Desir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan?
Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Sepertinya, menggenggam kaktus jauh lebih baik daripada menggenggam seonggok janji manis, sebab aku memiliki alasan yang jelas kenapa aku bisa terluka.”
— 𝓩𝓲𝓱𝓪𝓷 𝓗𝓪𝓷𝓭𝓪𝔂𝓪𝓷𝓲
***
Beberapa bulan telah berlalu, entah sudah sejauh mana pendekatan antara Isa dan Raga. Tidak ada yang tahu juga, sudah seberapa besar Isa menaruh harapan pada Raga, atau mungkin perasaan yang ia miliki mulai surut? Karena secara tidak langsung, Isabelle mulai mengetahui karakteristik pemuda itu.
Kaki jenjang Isa melangkah keluar dari kamar, suara-suara berisik dari lantai dasar mengusik indra pendengaran si gadis. Isa yakin, Juna membawa semua teman-temannya ke rumah, terutama pada hari libur seperti sekarang.
Isabelle sudah mulai terbiasa, ia anggap teman-teman Juna itu seperti kakaknya sendiri, kecuali Kamal dan Tegar, sebab mereka lahir di tahun yang sama. Selain itu, gadis itu juga sudah mulai terbiasa bertemu dengan Raga, meski sebenarnya ia tidak bisa menjelaskan hubungan apa yang sedang mereka jalani saat ini.
Mereka hanya dekat. Namun, tidak terikat.
“Gue liat Juna kemarin lagi jalan sama cewek,” ucap Tegar.
“Mau heran, tapi Juna. Btw, cantik ga?”
“Cantik lah, cewek yang jalan sama gue gaada yang ga cantik, ya, Nyet.” Juna menimpali, merasa bangga karena memang begitu faktanya, perempuan mana pun yang pergi sama Juna itu selalu cantik.
“Cantik itu relatif, tapi cantik versi gue ada di Adeena.” Akash juga turut menimpali.
“Bacot, bulol lo tai!” cibir Juna, sambil melempar kulit kacang. Namun, sampahnya mengenai Isa.
“Gue tahu gue belum mandi, Jun. Tapi gausa nyampah ke gue juga!” ketus Isa, yang tak melihat kehadiran Raga di antara mereka bertempat.
“Kalo cantik versi gue, sih, Isabelle. Liat aja, dia baru keluar kamar masih pake baju tidur aja cantik.” Kamal memberi pujian pada sosok Isabelle yang baru saja turun menuruni tangga itu.
“Cewek gue emang cantik.” Suara bass itu menyahut—menjawab ucapan Kamal, yang sontak membuat jantung Isabelle berpacu lebih cepat.
Isabelle menoleh, mendapati sosok Raga yang sepertinya baru tiba.
“Baru calon, itu pun belum pasti, karena kata jalanin aja dulu itu horor banget.” Tegar yang sedari tadi diam pun ikut tertarik ke dalam obrolan.
Isa menarik napasnya, ia tidak merasa tersinggung dengan ucapan Tegar, karena tidak ada yang salah dari perkataan laki-laki itu, dan Isa memakluminya sebab Tegar tipikal orang yang sangat realistis.
“Kata gue lo pikir-pikir lagi, deh, buat nikah sama Isa.” Juna tiba-tiba berkomentar, buat dahi Isa sedikit berkerut; apa maksudnya?
Isa menoleh ke arah Juna.“Why?” kata Isa tanpa bersuara. Namun, dapat dimengerti oleh sang kakak.