Aku berjalan menuju lobby rumah sakit, suara dengung terdengar menyayat telinga. Aku merasakan seseorang mendekat dengan cepat. Refleks aku menunduk lalu mendongak. Terlihat seorang wanita yang hendak memelukku dari belakang tiba-tiba terhuyung dan terjatuh menimpaku.
"Awww!" kataku saat tubuhnya mendarat di atasku. Tubuhnya lumayan besar dan berisi. "Siap—!"
"Arshea, kok kau tahu kalau aku mau memelukmu dari belakang. Refleksmu membuatku kaget," ujar si wanita yang aku tidak kenal. Apa dia temannya Arshea? Aku menatapnya, seorang wanita gemuk dengan kaca mata, tengah mengibas-ngibaskan bajunya.
"Kau ..." gumamku seraya mengingat-ingat, tapi sebenarnya aku benar-benar tidak tahu siapa dia.
"Hei, kau tidak mengenali aku?" katanya lagi dengan sedikit protes.
Aku terkekeh pelan, membuatnya menghela napas berat.
"Aku Susi, kau menyelamatkan aku dari para pembully itu," kata Susi, ya, namanya Susi.
"Oh, begitukah?" kataku pelan. Tiba-tiba dia memelukku, kali ini sangat erat. Aku seperti terhimpit di tengah-tengah ban karet.
"Aku mendengar kematianmu, lalu tiba-tiba kau kembali hidup. Berita itu viral di sekolah kita," katanya kemudian. "Kau pasti tersiksa gara-gara aku, aku minta maaf."
Aku terdiam, mungkinkah dia adalah teman yang dibicarakan para pembully itu? Si dungu?
"Ah," aku melepas pelukannya. "Bukan apa-apa, aku hanya tidak tahan saja melihat seseorang yang dibully seperti itu." Aku membual.
Sambil terisak ia tertunduk, terlihat ia sangat menyesal. Aku jadi kasihan padanya.
"Hei, sudahlah. Aku sungguh baik-baik saja, lihat 'kan aku kini sehat tanpa masalah apapun? Jadi kau tidak perlu menangis lagi," kataku sambil memegang kedua pundaknya. Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku tersenyum.
Lihat saja kalian para pembully, aku akan membalaskan apa yang telah kalian buat, Aku menyeringai. Jantungku bersemangat sampai aku dapat mendengar debarannya.
Sore hampir menjelang, aku segera pulang kerumah. Usai membuka pintu, aku mencium aroma masakan yang sangat lezat di hidungku. Aku berjalan menuju dapur. Terlihat ayah Arshea tengah memasak sambil bersenandung. Ini kali pertama aku melihat pria pemabuk itu memasak dengan begitu ceria.
"Ayah?" kataku pelan. Tak ingin mengejutkannya. Pria itu menoleh padaku.
"Oh, Arshea? Kau sudah pulang? Ayo duduk, Ayah sudah memasakkan makanan kesukaanmu.
Aku kemudian duduk di meja yang sudah tersedia piring dan alat makan lainnya. Meja itu bersih dan mengkilap, dengan bunga-bunga yang diletakkan didalam vas. Bunga-bunga itu sebenarnya dari hari kematian Arshea, tapi mungkin ayahnya ingin menyimpannya lebih lama.
Pria itu lalu menghidangkan beberapa makanan; Sorateli, beef cheese dan salad. Sorateli adalah makanan dari olahan jamur, dan ikan lalu dicampur dengan kari. Well, baunya cukup lezat di pembauku. Di tambah dengan tambahan ikan didalamnya maka harusnya ini bukan masalah untukku. Begitupun dengan beef cheese, kurasa air liurku sudah mengalir deras.
"Tumben sekali Ayah masak seperti ini?" kataku sambil menyendok makanan itu ke piring.
Sambil masih menggunakan apron, pria itu duduk dan menatapku serius. Sorotannya lembut.
"Mulai hari ini Ayah akan berubah menjadi Ayah yang baik untukmu. Ayah akan mencari pekerjaan dan menyekolahkanmu dengan baik. Jadi kau tak perlu bekerja paruh waktu, lagi." Suara pria itu terdengar tulus dan sedikit menyesal.
"Dari mana ka—Ayah tau kalau aku bekerja paruh waktu?" kataku sambil memakan suapan pertama, rasanya tidak begitu buruk.
"Ayah melihat name tag mu saat hendak membereskan kamarmu. Kau bekerja paruh waktu di mini market dekat sekolah, kan?"
Aku mengangguk cepat. Wah, lama-kelamaan makanan ini sangat lezat. Apa karena aku memang kelaparan? Aku tak bisa berhenti mengunyah. Melihatku lahap, pria itu tersenyum.
"Syukurlah kau menyukai masakan Ayah."
Aku berpikir, apa kalau Arshea tidak sungguhan meninggal ayahnya tak akan berubah sebaik ini?
///
Beberapa hari pun berlalu, aku kembali bersekolah. Ayah Arshea mengantarku hingga ke gerbang, dan tersenyum melepas kepergianku. Jika Arshea masih hidup, mungkin dia akan bahagia diperlakukan seperti ini oleh ayahnya.
Aku berjalan, masuk ke kerumunan. Namun, hampir semua mata tertuju padaku dengan beberapa gosip yang menyebar, walau hampir semuanya adalah fakta, sih.
Aku yang menjadi bahan tontonan segera mempercepat laju langkahku, ingin segera menuju ke kelas. Untungnya aku tahu dimana kelas Arshea, setiap hari aku melihatnya belajar dari atap.
Lega rasanya saat aku sudah berada di kelas, tak begitu banyak orang yang melihatku dengan tatapan takut, aneh atau penasaran. Walau di kelas ini juga terlihat sama saat aku tiba, tapi setidaknya tidak separah sebelumnya.
Hari ini hari pertama aku belajar sebagai manusia. Belajar semua yang biasanya anak murid pelajari di bangku SMA. Walau aku tak tahu apa kegunaannya dari belajar semua itu, aku hanya seekor kucing—dulunya—tapi sekarang aku harus mulai beradaptasi seperti manusia.
Arshea duduk di bangku ke tiga baris empat, tepat bersebelahan dengan tembok. Tetapi aku tak melihat seorang siswi yang sebelumnya satu bangku dengan Arshea. Apa dia sakit?
Pelajaran di mulai, desas-desus tidak begitu terdengar lagi. Yang ada hanya suara guru yang menerangkan pelajaran.
"Baik, sampai sini ada pertanyaan?" tanya guru tersebut usai menerangkan.
Saat aku selesai menulis, aku melihat sosok yang tak asing bagiku belakangan ini. Makhluk itu, Mark. Dia duduk diatas podium guru sambil bersila paha. Matanya mengerjap padaku.
Aku terkejut saat melihat Mark bertengger di podium guru sambil melihatku dengan senyum yang menjijikan bagiku.
Spontan aku berdiri sambil menggebrak meja, sontak semua pandangan menuju padaku dengan bingung.
"Ya, Arshea? Ada yang mau kau tanyakan?" tanya sang guru. Seketika aku terdiam, aku tidak ada maksud untuk bertanya. Tapi aku berniat untuk mengusir Mark dari sana.
"Ah, ti-tidak, Bu. Saya ... saya cuma mau pergi ke toilet," jawabku sedikit terbata. Mataku beradu pandang dengan Mark. Hanya saja sorotanku lebih tajam.
"Oh, baiklah. Jangan lama-lama, ya. Akan ada kuis setelah ini," jawab sang guru.
Aku kemudian berjalan, melewati Mark dan sang guru. Lalu aku menoleh kebelakang, aku menggerakkan telunjukku guna mengisyaratkan Mark untuk ikut denganku. Namun sang guru sepertinya menanggapi isyaratku. Ia lalu menunjuk dirinya sendiri.
Aku menggeleng kecil sambil tersenyum kecut, lalu mataku kembali menyorot Mark sambil mendengus. Mark hanya nyengir, semakin membuatku kesal.
-Bersambung-
P.S : Jika kalian suka bab ini, silahkan tekan VOTE dan komen jika ada kesalahan penulisan. Author bakal berusaha memperbaikinya~
Author masih newbie, btw~ hehe
Arigatou Gozaimasu~!

KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I've Become My Master [hiatus]
FantasySetelah insiden bunuh diri itu, majikanku terbaring koma dan meninggal. Aku, sebagai kucing peliharaanya, tidak tega melihat majikanku tertidur dengan begitu pulasnya di peti mati yang berukir warna emas. Aku melihat sosok tampan dengan sayap dan ju...