Lembar Awal

10 1 0
                                    

Suara air mancur di pagi hari menghiasi suasana kota yang tidak begitu ramai. Daun-daun menggores angin dan membentuk sebuah melodi unik yang tak ada duanya. Harmonisasi air dan angin seolah menganyam Stratford-upon-Avon sedemikian rupa, menjadikannya kota yang manis untuk dipandang. Di hadapan air mancur itu, berdiri sebuah bangunan tua yang disulap menjadi kedai ala Perancis –yang cukup sulit ditemukan di Stratford, Chef-d'œuvre. Hampir setiap pagi kuhabiskan di tempat ini. Terkadang aku menikmati pagi dengan secangkir kopi sambil ditemani novel-novel klasik koleksiku, walaupun tak jarang pula waktuku di kedai ini diisi dengan lamunan kosong tak berarah. Khusus untuk pagi ini, aku menghabiskan saat-saat di kedai dengan membaca Hamlet. Setiap lembar yang kubaca, setiap cerita yang kuhayati, hingga setiap rangkaian kata yang kuserap, aku tak bisa mengendalikan diriku untuk tidak mengutuk perbuatan King Claudius dan kebodohan Hamlet sendiri. Aku berpendapat bahwa Hamlet ia terlalu bodoh karena sudah dibutakan oleh dendam, yang bahkan bukan dendamnya, melainkan dendam mendiang Ayahnya. Ayolah, aku yakin kau bisa lebih baik dari ini. Namun, di balik semua umpatan yang bergejolak di hatiku, cerita ini selalu bisa menarik jiwaku sangat dalam, hingga rasa sakit yang dirasakan Hamlet ketika melihat Ophelia dimakamkan turut menyayat hatiku.

Keadaan kedai yang terbuka –sebagian kedai ini hanya dibatasi oleh deretan tanaman setinggi dua puluh inci yang mengelilinginya, membuat Chef-d'œuvre tidak pernah terasa terlalu sesak walaupun keadaan sedang sangat ramai. Meskipun begitu, keadaan kedai yang selalu sepi di pagi hari adalah daya tarik utamaku untuk menjadikannya tempat untuk menghabiskan waktuku. Sejujurnya, aku merasa sangat beruntung bisa menemukan Chef-d'œuvre. Dengan adanya kedai ala Perancis ini, setidaknya rasa rinduku akan rumah bisa sedikit terobati. Delapan bulan sejak kedatanganku di Inggris, aku cukup sulit tidur. Sungguh, homesick ini benar-benar menyiksaku. Aku pernah mencoba datang ke klinik hypnotherapy, dengan harapan tinggi ia bisa membantuku mengatasi masalah sulit tidur yang kualami. Dua bulan aku menjalani terapi bersama hypnotherapist yang bernama Oliver Clatter itu, namun hasilnya sia-sia. Jika boleh jujur, aku sangat kecewa dengan bagaimana orang-orang sepertinya menjanjikan banyak hal padaku, dan bagaimana semua janji-janji itu runtuh sedikit demi sedikit seiring dengan berjalannya waktu. Karena hal itulah aku sempat terjebak dalam situasi di mana pola tidurku bergantung pada diazepam. Bukan cara yang baik, tapi aku tidak bisa terus-menerus seperti ini. Jika diberi pilihan, aku lebih memilih mati dalam keadaan tidur dibandingkan mati karena tak bisa tidur. Selama tiga bulan penuh, aku menghabiskan banyak uang hanya untuk membeli obat sial itu.

Semua penderitaanku akhirnya memudar kala aku menemukan tempat ini. Saat itu aku sedang berjalan-jalan, menghabiskan pagi hariku yang monoton dan membosankan. Pada saat itulah aku terpaku melihat sebuah kedai dengan gaya vintage yang menghanyutkan pikiranku. Susunan meja yang terbuat dari pohon ek benar-benar cocok dengan ruangan kedai yang berwarna sepia. Di samping pintu masuk kedai, ada seorang pria berpakaian lusuh dengan bau badan yang agak menyengat terlihat sedang berdendang dengan gitar di tangannya. Dengan penuh penghayatan ia menyanyikan lagu Don't Look Back in Anger, meskipun sepertinya dia satu-satunya orang yang menikmati nyanyiannya. Aku tidak mengatakan bahwa permainannya buruk, tapi suara pria itu memang tak ada duanya, dan bukan dalam artian positif. Lalu, entah karena pagi itu begitu membosankan atau karena pengaruh pria itu, aku mendapati diriku mendatangi tempat itu, masuk ke dalam Chef-d'œuvre tanpa membuang waktu lebih banyak lagi. Aku duduk di bagian luar kedai, tepatnya di dekat pagar tanaman yang membatasi kedai ini dengan jalanan di luar sana, yang lalu menjadikan tempat ini sebagai tempat duduk favoritku. Bukan tanpa alasan, sudut tempat dudukku ini tidak akan membuatku merasa terkekang, karena meskipun aku berada di wilayah kedai, aku masih bisa menghirup udara yang sama dengan orang-orang yang sedang duduk di taman, sambil ditemani nyanyian dari sekelompok kecil burung gereja yang samar-samar menyelip di antara alunan musik folk manis yang bersemayam di tiap sudut bagian dalam kedai. Seorang pelayan berseragam rapi –kemeja putih yang dilengkapi dasi kupu-kupu dan rompi hitam- menghampiriku dengan buku menunya, senyum ringannya semakin meyakinkanku bahwa Chef-d'œuvre memang merupakan tempat yang tepat untukku. Pelayan itu menaruh buku menu di mejaku, tangannya segera meraih buku catatan kecil dan pensil yang ada di kantongnya, lalu dengan sigap ia bersiap menulis pesananku.

Nathalie (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang