"AVIS!"
Huh?
"T-tetap sadar kakak mohon .. "
A-apa ini? Dimana ia? Dan kenapa?
"Baby, dengar kakak?" Bukankah ia yang harus dikhawatirkan? Rambut berantakan, jejak merah yang sudah mengering menghiasi wajah dan juga leher. Kemaja denim yang digunakan tidak luput dari cairan si merah.
Riak kesedihan, penyesalan, putus asa, Lancel dapat melihat dengan jelas. Tapi kenapa ia membuat ekspresi menyedihkan seperti itu?
Lancel mengangkat tangan, hendak mengusap air mata yang mengalir dengan deras diwajah remaja itu. Tapi, kenapa tidak bisa?
"T-tidak, tidak. Jangan melihatnya. Lihat kakak, tatap kakak. Baby akan baik-baik saja!"
Apa ini? Lancel tidak mengerti. Sesuatu hangat melingkupi tubuh nya. Sakit, tapi Lancel senang. Wajah khawatir remaja ini membuat ia merasa menjadi orang yang paling berharga.
Lancel tersenyum lembut. Mengisyaratkan pemuda itu agar tenang. Tidak apa, ia sungguh tidak apa.
"Jangan hanya diam sialan! Adikku pendarahan!" Teriakan itu mengejutkan para dokter yang terbengong sejenak. Bahkan supir ambulance tersentak karenanya.
"Baby! Denger kakak? Baby harus membuka mata .. kakak mohon .. j-jangan tinggalin kakak."
Suara panik bercampur khawatir menjadi kata terakhir yang Lancel dengar. Sayang sekali. Padahal Lancel ingin mendengar suara lembut itu lebih lama.
Lancel tenggelam dalam kegelapan yang dingin.
"CEPAT SIALAN!"
Dokter dengan cepat melakukan penanganan darurat begitu juga supir yang mengendarai secara ugal-ugalan. Entah apa yang terjadi gelombang kendaraan yang macet menjadi teratur.
Mobil-mobil hitam mengiringi didepan dan juga belakang. Suara angin dari helikopter diatas juga terdengar.
Tidak butuh waktu lama ambulance sampai dipusat rumah sakit terbesar. Dokter khusus yang pengalaman sudah menunggu dengan gugup di pintu masuk.
Mendorong brankar dengan cepat ke UGD. Jejak merah menetes sebagai tanda disepanjang jalan.
Pria dengan kemeja denim mengenggam tangan sang adik. Pikiranya kalut. "Baby, kakak mohon .. "
"Maaf tuan muda. Anda tidak bisa masuk." Beberapa perawat menahan tubuh pemuda itu agar tidak ikut masuk kedalam unit gawat darurat.
Napas nya bertalu ia mengeram tapi tidak membantah. Tubuhnya yang sempoyongan hampir limbung jika tidak tahan.
"Anda harus dirawat, tuan muda."
"Tidak," bantahnya tegas. Ia tidak akan meninggalkan adik didalam seorang diri.
"Menurut, Kevan Hamilton." Suara berat dari arah belakang membuat mereka menoleh. Para tetua Hamilton berbondong datang diikuti saudaranya yang lain.
"Dad! Baby Av sendiri, aku akan menunggu!" tegasnya.
"Dan kau akan mati sebelum melihat baby Av." Itu si bajingan Calix, musuh sehidup semati Kevan. Pendiam yang sarkasme.
"Aku--"
Bruk
Tubuh bongsor nya terjauh ditahan perawat dan juga beberapa orang berbaju hitam. Ternyata saat ia berdebat sang daddy memerintahkan agar menyuntik bius putranya.
Ia mendengus. "Bawa dia."
"Baik, tuan." Pria itu digotong tiga orang menuju ruang perawatan untuk tindak lanjut.
Dari pada keadaan bungsu nya yang sedang ditangani. Mereka lebih mengkhawatirkan kondisi bungsu kedua itu. Penampilannya sangat menyedihkan dengan dahi berlubang. Belum lagi darah yang merembes dari kemaja dan kaki pincangnya.
Tidak perlu di beritahu sudah pasti ia melindung adiknya mati-matian. Itu hal yang wajib dan pasti dilakukan. Bahkan jika mereka sendiri yang mengalami keadaan serupa. Sang bungsu akan tetap menjadi prioritas melebihi diri mereka sendiri.
Karena bungsu Hamilton adalah kesayangan semua orang. Malaikat di antara iblis yang harus dijaga kesuciannya.
Wushh
Dingin.
Langit biru yang terbentang luas menjadi objek pertama yang dilihat. Tubuhnya mengembang diatas air. Lautan yang luas, begitu tenang, begitu dingin. Namun samar-samar ia merasakan kehangatan.
"Hai," sapaan cerita masuk indra pendengarannya.
Sedikit menoleh kesamping. Gelombang muncul menyapu tubuhnya. Seorang anak dengan rambut pirang dan matanya yang berbeda warna melambai heboh diatas perahu kayu.
Anak itu berdiri, bersiap untuk menerjunkan diri. "Hupla."
Dan benar saja, ia terjun ke air seperti melompat ke kolam renang. Riak yang tercipta membuat tubuh Lancel terombang-ambing. Beberapa cipratan air mengenai muka membuatnya harus memejamkan mata.
Lancel mengusap wajah, menatap jengkel si pelaku yang sudah tertawa riang.
"Air nya tidak dalam, ayo kesini." Tangan Lancel ditarik paksa membuat aktifitas mengambang ria nya kacau. Ia ikut berdiri yang ternyata kedalam air hanya sebatas dada.
"Rasakan." Air menciprat kewajah. Lancel yang sudah kesal ikut membalas. Dan jadilah aksi lempar-lemparan air dengan telapak tangan.
Tawa anak itu terdengar begitu ringan begitu juga Lancel yang terkekeh tanpa suara.
"Kalian!" Aktivitas mereka terhenti. Menoleh serempak kearah wanita yang berkacak pinggang dipermukaan. Rupa nya sama dengan anak tadi.
Lancel tidak tau siapa itu namun, perasaan familiar membuatnya ikut merasa bersalah seperti anak di sebelahnya. "Cepat naik!"
Anak itu tertawa, menarik tangan Lancel sambil berujar, "Mommy menyeramkan saat marah. Ayo naik."
Sampai dihadapan wanita itu Lancel ikut terdiam, menunduk dengan raut bersalah menunggu wanita itu selesai dengan ocehan dan nasihatnya.
"Kamu tenang saja," bisikan pelan membuat Lancel menoleh kesamping. "Setelah ini, waktunya kamu bahagia." Ia tersenyum hangat membuat Lancel bingung.
"Mommy ngomong tuh dengerin." Telinga ditarik membuatnya mengaduh kesakitan. Lancel yang melihatnya ikutan tertawa tanpa suara.
Lalu, tepukan ringan dikepala membuatnya mendongak. Wanita itu tersenyum membuat Lancel ikut menaikan sudut bibir.
"Semangat. Setelah ini kamu akan selalu bahagia."
"Benar! Kita adalah satu, kamu adalah aku, aku adalah kamu." Ia kembali menoleh kesamping raut bingung semakin tercetak jelas.
"Maafkan mommy." Pelukan hangat didapat.
"Maafkan Avis juga."
Dan hilang.
Seperti kabut yang menelan seluruh permukaan.
Hanya rasa hangat yang menemani Lancel di kegelapan.
"--vis."
"Avis--"
"AVIS!!"
Ah?
Dimana lagi, sekarang?
.
.
.
Debut bro, mungkin ada yang suka?
Btw yang YOURS gw ragu mau di up lagi atau gak. Feel nya udh gak ada T.T
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby, Say It Please
Short StoryLancel Baratheon pemuda ceria yang ditakdirkan tidak sempurna. Ia bisu dan lingkungan tidak mendukungnya. Terbiasa diam hingga membuat Lancel melupakan apa itu bicara, bahkan saat ia sudah bisa mengeluarkan suara. Bukan karena mendapatkan kembali su...