"Permisi, lagi-lagi kau tidak menghiraukan keberadaanku. Dunia khayalanmu itu menarik sekali ya, sampai lupa dengan dunia nyata."
Astaga, demi Tuhan, orang ini lagi. Bisakah sehari ini saja kau tidak mengganggu hidupku? Tidakkah kau sadar bahwa hidupku sudah cukup menyedihkan tanpa adanya kau di sini? Dan sekarang aku kembali bertemu denganmu, melayanimu, memberikan pesananmu. Orang ini membuatku gila. Terakhir kali aku bertemu denganmu, hariku menjadi sangat buruk. Dan saat aku berharap hari ini akhirnya berjalan baik, kau kembali lagi.
"Oh, maafkan saya." aku mencoba tetap bersikap ramah, walaupun aku tahu aku membencinya. "Anda mau makan di sini atau dibawa pulang?"
"Kau tahu apa pesananku dan apa mauku, ini sudah kali kedua aku datang kesini dan dilayani olehmu. Dan aku bukan orang yang dengan mudahnya kau lupakan. Apakah kau punya masalah dengan daya ingat? Kurasa tidak. Aku yakin kau hanya benci melihatku yang selalu datang padamu. Kau pasti bertanya-tanya kenapa pria tampan sepertiku selalu datang padamu. Ketertarikan fisik, mungkin."
Aku benci pria ini. Secara umum, aku benci padanya. Secara khusus, aku benci melihat wajahnya. Wajah orang-orang kaku yang tidak bisa menghargai sebuah karya seni. Wajah orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk menghardik sebuah keindahan dan lebih memilih menghabiskan waktunya dengan hal-hal membosankan yang berbau ilmu pengetahuan. Aku berani bertaruh, dia pasti selalu menghabiskan akhir pekannya dengan berbicara sesuatu tentang hukum kekekalan energi atau semacamnya. Hei, aku bukan Einstein atau Newton, aku tidak punya waktu untuk mendengarkan seseorang bercerita tentang hal membosankan seperti itu.
"Apa yang membuatmu begitu yakin kalau aku benci melihat wajahmu yang rupawan namun kosong itu, Tuan?"
"Hmm, anggap saja aku melihat perubahan ekstrim dari wajahmu sejak terakhir kita bertemu. Dari nada bicaramu, aku yakin ini bukan tentang keluarga atau teman. Aku juga yakin kalau kau tidak memiliki kekasih. Astaga, maafkan kelancanganku. Perkenalkan, Aaron Gale, mentalist." Pria itu menyodorkan tangannya, senyumnya yang picik membuatku ingin bunuh diri.
"Halo Tuan Gale. Sebuah aksi yang mengesankan. Kau benar, aku tidak memiliki masalah dengan keluarga atau teman, aku tidak memiliki kekasih, dan aku benci melihat wajahmu. Jadi, sebaiknya kau kembali ke mejamu, sementara aku akan berpura-pura kita tidak pernah memiliki percakapan ini denganmu." balasku sarkastis tanpa memedulikan uluran tangannya. Maaf-maaf saja, aku tidak akan repot-repot bersopan santun pada orang yang tidak punya sopan santun.
"Mademoiselle," senyumnya memudar. "Aku bahkan belum membayar, dan kau sudah memintaku untuk duduk. Apakah kau berpikiran untuk mentraktirku makan? Terima kasih, tapi aku bukan orang miskin yang membutuhkan simpatimu. Faktanya, menurutku kaulah yang membutuhkan simpatiku saat ini."
Brengsek. Pria-Inggris-aneh brengsek. Kau adalah manusia rendahan yang bahkan tidak pantas untuk hidup di dunia ini. Andai aku tidak bekerja di sini, aku akan menghabisimu sesaat setelah aku melemparkan makanan ke wajahmu. Kau adalah orang pertama di dunia ini yang membuatku dihantui dendam dan emosi. Tapi, semua hanya menari riang di kepalaku. Aku tidak bisa berkata-kata. Bibirku beku, menyatu seperti dua batang besi yang dileburkan bersama.
"Mademoiselle, jadi berapa totalnya?"
"Sekarang siapa yang punya masalah dengan daya ingatnya? Harganya belum berubah, masih tujuh pound."
Aaron Gale terlihat jengkel dengan apa yang baru saja didengarnya, ia segera merogoh kantong celananya dan mengambil selembar uang sepuluh pound. Ditaruhnya uang itu di meja dan bergegas ke mejanya. Meja yang sama seperti terakhir aku melayaninya, di ujung ruangan. Ia mengeluarkan sekotak rokok dan sebuah korek gas dari kantong jaketnya. Diambilnya sebatang rokok dan mulai membakarnya. Aku menatapnya, diam. Sepertinya dia tidak tahu kalau di restoran ini tidak boleh merokok. Pesanannya datang dan aku membawanya tepat ke mejanya. Pria itu menatapku, tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nathalie (2018)
FantasyNathalie Matilde, seorang gadis Perancis yang pergi ke Inggris untuk meraih cita-citanya menjadi penulis. Ia pergi ke Inggris karena penulis favoritnya-Shakespeare-berasal dari negara tersebut. Di Inggris, Nathalie bekerja sebagai pegawai restoran m...