1. Alkisah

103 12 0
                                    

෴☬෴


Mataku mengejap menelisik setiap sudut ruangan sang tampak asing. Terbangun dari posisi rebahan, terduduk menerka apa yang sebenarnya terjadi.

"Mbak, sudah bangun?" Tanya seorang remaja tanggung berdiri diambang pintu. Si remaja membuat gaduh meneriaki seisi rumah, dikata Mbak Saras sudah terbangun.

Tunggu, siapa itu Saras?

Netra ku melihat gerak - gerik si remaja itu berlari kecil memasuki ruangan yang ku singgahi, tak lama disusul oleh wanita cantik setengah baya yang berjalan tergopoh - gopoh. Si wanita duduk di pinggiran dipan ku tetiba memeluk tubuhku sangat erat dengan mata yang berbinar kaca. Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

"Kau sudah bangun, Saras? Apa badanmu ada yang sakit?" Tanya si wanita khawatir. Sedangkan aku hanya terduduk mematung belum bisa mencerna apapun yang terjadi. Apa ini? Dan siapa Saras?. Aku tak menjawab, hanya menatap menelisik curiga. Mengapa wanita ini memakai kebaya, dan ruangan ini terlihat sangat jadul sekali. Apa yang sebenarnya terjadi padaku?.

"Sa- saya dimana?" Tanyaku terbata. Rasa takut tiba tiba menyerang ku bagaimana bisa aku tersesat ke rumah orang yang tak kukenal. Tunggu, apa aku diculik? atau aku menyasar ke dunia lain, alam ghaib? mengingat orang orang ini memakai pakaian jadul dan ruangan ini juga jauh dari kata modern. Nafasku tercekat, memikirkannya saja membuatku ingin menangis. Namun, apakah aku sudah mati? dan ini adalah surga? mengapa aku tidak bisa mengingat hal terakhir yang terjadi padaku.

"Kalian ini siapa? Mengapa saya berada disini?". Tanyaku lagi pada mereka.

Si wanita mengernyit heran. "Tentu ini di rumah, Engkau ini kenapa? jangan main-main, Saras". Jawab si wanita. Tunggu, apa ini sebuah intimidasi. "Saya tidak tahu siapa kalian," Jawabku kebingungan.

"Kau benar tak ingat apa apa, mbak?". Setelah mengamati cukup lama, si remaja tanggung berganti bertanya kepadaku. Aku menggeleng saja sebagai jawaban, namaku bukan Saras, tentu saja aku masih mengingat namaku dan semua tentangku selama hidup delapan belas tahun di dunia, hanya saja aku tak bisa mengingat kejadian apa yang terakhir kali menimpa ku hingga aku terbangun disini. "Sepertinya mbak Saras hilang ingatan, buk". Tutur si remaja kepada wanita setengah baya yang ia panggil ibu itu.

"Ngawur kamu, Nimas. Jangan bicara macam macam". Ucap si wanita sedikit memarahi si remaja yang ternyata bernama Nimas itu. Nimas yang tak mau kalah terus terusan memaparkan penjelasan panjang kepada wanita yang ia panggil ibu. Mengapa kedua orang itu malah ribut?. Aku membuka selimut yang membalut setengah tubuhku dan sesegera mungkin kabur mencari pintu keluar dari kediaman mereka.

Mbak Saras!!!

Mau kemana, nduk!! jangan berlarian!

Kudengar teriakan mereka memanggil manggil nama Saras namun sama sekali tak ku hiraukan, aku bukan Saras mereka, tentu saja aku punya nama sendiri. Clarissa, namaku Clarissa Prawiranegara enak saja mengganti nama orang sembarangan.

Mataku membulat sempurna saat aku berhasil berlari ke depan gerbang kediaman. Bak tersambar petir di siang bolong, tubuhku mematung seketika membaca apa yang tertera di pagar kediaman ini.

Teuku Umar, 41.

Ini adalah alamat rumahku, namun mengapa rumahku berubah menjadi seperti rumah rumah orang Belanda yang jauh dari kata modern. Dimana ayah dan ibu, mengapa rumahku ditinggali oleh orang orang yang tak kukenal. Ku telisik benar rumahku serat rumah sekitarku tuk benar memastikan, kakiku melangkah menyusuri jalan setapak berdampingan jalan raya menuju ke sebelah rumahku, langkah demi langkah ku lalui hingga.. Kurasakan tubuhku meremang, angin berhembus kian kencang menghantam tubuhku seperti tiada raga dalam tubuh ini. Telingaku berdengung beriringan dengan pusing menjamah hampir seluruh kepala, terdapat titik hitam yang kian membesar menghalangi indera penglihatan ku. Tubuhku melemas, tak tahu apa lagi yang terjadi selanjutnya.

෴☬෴

Aku sedikit mengerang memegangi kepalaku yang teramat sakit. Ini masih ruangan yang sama saat aku terbangun dari pingsan ku tadi. Astaga, apa yang terjadi sebenarnya mengapa aku masih berada disini. Mataku menelisik, ternyata di ruangan ini terdapat si wanita paruh baya yang kutemui tadi ditemani seorang lelaki tua berkacamata. Siapa lagi lelaki ini?.

"Nona Saras sepertinya mengalami amnesia, kondisi ini biasanya ternyata dikala kepala mengalami cedera atau terbentur sesuatu yang berakibat terjadi kerusakan pada sistem yang mengatur ingatan dan emosi seseorang". Jelas si lelaki tua yang ternyata seorang dokter pada wanita tua yang menatapku nanar.

"Saya tidak amnesia, kok. Dimana ayah, ibuku? Ada apa ini sebenarnya?" jawabku menyangkal pernyataan yang diberikan sang dokter.

"Kau tak ingat benar Saras? Tentu saya ini ibumu orang yang melahirkan mu, pasti sedih benar ayahmu jika mengetahui keadaanmu seperti ini," tutur si wanita yang mengaku sebagai ibukku. Dokter itu menjelaskan kembali bahwa amnesia bisa bersifat sementara maupun permanen tergantung kepada seberapa parah cedera yang dialami. Wanita itu mengangguk paham, berterima kasih kepada sang dokter yang memeriksaku tadi dan mengantarkannya hingga ke depan rumah.

Aku menghembuskan nafas berat, duduk bersandar pada kepala dipan mengamati sekali lagi tampak kamar ini tentu saja ini bukan seperti kamarku pula rumahku, tapi mengapa alamat rumah ini sama persis alamat dengan rumahku. Dari segi arsitektur saja sangat berbeda jauh, dimana rumah ini bergaya Indische seperti rumah Belanda sedangkan rumahku yang sebenarnya bergaya lebih modern dengan dua lantai.

"Mbak, bagaimana keadaanmu sekarang? sudah lebih baik?" tanya si remaja tangguh yang kuingat namanya adalah Nimas, yang berjalan masuk kedalam kamar yang ku singgahi.

Aku mengangguk saja sebagai jawaban. Masih banyak hal yang mengganggu pikiran saat ini, hingga ku putuskan untuk bertanya saja kepada Nimas. "Hei, namamu Nimas, kan? by the way ini tanggal berapa ya?"

"Mbak juga lupa tanggal? jangan jangan mbak lupa sama namamu sendiri," Aku mengangguk saja, sejujurnya aku tak tahu harus menanggapi seperti apa. "Astaga mbak, ini tanggal 30 September 1964, ternyata cara bicara mbak juga berubah toh".

Tanggal yang sama seperti dimasa depan, namun kenapa Nimas mengatakan tahun 1964?. Aku melongo tak percaya, aku terlempar ke masa lalu? yang benar saja tidak mungkin sekali. Namun, melihat kembali suasana sekitar yang nampak jadul apakah benar aku ke masa lalu? Time Travel? sungguh tak bisa dipercaya. Mengapa bisa, ini sudah sangat jauh dari masa ku.

Aku mendengarkan seksama Nimas yang bercerita tentangku. Jadi, di masa ini namaku Saras Prameswari Prawira dan Nimas adalah saudara perempuanku. Si wanita setengah baya tadi adalah ibuku dan ayahku adalah seorang dokter bedah yang cukup kondang dan juga menduduki kursi kabinet pemerintahan. Ayah ibuku adalah jawa tulen, maka dari itu mereka berbicara dengan aksen medhok yang kuat. Tentang ayahku, beliau Tn. Kartosoerja Prawira, seorang dokter juga menjabat kursi sebagai Menteri sesuai dengan bidang yang dikuasainya, namun, beliau sedang berada di Cimahi tuk sebuah perjalanan dinas. Dan tentang rumah ini aku jadi paham sekarang. Ini memanglah rumahku dimasa depan, namun di masa ini masih berbentuk rumah Belanda. Dimasa depan rumah ini sudah tidak ada diganti dengan bangunan baru yang menjadi rumahku bersebelahan dengan Museum Sasmitaloka Jenderal Besar A.H Nasution dan dimasa ini masih berupa rumah tinggal yang tentu masih ditinggali oleh pak jenderal.

Sesungguhnya aku masih sedikit tidak percaya dan sedikit takut berada dimasa ini. Bagaimana bisa? bertetangga dengan seorang jenderal besar yang namanya masih terkenal dari masa ke masa seolah tak lekang dimakan masa.

෴☬෴

a/n; Teuku umar 41 hanyalah sebuah fiksi belaka dan tidak ada di dunia nyata. Tentang siapa itu Clarissa dan masanya ada di chapter selanjutnya dan jika kalian sadar marga Clarissa dan Saras itu ada kesamaan jadi, masih ada sangkut pautnya yaa kemungkinan dikulik di chapter chapter selanjutnya so stay tune yaaaaaa. Jika ada salah kata/ejaan mohon dikoreksii yaa. Hope y'all like it, yaa soalnya ini pertamaa banget nuliss ceritaa apalagi fiksi sejarah:⁠-⁠D

𝖄𝖆𝖓𝖌 𝕷𝖆𝖒𝖆 𝕻𝖊𝖗𝖌𝖎 || Pierre Tendean Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang