Lembar 5

0 0 0
                                    

"Kami juga merindukanmu, Nathalie. Jaga kesehatanmu di sana. Au revoir."

Tubuhku menggigil, tak bisa bergerak. Gigiku saling beradu tanpa kendali dengan napas mulai sesak. Ponselku masih menempel di telingaku, mengeluarkan suara tut... tut... tut... tanda panggilan sudah terputus. Aku bangkit dari kasur dan bersandar di tembok samping jendela. Kubuka gorden dan mengajak cahaya masuk menyergap kamar tidur berukuran 10x10 kaki dengan riangnya. Kamar yang awalnya gelap, sedikit-sedikit mulai menunjukkan jati dirinya berkat cahaya rembulan dan lampu-lampu yang menghiasi kota. Aku membuka laptopku dan mulai mengetik. Aku mengetik, terus mengetik, terus mengetik hingga tanganku terasa pegal. Setidaknya itulah yang kuharapkan. Kenyataannya, yang kulihat saat ini hanyalah sebuah dokumen kosong, benar-benar kosong. Belakangan ini aku sering mengalami writer's block, dan sejujurnya itu amat menjengkelkan. Aku pergi ke Inggris, menyerahkan hidupku untuk menjadi penulis tersohor seperti Shakespeare, dan semua terhalang oleh writer's block sialan ini.

"Aku harus keluar," aku bergumam di tengah siraman rembulan. "Ya, aku harus keluar." kuambil sweater coklat yang tergeletak di kasur, lalu mengambil dompet dan kunci apartemen. Aku keluar menuju sebuah toko 24 jam yang ada di persimpangan untuk membeli sebotol vodka dan empat kaleng bir. Aku berharap bisa mengusir writer's block dengan ini. Aku tahu bahwa sebenarnya itu adalah ide yang bodoh. Aku bahkan tahu bagaimana akhir dari semua ini. Aku akan menenggak habis empat kaleng bir, dan sensasi adiktif dari alkohol akan memaksaku untuk lanjut menenggak vodka. Hasilnya? Aku akan mabuk dan menghabiskan malam dengan tertidur, diselingi mual-mual dan beberapa kali muntah. Tiga kali di kamar mandi, dan dua kali di lantai kamar. Tapi, aku akan tetap melakukannya, aku butuh minuman ini. Aku masih merasa berantakan, terlebih sejak bertemu dengan pria itu. Siapa pria itu? Kenapa di antara banyak orang Inggris, ada orang seperti itu? Aku sudah pernah bertemu orang-orang brengsek di Inggris, tapi tidak ada yang separah dia. Selain itu, ada yang aneh dari pria itu. Entah bagaimana ia bisa tahu banyak tentangku, bahkan tentang sisi penulisku. Sejauh yang kuingat, aku tidak pernah menceritakan ini pada siapa pun, kecuali Kara. Dan aku yakin Kara tidak akan memberitahu hal ini pada siapa pun. Lalu, bagaimana dia bisa mengetahui semua itu? Apakah dia semacam penguntit? Atau dia seorang mentalist handal seperti Derren Brown? Aku bukan orang yang menikmati seni sulap, terutama mentalism. Bagiku, pesulap hanyalah orang-orang angkuh yang sangat gemar menipu orang lain, berlagak seolah dia bisa membaca pikiranmu.

Sewaktu aku di Lyon, pernah sekali aku melihat sebuah pertunjukan sulap jalanan. Pesulap itu bernama Manuel Pierre Afonso. Dengan jas ungu noraknya, Manuel melakukan aksi memunculkan burung merpati dari jasnya. Saat penonton lain terkagum dengan aksinya yang memesona, aku merasa seperti orang paling bodoh di dunia. Aku tahu sulap hanyalah semacam trik yang dilakukan untuk membuat sesuatu yang tidak mungkin, menjadi seolah mungkin. Menurutku itu sama saja dengan penipuan, dan itu adalah alasan mengapa aku sama sekali tidak terhibur dengan aksinya. Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar bahwa Manuel tewas saat melakukan aksi berbahaya, yaitu meloloskan diri dari mobil yang terbakar. Sungguh malang nasibnya, membahayakan nyawa hanya untuk menghibur orang. Aku bersyukur takdir menuntunku untuk jatuh hati pada musik dan sastra, bukan sulap. Aku bisa membayangkan betapa menderitanya hidupku jika harus mempertaruhkan nyawaku sendiri hanya demi menghibur orang-orang.

Suasana malam di sini cukup menawan. Tidak seindah di Perancis, tapi cukup baik. Aku berjalan memasuki apartemen dan menaruh minumanku di meja makan. Kubuka kantong plastik dan mengambil sekaleng bir dingin. Sesaat aku memikirkan apa yang akan terjadi nanti, dan bayangan seperti apa yang akan muncul di kepalaku jika aku menenggak habis bir ini. Aku menatap laptop yang masih menyala di kamar tidurku, dengan ketiadaan di dalamnya. Aku menenggak habis bir pertama, membawa tiga bir ke dalam kamar, dan aku duduk di hadapan laptopku dengan ditemani tiga bir dingin yang perlahan membasahi meja kerjaku. Aku membaca ulang tulisanku dari awal. Aiden & Simone, itulah judul tulisanku. Bukan judul yang menarik hati, tapi aku suka. Kubaca tulisanku sampai ke bagian di mana aku mulai mengalami writer's block. Aku mulai mengetik, diiringi tuangan alkohol yang membasahi tenggorokanku.

Nathalie (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang