"What's in a name? That which we call a rose.
By any other word would smell as sweet."
- William Shakespeare
Alunan nada yang didendangkan oleh sekumpulan burung gereja membangunkan seorang pria yang tengah terlelap di bawah pohon rindang. Wajahnya yang rupawan menambah kesan polos dalam dirinya. Ia segera bangkit dan berjalan menuju danau. Pria itu lalu membasuh wajahnya dengan air segar dari danau, sambil sesekali meminum air tersebut. Di hadapannya, seorang pria lain tengah berenang di danau dengan riangnya. Ia terlihat sangat menikmati kegiatan yang sedang dilakukannya. Sadar sedang diperhatikan, pria itu menatap pria lain yang sedang duduk di pinggir danau, lalu berteriak memanggilnya.
"Simone, ayo kemari. Airnya tidak terlalu dingin." Simone hanya tersenyum sambil menggeleng pelan.
"Aiden, kau tahu aku tidak bisa berenang. Sebaiknya kau kesini, sudah terlalu lama kau di dalam air. Aku tidak ingin kau terkena flu."
Mendengar respon dari sahabatnya, raut wajah Aiden langsung berubah. Akhirnya ia berenang ke tepian sambil memasang wajah ketus. Sesampainya di tepian, Simone langsung memberikan handuk kecil pada sahabatnya, yang langsung digunakan untuk mengeringkan diri.
"Simone," Aiden menatap sahabatnya dengan raut wajah serius. "Aku punya sebuah pertanyaan untukmu."
Simone membalas tatapan sahabatnya. "Kau boleh menanyakan apa pun padaku, Aiden. Tidak ada yang bisa membatasimu untuk mengutarakan sesuatu, baik itu pertanyaan maupun pernyataan. Silakan, tanya apa saja. Aku akan berusaha untuk memberikan jawaban sebaik mungkin."
"Baiklah," Aiden mengerutkan dahinya. "Kita sudah menjadi sahabat sejak kecil. Kita bahkan sudah menjadi sosok yang saling melengkapi. Bisa dibilang kita bagaikan yin dan yang. Jika kita bersama, kita adalah definisi absolut dari sempurna. Tapi, itu semua adalah asumsi yang ada di kepalaku. Karena itu, sekarang aku butuh jawaban darimu." Aiden menghentikan kata-katanya. Sepertinya kalimat yang ingin ia keluarkan tertahan di dalam hatinya. Ia sadar bahwa kalimat yang akan keluar dari mulutnya bisa terdengar bodoh. Simone yang sudah dipenuhi rasa penasaran, memaksa Aiden untuk mengutarakan pertanyaannya.
"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?" Tanya Simone. Aiden menghela napas panjang dan membuka mulutnya.
"Jika aku melengkapimu, yang kurasa memang demikian. Akankah engkau melengkapiku, Simone?"
Nathalie
Aku membatu diterangi cahaya laptop. Baru empat bab. Sudah lama aku di sini, dan tulisanku masih belum berkembang sedikit pun. Mataku terfokus pada seorang wanita yang sedang duduk di hadapanku, menikmati cappuccino dingin dengan pandangan mata menempel pada ponsel yang digenggamnya. Kemeja merah mudanya mengganggu konsentrasiku. Warnanya yang terlalu mencolok membuat suasana kedai menjadi menyebalkan. Aku melepaskan pandanganku dari wanita merah muda itu dan melihat seorang pria gemuk sedang melahap croissant dengan rakusnya. Pria itu tidak mengenakan pakaian mencolok, tapi caranya makan membuatku jijik. Aku heran, kenapa tiba-tiba banyak orang-orang seperti ini di kedai. Mungkin aku yang biasanya terlalu fokus dengan kegiatanku sendiri. Kini, aku yang sudah merasa bosan dengan aktivitas yang selalu sama, mulai memerhatikan keadaan sekitar kedai yang ternyata memang selalu seperti ini tiap harinya.
Tidak. Aku yakin betul, selama aku menghabiskan waktu di sini, ini adalah kali pertama aku melihat orang-orang itu.
Mentari perlahan menjauh dari langit dan mulai tenggelam. Warna langit yang mulai ditinggalkan cahaya berubah menjadi jingga. Rasanya aku belum pernah melihat matahari terbenam di kedai ini. Tak kusangka aku bisa melihat pemandangan seindah ini dari sini. Sepertinya aku harus mulai menghabiskan waktu soreku di Chef-d'œuvre.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nathalie (2018)
FantasyNathalie Matilde, seorang gadis Perancis yang pergi ke Inggris untuk meraih cita-citanya menjadi penulis. Ia pergi ke Inggris karena penulis favoritnya-Shakespeare-berasal dari negara tersebut. Di Inggris, Nathalie bekerja sebagai pegawai restoran m...