Lembar 2

1 0 0
                                    

Kau bagaikan sebongkah berlian yang ada di kubangan lumpur kotor, dan aku adalah satu-satunya orang yang bisa melihat kilauannya. Aku akan membersihkanmu dan memolesmu, lalu akan kutuntun dirimu menuju puncak kejayaan.

Aku berjalan ditemani cahaya lampu yang beradu dengan sinar rembulan, menerangi jalanan yang sepi. Sambil tetap menggenggam erat selembar kartu nama, kata-kata itu masih terngiang-ngiang di kepalaku.

Axel Harris Nolan

Produser Musik

Tak bisa kupercaya, seorang produser musik sungguhan mengatakan bahwa aku punya bagaikan sebongkah berlian. Dia benar-benar tertarik dengan kualitasku sebagai seorang musisi. Pria itu memintaku untuk segera menghubunginya jika aku sudah membuat keputusan, sepertinya ia menaruh harapan sangat besar. Gaun hitam yang kukenakan seolah berkontradiksi dengan suasana hatiku yang tengah bersinar, bagaikan matahari yang tanpa lelah menyinari separuh bumi setiap saat. Aku mempercepat langkahku, tidak sabar untuk memberitahu kedua orang tuaku tentang apa yang terjadi. Hanya beberapa blok menuju rumahku, hujan deras tiba-tiba datang mengguyur jalanan. Gaunku langsung basah kuyup karena hujan, dan cuaca dingin di malam hari memperlambat langkah kakiku.

"Sial. Sial. Sial."

Tubuhku menggigil, tak henti-hentinya aku mengutuk hujan yang datang beberapa saat sebelum aku menginjakkan kaki di rumah. Setelah menderita selama sisa perjalanan yang mendadak terasa lebih lama dari biasanya, akhirnya aku berhasil sampai ke rumah. Sambil berusaha menahan dingin yang menusuk tubuh, aku mengetuk pintu rumah.

Tok. Tok.

Suara langkah kaki terdengar dari balik pintu. Pintu terbuka, dan Papa berdiri dengan handuk di tangannya.

"Ini handuk untukmu," dia menjejalkan handuk itu ke pelukanku. "Cepat ganti pakaian dan keringkan dirimu, Maman sudah membuatkan cokelat hangat." Lanjutnya sambil berjalan pelan menuju meja makan.

Aku hanya mengangguk pelan dan bergegas menuju kamarku. Aku berjalan pelan menaiki satu per satu anak tangga, dengan isi kepala masih dipenuhi fakta bahwa seorang produser musik menganggap potensiku luar biasa. Aku mengeringkan tubuhku dengan handuk dan mengganti pakaian dengan piama polos berwarna biru langit. Setelah menanggalkan semua rasa dingin yang menyelimuti tubuhku, aku berjalan turun menuju meja makan. Segelas cokelat hangat sudah tersedia di atas meja, lengkap dengan sepiring kue kering. Aku maraih dan mulai meminum cokelat yang ternyata sudah tidak terlalu panas. Papa duduk di depanku, sedangkan Maman masih sibuk di dapur. Aku menaruh gelasku dan memberikan tatapan riang yang membingungkan Papa.

"Papa, kau tidak akan percaya pada apa yang akan aku katakan," aku mengeluarkan kartu nama milik Alex dan memberikannya pada Papa. Ia tidak memberikan komentar apa pun, hanya membolak-balik kartu nama itu. Aku mencoba memancing reaksi Papa, berharap mendapatkan respon positif.

"Dia mendatangiku setelah pertunjukan, dan sepertinya ia sangat terkesan dengan penampilanku tadi." Lanjutku. Papa melepaskan pandangannya dari kartu nama yang ada di tangannya, lalu menatapku. Ia menghela napas, sebelum mengeluarkan kalimat yang menghancurkan rasa gembiraku.

"Nathalie," Papa menaruh kartu nama itu di atas meja, lalu menyilangkan kedua tangannya. "Kita sudah pernah membicarakan ini, bukan? Aku sama sekali tidak mempermasalahkan hobimu dalam musik dan sastra, bahkan sebenarnya itu hal yang bagus. Akan tetapi, kita sudah sepakat untuk tidak menggantungkan hidupmu pada kedua hal itu. Kau hanya menjadikan musik dan dunia sastra sebagai hobi semata, tidak lebih."

"Tapi, Papa..."

"Tidak ada tapi, Nathalie. Ingat, kita sudah sepakat tentang ini. Ini bukan peraturan yang aku buat, ini adalah kesepakatan yang kita buat," kata Papa tanpa menatapku. "Sekarang tidurlah, kau terlihat lelah."

Nathalie (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang