?" kataku sambil tersenyum kecut.
Mark tetap diam, merenung.
"Mengingat waktumu semakin sedikit, mungkin tidak ada salahnya kita tanyakan padanya. Tapi, jika dia berbuat aneh, aku tak akan ragu untuk mematahkan lehernya," jawab Mark akhirnya, penuh kewaspadaan.
Aku tersenyum kecil, "Baik, ya, kita lihat saja."
Sesampainya di rumah, kami mendapati ayah Arshea sedang membereskan pekarangan yang tampak kacau. Pecahan botol berserakan, dan rumput yang hangus terbakar meninggalkan bekas hitam yang lebar. Ada sesuatu yang terasa sangat salah.
"Ayah? Apa yang terjadi di sini?" tanyaku dengan nada panik. Jangan-jangan ini ulah orang yang sama.
"Ayah juga tidak tahu. Tadi ayah sedang masak, lalu tiba-tiba ada asap di pekarangan. Ketika ayah keluar, rumput sudah terbakar dan ada pecahan botol di dekatnya. Untung saja belum sempat menyebar ke mana-mana."
Aku dan Mark saling berpandangan, yakin ini bukan kebetulan.
"Kita harus segera menemui Aerol," kataku serius.
Mark mengangguk tegas, setuju tanpa ragu.
.
.
.
.
bersambung...
![](https://img.wattpad.com/cover/344087293-288-k718993.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I've Become My Master [hiatus]
FantasySetelah insiden bunuh diri itu, majikanku terbaring koma dan meninggal. Aku, sebagai kucing peliharaanya, tidak tega melihat majikanku tertidur dengan begitu pulasnya di peti mati yang berukir warna emas. Aku melihat sosok tampan dengan sayap dan ju...