Lembar 6

0 0 0
                                    

"Jadi," seorang pria di hadapanku masih belum melepaskan pandangan dinginnya. "Hanya itu alasanmu tidak masuk kerja kemarin? Kau tahu, sungguh beruntung kau memiliki rekan kerja seperti Nona Heyes. Dia rela menggantikanmu dan bekerja seharian penuh hanya untuk melindungimu. Aku tidak tahu dengan Perancis, tapi di sini kau tidak bisa bolos kerja seenaknya. Sekarang, kembali bekerja."

"Baik pak, sekali lagi saya minta maaf." Aku bangkit dari kursiku sambil berusaha menjaga kontak mata dengan pria itu. Pria itu adalah manajer restoran ini, Charles. Duduk berhadapan dengannya adalah salah satu hal yang paling kutakuti di dunia ini. Auranya yang mengintimidasi selalu berhasil menjatuhkan mental lawan bicaranya, tak peduli siapa pun orang itu.

Di luar ruangan, Abbie sudah menungguku. Ia berpakaian rapi, lengkap dengan parfum yang menyengat. Ia menatapku, tak berkata-kata. Saat ini aku dihujani rasa malu yang tak terelakkan.

"Abbie," aku mencoba mengumpulkan semua keberanian yang ada di dalam diriku. "Maaf telah merepotkanmu. Karena aku, kau jadi terjebak disini selama sehari penuh."

Abbie menatapku dengan kesal. Namun, tatapan itu memudar bersamaan dengan senyum hangat yang menghiasi wajahnya. "Kau tidak perlu khawatir, itu bukan masalah besar. Jika kau ada masalah, kau bisa cerita padaku. Tapi, tidak malam ini. Malam ini aku akan pergi makan malam bersama Barney. Tidak ada yang bisa menghalangiku."

"Barney?" aku menatapnya heran. "Apa yang terjadi dengan Mike?"

"Ah, kemana saja kau? Aku sudah meninggalkan Mike dua bulan yang lalu. Pria itu benar-benar tidak bisa diandalkan. Pekerjaannya membosankan, leluconnya buruk, dan ia selalu salah menyebut namaku. Oh, dan yang lebih buruk lagi, ia hanya mengetahui satu posisi seks! Hanya satu! Sungguh, kau percaya itu? Cukup, aku lelah membicarakan orang itu. Doakan saja kencanku hari ini tidak mengecewakan. Sampai nanti, gadis natal!"

Abbie menghilang ditelan malam, diikuti dengan suasana kelam yang menyelimuti The Lupin. Aku terus menatap pintu yang digunakan Abbie untuk meninggalkan restoran kumuh ini.

Aiden & Simone

Simone menatap pohon anggur yang mulai berguguran. Ia menunggu sahabatnya, Aiden yang datang terlambat. Simone sangat paham kebiasaan sahabatnya. Terlambat sudah bukan hal asing bagi Simone dan Aiden. Simone selalu menjadi orang pertama yang datang. Entah seberapa terlambatnya Simone datang, Aiden selalu datang setelah Simone. Jika Simone datang tepat waktu, Aiden akan datang dua puluh menit kemudian. Jika Simone terlambat dua puluh menit, Aiden akan datang satu jam kemudian. Sungguh, keterlambatan sudah seperti hobi bagi Aiden.

"Hei, pria lembek!" teriak Aiden dari kejauhan. Simone langsung memasang wajah cemberut, akhirnya kau datang juga.

"Aku sudah setuju untuk ikut ke tempat haram itu bersamamu, satu hal yang tidak pernah bisa kulakukan. Bisakah setidaknya kau lakukan sesuatu yang serupa sepertiku? Datang tepat waktu, misalnya."

"Hei," Aiden memukul bahu Simone. "Jika aku sedang jatuh cinta padamu, dan aku sedang berusaha meraih hatimu, aku bahkan bisa datang dua jam sebelum kau mandi. Tapi, itu tidak mungkin." Lanjutnya, sambil tertawa. Sebuah kalimat lelucon yang seharusnya lucu, tapi hati Simone justru tersayat kala mendengarnya. Aiden segera merangkul sahabatnya sambil berjalan ke sebuah bar.

Di dalam bar yang tidak begitu ramai, Aiden menarik tangan Simone, mengajaknya ke tempat duduk terbaik. Tempat duduk yang berhasil membuat hidup Aiden menjadi secerah matahari.

"Hei, Thomas!" seru Aiden. Thomas sang bartender langsung melayani pelanggan setianya.

"Tak biasanya kau datang bersama seorang pria. Apakah orientasi seksualmu mulai mengarah ke menara? Sudah jenuh kah engkau dengan gunung-gunung indah itu?"

Nathalie (2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang