Banjir Lokal di Daerah Wajah dan Sekitarnya

1 0 0
                                    

Keesokan harinya Alula bangun dengan keadaan berantakan, ia menangis sejadi-jadinya tadi malam. Akibat ulahnya sekarang matanya membengkak, dan terlihat sangat jelas.

"Bodoh banget gua nangisi cowok modelan Dewa, tapi hati ini gak bisa dibohongin, Tuhan. Sakit banget nahan perasaan ini selama tiga tahun."

Alula bangun dan berjalan gontai ke kamar mandi. Dia harus segera membersihkan wajah serta dirinya. Dia tidak mau terlihat seperti mayat hidup.

Setelah selesai dengan ritual kamar mandinya, ia berjalan menuju cermin kamarnya.

"Wah gila! Efek Dewa bisa separah ini. Lagian dari sekian banyaknya manusia di muka bumi ini kenapa gua harus jatuh cinta dengan seorang bernama Sadewa Aswangga. Lelah hayati."

Alula melirik jam dinding di kamarnya, pukul 04:00. Dia baru saja tertidur pada pukul 01:34 dini hari.

"Harus gimana lagi gua supaya buat Dewa bisa paham dengan perasaan gua. Gak mungkin Dewa itu gak tau kalau gua suka sama dia, gua udah ugal-ugalan banget nyatain cinta tapi gak pernah terbalaskan."

Alula berjalan keluar kamar menatap sepi rumahnya. Di jam segini bahkan belum ada orang yang bangun, hanya Alula sajalah yang terbangun dari tidurnya karena kelelahan menangis.

"Gua ke bawah aja dulu deh. Gua mau nyari es batu buat ngompres mata gua."

Seisi rumah ini bahkan sangat gelap, tidak ada satu lampu pun yang hidup. Alula berjalan hati-hati hanya dengan ditemani oleh flash ponselnya saja. Jika sudah seperti ini, bahkan Alula tidak memikirkan tentang rasa takutnya terhadap hantu yang mungkin saja akan muncul.

"Duh Gusti, kudu kuat suka sama cowok buaya modelan Dewa. Tiap hari diperhatikan, dimanja, tapi status cuman sebatas sahabat. Sialan!" gerutu Alula.

Setelah menunjukkan es batu di kulkas, ia mengambilnya balok es yang paling kecil dan mulai mengompres matanya yang bengkak.

"Semoga bisa kembali normal nih mata, gua kagak mau kelihatan lemah di depan Dewa."

***
"Yah, ayah!" panggil Bunda.

Ayah yang sedang memanasi mesin motornya menyahuti panggilan Bunda.

"Di garasi."

Mendengar sahutan Ayah, Bunda segera berjalan menuju garasi.

"Yah, nama si Lula gak? Kok di kamarnya udah gak ada ya?"

Ayah yang mendengar ucapan Bunda langsung mematikan mesin motornya.

"Loh ini masih jam lima lewat dua puluh, mana mungkin dia udah bangun Bun. Nanti bunda salah liat."

"Udah bunda cari keseluruhan kamarnya. Bahkan di kamar mandi juga udah bunda cek. Jadi, dimana coba anak kita, Yah?"

Bunda yang sudah di mode panik, takut terjadi apa-apa dengan putrinya. Sebab sepagi ini tidak mungkin Alula sudah bangun. Spesies putri tidur seperti Alula tidak akan bangun kecuali suara bunda sudah terdengar.

Ayah berjalan masuk kembali ke rumah diikuti dengan bunda. Saat melewati ruang tamu, ayah berhenti mendadak.

"Nah itu dia si Lula, Bun."

Ayah menunjuk ke arah sofa ruang tamu. Alula sedang tertidur pulas di sofa itu dengan semangkuk air di meja tamu.

Bunda yang melihat Lula segera membangunkan Lula.

"Lula, bangun! Kenapa bisa tidur di sini."

Alula yang merasa tubuhnya seperti digoncang oleh seseorang, membuka matanya perlahan.

"Uhm... bunda masih pagi kenapa ganggui Lula tidur."

Bunda kembali lagi mengguncang tubuh Alula.

"Iya deh iya bangun," ujarnya malas.

Saat sudah duduk dengan posisi bagus, bunda langsung menanyainya.

"Kamu kok bisa tidur di sini?" tanya Bunda.

"Lah? Ini kan kamar Lula, Bun. Jadi, ya Alula memang tidur di sini," jawabnya dengan separuh sadar.

Bunda menarik nafas lelah melihat Alula. Bahkan ia tidak sadar sedang berada di mana.

"Kamu tidur di ruang tamu, Lula. Buka mata kamu liat coba kamu ada di mana sekarang."

Mendengar ucapan Bunda seketika Alula langsung membuka matanya dan terkejut, benar saja ia bangun di ruang tamu.

Alula mengingat kejadian malam tadi, pantas saja ada semangkuk air di atas meja, ternyata es tadi malam mencair yang ia gunakan untuk mengompres matanya.

"Alula juga gak tau Bun kenapa ada di sini," elaknya. Ia enggan berkata sejujurnya tentang apa yang terjadi kemarin malam.

"Yasudah kamu buruan siap-siap sana, entar kamu telat," ujar Ayah.

Bunda memperhatikan anak gadisnya dengan seksama.

"Kamu sakit?"

Belum sempat Alula menjawab pertanyaan bundanya, bundanya terlebih dahulu menempelkan punggung tangannya ke dahi Alula.

"Panas, kamu demam. Gak usah sekolah dulu, istirahat di rumah aja dulu. Nanti bunda permisikan dengan wali kelas kamu."

Alula menganggukkan kepalanya lemah. Mungkin dia harus beristirahat dari dunia yang sangat komplikasi ini.

***
Sejak tadi Dewa selalu saja memandangi pintu masuk kelasnya. Ia sedang menunggu seseorang. Sesekali ia melirik jam yang melingkar di tangannya.

"Alula kok belum datang sih, biasanya pagi-pagi banget dia udah nyampe di sekolah."

Benar, Dewa sedang menunggu kedatangan Alula. Dewa tidak tau bahwa Alula tidak akan hadir hari ini karena sakit.

"Alula mana?"

Dimas yang baru saja datang langsung menanyakan keberadaan si pemilik bangku kosong pagi ini.

"Dari tadi itu yang gua tunggu, udah gua chat juga kagak ada jawaban. Gua telpon juga kagak diangkat, apa dia gak datang ya? Tapi, kok tumben amat siswi teladan kayak Alula kagak masuk."

Dimas meletakkan tasnya dan berjalan kembali ke arah Dewa.

"Mana PR gua juga belum siap. Kalau Alula beneran kagak datang bisa habis gua sama Pak Dadang," keluh Dimas.

Tak lama berselang Eshal yang juga merupakan teman dekat Alula masuk ke dalam kelas.

"Eshal, lu lihat Alula atau lu ada dapat kabar tentang Alula?" tanya Dewa.

Eshal yang masih menyandang tasnya seketika berhenti mendadak.

"Gua baru datang udah lu tanyai tentang cewek lu, mana gua tau."

Eshal kembali berjalan ke bangkunya.

Bel masuk pun berbunyi.

Dewa yang mendengar itu seketika panik, itu artinya Alula tidak datang hari ini, tapi mengapa?

Pak Dadang yang menjadi guru pertama sekaligus wali kelas mereka masuk ke dalam kelas.

"Kumpulkan semua tugas yang bapak berikan Minggu lalu, jika kalian tidak mengerjakan silahkan keluar dari kelas saya," ucap Pak Dadang.

Tanpa Alula, Dewa hanyalah remahan rengginang. Sudah dipastikan Dewa tidak mengerjakan PR pak Dadang karena sibuk dengan perlombaannya kemarin. Saat hendak berdiri, Wisnu masuk ke dalam kelasnya.

"Pak, ini ada titipan surat dari bagian piket atas nama Alula Delista, kata guru piket Alula sakit, Pak. Saya izin pamit balik ke kelas ya, Pak."

Dewa yang mendengar itu segera berjalan ke depan.

"Pak saya gak siap PR pak, saya keluar dulu pak."

Dewa segera berlari keluar kelas. Dia bukan ingin menjalankan hukumannya namun ia ingin menjalankan aksi lompat pagarnya agar bisa bertemu dengan Alula. Ia ingin bolos hari ini demi bertemu Alula.

***

Alula & Her Love Story (Published)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang