2. Kilas balik, 2028

81 12 0
                                    

෴☬෴


2028, September 30;
Teuku Umar 41.

Sang surya nampak mulai membentangkan cahayanya pada langit timur. Tatkala aku menggelinjang tak pulas tidurku terganggu oleh suara sahut menyahut terdengar keras di indera pendengarannya. Membuatku sangat terpaksa bangkit dari lautan kapuk yang begitu tenteram menuju ke sumber suara. Tak biasanya rumah tampak ramai ruak seperti ini, biasanya saat aku terbangun pagi hari mama dan papa ku sudah pergi bekerja. Satu persatu anak tangga ku pijak, semakin keras pula suara sahut menyahut dari lantai dasar terdengar. Seketika meremang tubuhku ketika netra ku menangkap objek yang tak asing, mengapa papa ku diseret polisi dan mengapa ada polisi di rumah, ada apa ini?.

Aku berlari menuruni anak tangga tangga dengan cepat, melihat ibuku menangis sesenggukan dengan beberapa aparat polisi di sekitarnya dan segera memeluk tubuh itu erat. Entah kapan datang sedih, pelupuk mataku sudah berlinang air mata menandakan kecemasan. "Ada apa ini Ma? Kenapa banyak sekali polisi dan kenapa Papa ditangkap? Papa salah apa?". Tanyaku berderai - derai air mata. Mama memeluk tubuhku erat, tangannya yang halus menelisik setiap helai rambutku.

"Saya tidak bersalah, sayang, percayalah". Sempat ayahku berucap sebelum melenggang pergi dibawa para aparat.

Mengapa?.

28 Agustus 2028

Albert memijat kepalanya lelah, akhir - akhir ini memang sedikit krusial bagi nya. Kantung matanya yang tampak jelas, juga helai-helai rambut yang mulai memutih sangat menandakan betapa lelahnya ia. Hal ini sangat memberatkannya, semuanya adalah kebohongan, mengapa orang benar selalu ingin ditiadakan.

Banyak sekali tamu yang ingin menemuinya secara personal, yang jelas dengan maksud terselubung.

"Mengapa banyak sekali orang menentang saya mengungkap kebenaran," Ujar Albert duduk dimeja kerja yang terdapat pada ruangan itu, ruangan yang sangat luas namun terasa sangat menyesakkan.

"Saya sarankan anda jangan berurusan dengan mereka, pak. Kekuatan mereka jauh lebih besar daripada yang anda bayangkan, dan saya yakin mereka tak kan tinggal diam jika anda begini. Mereka berbahaya, pak".

Mereke berbahaya, sangat.

"Apakah saya harus tinggal diam jika situasi seperti ini? ketimpangan sosial dimana mana, perjudian, korupsi, nepotisme. Keadilan dan hukum sebenarnya untuk siapa?. Apakah semudah itu pemerintahan sebuah negara di mata mereka? Demokrasi macam apa yang mereka bicarakan, untuk rakyat ataukah untuk mereka sendiri. Menghilangkan orang orang baik dan memelihara tikus kotor?. Rakyat miskin yang tak bersalah namun harus tertindas, sedangkan mereka berfoya-foya dengan uang yang mereka rampas dari rakyat.

Saya ingin mengakhiri semua ini, Mahesa".

"Jangan gegabah, pikirkan anak dan istri bapak di rumah,". Sahut Mahesa, asistennya.

Albert menghembuskan napasnya kasar, tangan keriputnya bertumpu pada meja kerja memegangi kepala yang kepalang pening. Apa yang harus ia lakukan sekarang?.

෴☬෴


1964, 05 Oktober;
Teuku Umar, 41

Bulan berganti, bumi tetap berputar sesuai porosnya. Terhitung sudah lima hari aku berada dimasa ini. Aku duduk di sebuah kursi yang berada di serambi rumah ini sambil sesekali menyesap teh yang dibuatkan oleh Nimas. Pikiranku melayang jauh pada hari dimana aku sampai dimasa ini, sebenarnya apa yang terjadi dimasa depan sampai aku terlempar kesini? Apakah ada sesuatu yang harus diselesaikan dimasa ini? Dan bagaimana aku dimasa depan, apakah Saras asli menggantikan peranku dimasa depan?.

Dan, mengapa harus 1964?.

Mata ku menangkap sesosok gadis menggandeng anak kecil kira kira empat tahunan sedang berbincang pada salah seorang satpam yang menjaga rumahku. Kulihat dia mengangguk dan melangkah masuk dan menatap ke arahku. Aku terus menatap setiap gerak geriknya, dan anak kecil yang digandeng nya seperti tidak asing bagiku, siapa mereka?.

"Bagaimana kabarnya, mbak?," Tanya si gadis sesaat setelah sampai ke depan serambi rumahku. Aku berdiri, melihatnya dengan cepat menghampiriku di serambi depan. Anak kecil yang digandengnya itu menatap polos kepadaku sambil tersenyum. Siapa mereka? wajahnya tak asing sekali. Aku mengingat ingat siapa mereka, apa mereka pernah bertemu denganku sebelumnya atau mereka ada di masa ku?

"Mbak, kenapa?". Si gadis mengguncang bahu menyadarkan ku dan anak kecil ini memeluk kakiku erat sekali. Aku berpikir keras siapa mereka, anak kecil ini mengapa mirip sekali dengan Irma Suryani, ataukah benar itu dia? dan gadis ini?.

"Yanti?," Monolog ku.

"Benar, aku Yanti, mbak lupa denganku?," Tanyanya. Gadis ini benar Yanti Nasution, anak sulung pak Nasution. Di masa ku, beliau sudah lama pergi sedangkan di masa ini beliau masih gadis remaja. Dan anak kecil ini, Irma Suryani Nasution. Anak kecil ini kelak kan menjadi perisai terkuat Ayahnya.

Disaat tragedi besar itu terjadi.

Namun, bagaimana jika takdir dapat diubah?.

"Huh...?. Enggak, ngapain kesini, Yan?" Tanyaku berusaha bersikap normal seperti Saras.

"Mengapa bicaramu aneh sekali, mbak? Aku dan Ade kemari tentu untuk menjenguk mu, mbak baik? kurasa mental mbak sedikit terganggu," Ucap Yanti yang sudah duduk santai di kursi dengan Ade Irma disebelahnya.

"Sembarangan kamu!, aku baik baik saja," Ucapku lalu duduk.

"Mbak Saras, kenapa beberapa hari lalu mbak pingsan didepan pagar rumahku?". Tanya Yanti mengalihkan pembicaraan.

Ingatanku kembali memutar kejadian tepat aku pertama kali tiba dimasa ini. Disaat aku terbangun dari pingsan ku dan kabur keluar rumah. Saat itu, betapa terkejutnya aku melihat rumahku dimasa depan berubah menjadi seperti rumah tua ala Belanda. Memoriku merekam, kakiku melangkah ke rumah besar yang kelak menjadi sebuah museum yang tak lekang termakan usia.

Jelas terekam ekspresiku saat itu ketika kedua netraku menangkap gambaran sebuah rumah besar Belanda yang terasa begitu hangat dipenuhi aktivitas. Aku melihat beberapa mobil Jeep terparkir apik dihalaman nan luas, di halaman rumah yang luas dan rindang terdapat seorang berpakaian seperti tentara asyik bermain dengan seorang anak kecil tidak bukan adalah Ade Irma sendiri.

Betapa terkejutnya aku saat itu, menyaksikan semua yang terjadi, hanya mematung saja yang bisa ku lakukan. Kulihat Ade Irma menatap ke arahku dan memanggilku dengan bukan namaku.

"Mbak Saras ayo kita bermain bersama ...".

Kurasakan tubuhku meremang, angin berhembus kian kencang menghantam tubuhku seperti tiada raga dalam tubuh ini. Telingaku berdengung beriringan dengan pusing menjamah hampir seluruh kepala, terdapat titik hitam yang kian membesar menghalangi indera penglihatan ku. Tubuhku melemas, tak tahu apa lagi yang terjadi selanjutnya.

"Huh?, Aku ya gak tahu, Yan, kecapekan mungkin," Kataku berusaha tak acuh. Sejujurnya aku juga tidak tahu - menahu mengenai hal itu. Mungkin saja aku pingsan karena terkejut pasal melihat rumah besar Jenderal Nasution ramai akan orang beraktivitas seperti rumah pada umumnya.

Yanti memicingkan mata seolah curiga, dari sorot matanya nampak dia seolah bertanya 'apa benar?' dengan penuh rasa curiga.

"Kamu ngapain sih kesini?". Tanya ku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Tidak-papa kan aku sama Ade kesini? Kan, kami ingin menjenguk mu,".

"Ya, ga masalah sih," Jawabku sambil menggaruk leher tidak gatal. Ya Tuhan, canggung sekali.

Satu yang ku tahu, Yanti adalah seorang yang baik, sangat baik. Ade Irma, anak lugu itu sungguh sangat menggemaskan, tidak bukan dialah yang berhasil mencairkan suasana diantara ku dan Yanti sehingga kami menjadi lumayan akrab seperti saat ini.

Aku dan Yanti berbincang cukup lama, sedangkan Ade asyik menghabiskan berbagai camilan yang tersedia di rumahku. Sungguh banyak sekali topik pembicaraan yang Yanti tuturkan, semisal hari ini tepat tanggal Lima Oktober Seribu Sembilan Ratus Enam puluh Empat memeringati hari jadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang digelar begitu meriah.

෴☬෴

𝖄𝖆𝖓𝖌 𝕷𝖆𝖒𝖆 𝕻𝖊𝖗𝖌𝖎 || Pierre Tendean Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang