Bagian Tujuh

12 0 0
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

“Merindukan sosok yang sudah berpulang kepada sang Ilahi. Ialah rasa sakit yang hingga detik ini, belum kunjung kutemukan obat penawarnya.”

- Nafisha Elina Jannah-

Abadi Dalam Karyaku

By hlwriter04

•••

Dalam keheningan malam, aku duduk termenung sembari menyandarkan punggungku pada penyangga kasur.

Netraku fokus pada langit-langit ruangan yang minim akan pencahayaan. Huh, seharusnya aku segera berbaring dan tidur karena mengingat besok ada hal yang harus aku lakukan. Lebih tepatnya, mengunjungi makam mendiang saudariku.

Aku merasa bersalah. Karena sudah menyeret namanya ke dalam masalahku, dia bukan pelaku atas roda takdir kehidupanku yang mulai berubah. Ini semua ulahku sendiri, akibat masih belum bisa menjauh dari masa laluku yang kelam.

"Apa ini karma dari perbuatanku, ya?" Monologku pelan. "Lagipula aku tega banget sih, ngomong kayak gitu sama abah?" Lanjutku di kemudian.

Aku ingin meminta maaf padanya besok pagi sebelum berangkat ke pemakaman. Tapi, di satu sisi agak canggung juga. Apa aku tunda saja, ya? Sampai menunggu waktu yang tepat mungkin?

Huh, ini rumit sekali.

Kalau boleh jujur selain merasa bersalah pada abah. Aku juga geram akan tingkah laku Faqih Fairuza, lelaki dengan tampang alim itu ternyata sudah menipuku. Hah, menyebalkan!

"Huh, aku lelah." Pada akhirnya, mataku jadi sayu karena merasa letih dan berakhir membaringkan tubuhku ke atas matras yang empuk.

•••

"... Ina,"

Nafisha membuka perlahan kelopak matanya, sayup-sayup gadis itu mendengar suara perempuan lembut nan candu. Ada rasa nyaman hinggap ke dalam kalbu, membuat gadis bersurai hitam itu tak ingin pergi dari ruangan kamarnya sendiri.

Netranya bergulir guna mencari sosok tersebut. Hingga akhirnya ia terkejut bukan main, karena perempuan itu kini duduk di depan tempat tidurnya sembari mengulas senyuman manis.

"... Tidak mungkin, Ila?" Gadis bersurai hitam itu terperangah kaget.

Dengan kondisi yang masih lemas, Nafisha pun mulai bangkit dari tempat tidurnya.

Naila. Gadis cantik yang mengenakkan khimar berwarna hitam itu mengusap punggung tangan adik kesayangannya. "Tolong maafkan aku, apa kamu masih marah?"

Nafisha yakin ini semua pasti bunga tidurnya. Tapi ia merasakan hawa menyejukkan, dan tentunya membuat hatinya bahagia.

"Nggak kok, kenapa kamu bilang gitu sih? Harusnya aku yang meminta maaf!" Tanpa sadar setelah berucap demikian, mata Nafisha malah berkaca-kaca.

Naila terkekeh pelan. "Tidak! Ini salahku, maafkan aku, ya." Untuk yang kedua kalinya, sang kakak memohon kata maaf.

Sang empu lantas menggeleng tanda ia tidak setuju. "Untuk apa, Ila meminta maaf? Ila gak salah!" Tukas Nafisha.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Abadi Dalam Karyaku [Hiatus❕]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang