Lembar 9

2 0 0
                                    

"Sometimes it's more noble to tell a small lie than to deliver a painful truth."

- Robin Williams

"Papa, Maman. Ada yang ingin kubicarakan."

Aku mengepal tanganku sekeras mungkin, mencoba menyalurkan rasa takutku yang sudah menguasai seluruh tubuhku. Kala itu, langit Lyon tersenyum cerah, awal musim panas di Perancis. Aku iri pada langit yang terlihat bahagia, sedangkan aku di sini, dirundung awan hitam yang tak kunjung meninggalkan atap pikiranku. Aku berdiri di hadapan kedua orang tuaku yang sedang duduk di meja makan, menikmati sarapan sambil ditemani musik jazz klasik yang diputar di radio. Papa menjadi orang yang pertama merespon, ia menaruh koran yang sedang dibacanya dan memfokuskan pandangannya padaku. Ia tersenyum, masih tidak menyadari bahwa apa yang akan kukatakan selanjutnya bisa meleburkan senyumnya.

"Ada apa, Sayang?" Wajahnya hangat, membuatku semakin sulit untuk mengatakan hal ini. Aku menatap Maman, dan tidak melihat perbedaan antara mereka. Mereka benar-benar dalam suasana hati yang baik. Bukankah itu hal baik untukku? Tidak, ini justru skenario terburuk. Aku tidak bisa menghancurkan suasana hati mereka yang sedang baik. Tapi, jika tidak sekarang, tidak ada waktu lagi. Aku menarik napas panjang, mengumpulkan segala keberanian untuk mengungkapkan apa yang sudah kurencanakan selama dua bulan terakhir.

"Inggris." napasku berhenti beberapa saat. "A-aku ingin pergi ke Inggris dan menjadi penulis disana."

Papa dan Maman saling menatap, aku tahu mereka terkejut. Tidak, ini lebih dari sekedar terkejut. Aku yakin mereka belum siap melepaskan putri kesayangan mereka ke tempat asing di mana tidak ada satu pun kerabat yang bisa menjagaku disana.

"Nathalie," Papa menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya dari informasi yang mengejutkan ini. "Apa kau lupa dengan kesepakatan kita?"

"Tidak, Papa. Aku tidak lupa," aku membalas dengan tegas. "Tapi, aku tidak bisa melakukan itu. Aku sadar, tempatku bukan di sini. Aku dilahirkan untuk menulis. Aku tidak bisa hidup sebagai karyawan biasa di saat aku sadar kemana aku seharusnya melangkah. Aku tidak bisa berdiam diri di dalam sangkar saat aku tahu ini bahkan bukan sangkarku. Aku mohon pada kalian, mengertilah. Aku tidak bisa, aku harus menjadi penulis. Aku harus pergi ke Inggris."

Brak!

Papa membanting meja dengan keras. Ia menatapku, matanya merah. Aku bisa merasakan kemarahan yang menyulut hatinya saat ini. Ia berjalan mendekatiku, tak sedikit pun matanya berhenti menatapku.

"Dengar, gadis muda. Aku sudah pernah mengingatkanmu, jangan pernah mendekati seni. Seni hanya akan membuatmu jatuh miskin dan berakhir menjadi gelandangan kotor. Aku sudah mengingatkanmu, Nathalie!" ia berteriak tepat di depan wajahku. Sejujurnya, hatiku hancur saat mendengarnya, tapi aku tidak bisa berhenti sekarang. Aku membalas tatapan Papa, menunjukkan betapa kokohnya tekad yang kumiliki.

"Kau yang berjanji padaku untuk menjadikan seni sebagai hobi, tidak lebih. Kau yang sudah berjanji, Nathalie! Aku mengizinkanmu untuk menjadikan seni sebatas hobi karena aku percaya padamu. Lihat apa yang terjadi sekarang! Kau baru saja merusak kepercayaanku, Nathalie! Kau menghancurkan perasaanku, perasaan Papa!" Maman bergegas berdiri dan menenangkan Papa. Papa yang masih dibakar oleh amarah, menunjuk pintu yang ada di belakangku.

"Keluar," air mata mengalir perlahan, membasahi pipinya. "Sekarang keluar dari rumah ini! Aku tidak mau melihatmu jika kau masih bicara tentang omong kosong sialan itu. Keluar dari rumahku!"

Maman segera menarik Papa kembali duduk di kursinya. Ia menatap mata Papa, berharap Papa bisa menenangkan pikirannya. Maman kembali menatapku, matanya berkaca-kaca. "Nathalie, jangan dengarkan Papa. Kembalilah ke kamar." Maman memohon dengan lembut.

Aku tidak bisa. Apa yang baru saja keluar dari mulut Papa telah menghancurkan hatiku berkeping-keping. Tak berbentuk, hanya menjadi serpihan-serpihan kerikil tak bermakna yang menghiasi tubuh kosong ini. Tanpa berpikir, aku berlari keluar dari rumah, tidak menghiraukan panggilan dari Maman yang mencoba menenangkanku. Aku terus berlari, tak peduli kemana kaki ini membawaku. Aku hancur, sangat hancur. Aku hanya ingin pergi dan melupakan semuanya.

Kakiku menghentikan langkahku, air mata sudah membasahi pipiku. Aku berdiri di hadapan sebuah taman. Aku berjalan pelan dan duduk di kursi yang menghadap air mancur yang mati. Cahaya lampu yang menerangi kursi taman menjadi satu-satunya penerangan yang ada di tempat ini. Di bawah cahaya lampu, aku menangis sebisaku, mengeluarkan semua sakit hati yang ada di dalam hati. Mengeluarkan semua amarah dan rasa kecewa yang disebabkan oleh sosok yang selalu kuhormati. Perlahan, cahaya lampu mulai meredup. Lampu yang menggantung di atas kursi yang sedang kusinggahi mulai kehabisan tenaga. Aku menatapnya dalam-dalam, menantikan saat-saat cahaya itu mulai tenggelam ditelan malam. Aku menatap sekeliling, melihat cahaya dari lampu-lampu yang menerangi kursi taman yang lain, mereka masih bersinar dengan terangnya. Sungguh kebetulan yang menyebalkan.

Di dalam kegelapan, aku mendengar suara langkah kaki datang mendekatiku. Seorang wanita datang dan duduk di sampingku. Senyum hangat menghiasi wajahnya, sembari menyeka air mataku dengan lemah lembut. Aku menatapnya beberapa saat, sebelum memeluknya dengan erat. Aku kembali menangis di dalam pelukannya, mengeluarkan semua luka yang tersisa di hati.

"Sudah, berhenti menangis." ucapnya sambil mengelus kepalaku. "Kau tahu Nathalie, di antara Papa dan Maman, sebenarnya Papa adalah orang yang paling menyayangimu." aku melepaskan pelukanku dan menatap wanita itu.

"Benarkah?"

"Ya," Maman mengangguk. "Sikap kerasnya padamu tadi, itu sudah cukup jelas bukan? Ia bukannya tidak ingin kau menjadi seniman, hanya saja dia sudah memiliki firasat bahwa kau akan meninggalkan kami demi seni. Ia masih belum rela berpisah denganmu. Itulah kenapa ia sangat keras padamu. Ia belum siap menerima fakta bahwa putri cantiknya sudah tumbuh menjadi wanita mandiri yang siap menghadapi dunia. Ia masih ingin menghabiskan waktu bersama putri kecilnya."

Aku tertegun mendengarnya. Apakah benar yang Maman katakan? Atau ini hanya omong kosong yang dikeluarkan untuk membujukku pulang?

"Aku sudah berbicara dengannya, dan kurasa dia sudah mengerti sekarang. Karena itu, ayo kembali ke rumah. Papa pasti mengkawatirkanmu."

Maman bangkit dari kursi taman sambil menggenggam tanganku. Aku sempat terdiam di taman, merasa terpukul atas apa yang baru saja kulakukan. Maman menatapku sambil tersenyum, lalu membantuku berdiri dan menggandengku sampai ke rumah.

Di depan rumah, aku kembali diam. Ada keraguan yang mengganggu pikiranku. Bagaimana jika yang Maman katakan tidak benar? Bagaimana jika semua hal tadi hanya alasan agar aku mau pulang ke rumah, persis seperti dugaanku sebelumnya? Maman menatapku dengan tanda tanya di benaknya. Ia memberiku isyarat untuk masuk terlebih dahulu. Aku mengangguk dan berjalan menuju pintu. Kuhela napas panjang, bersiap menghadapi apa yang ada di balik pintu. Perlahan, aku menggenggam gagang pintu itu dan memutarnya. Saat pintu terbuka, aku melihat seorang pria tua dengan air mata mengalir deras melewati pipinya, berjalan perlahan mendekatiku. Tanpa kata meramaikan kesunyian, ia langsung memelukku dengan erat. Saat ia memelukku, aku bisa merasakan kepingan hatiku yang hancur kembali merekat dan bersatu kembali. Ia mencium pipiku dengan lembut, dan aku bisa mengingat jelas kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Nathalie, maafkan Papa. Papa sangat bodoh telah mengusirmu tadi. Maafkan Papa. Jangan pergi lagi, Nathalie. Jangan pernah pergi lagi."

Mataku berkaca-kaca, air mata menutupi pandanganku. Aku tidak bisa membalas kata-katanya. Aku tidak bisa memberikan janji palsu lagi. Aku tidak bisa mengecewakan keluargaku lagi. Yang bisa kulakukan hanya membalas pelukannya, memberikan isyarat bahwa semua akan baik-baik saja. Malam itu menjadi semakin gelap, pandanganku kabur. Aku tidak bisa melihat apa pun. Di saat semua menghilang, aku bisa merasakan pelukan Papa yang semakin melonggar, perlahan menghilang ditelan gelapnya malam.

Aku terbangun di tempat tidurku, dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Napasku sesak, dan air mata mengalir deras membasahi pipiku. Aku menatap jendela yang terbuka, memancing sinar rembulan untuk menyusup masuk ke kamarku.

"Mimpi," aku diam beberapa saat. "Hanya mimpi."

Nathalie (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang