Request pertama! Semoga suka, maaf kalau di luar nurul.
Happy reading!
Day By Day at Gresis fam's house.
Gracia menginjak pedal gas lebih dalam, mencoba tiba di rumah secepat mungkin. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran setelah menerima pesan dari Ella tentang gelas kaca yang pecah. Dia tahu betapa Sisca bisa emosional dalam situasi seperti ini, terutama jika menyangkut sesuatu yang penting bagi putri mereka.
Saat tiba di rumah, perasaan aneh melintas di benaknya. Rumah itu sunyi. Tak ada tangisan Ella atau suara marah Sisca seperti yang ia bayangkan. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan melangkah masuk.
"Sayang? Ella?" Gracia memanggil, suaranya menggema di ruang kosong.
Tak ada jawaban. Kecemasan mulai merayapi hatinya. Dia mengikuti suara isakan samar yang terdengar dari lantai atas. Langkahnya semakin cepat, jantungnya berdetak keras saat ia mencapai kamar Ella. Di sana, dia menemukan Ella duduk di lantai, memeluk kakinya, dengan air mata yang mengalir deras.
"Ella, sayang," Gracia berbisik lembut, mendekat dan memeluknya. "Tenang, Bunda di sini."
Gabriella Abigail-atau Ella, begitu biasa dipanggil-mendongak dengan mata yang sembab. "Bunda, aku takut sama Ibu. Ibu marah banget sama aku."
Gracia mengelus rambut Ella dengan penuh kasih. "Gak apa-apa, Sayang. Bunda akan bicara dengan Ibu. Kamu nggak perlu takut, oke?"
Ella mengangguk pelan, masih terisak. "Maaf, Bunda. Aku nggak sengaja mecahin gelas itu."
Gracia tersenyum menenangkan. "Gak apa, Sayang. Kita akan selesaikan ini bersama-sama."
Setelah Ella lebih tenang, Gracia beranjak menuju kamar utama, di mana Sisca Saras, istrinya, sedang duduk di tepi tempat tidur dengan wajah masam, pandangannya kosong.
Gracia menghampirinya dan duduk di sebelahnya. "Sayang, ada apa? Kenapa kamu tinggalin Ella sendiri?"
Sisca menghela napas berat. "Aku marah sama Ella karena cerobohnya, tapi aku juga marah sama diri sendiri. Aku nggak bisa menahan emosi, Gre. Daripada aku marah-marah di depan Ella, lebih baik aku menjauh sebentar."
Gracia paham betul sifat Sisca yang tak bisa menahan emosi. Ia meraih tangan Sisca dan menggenggamnya. "Kamu sudah melakukan yang terbaik. Tapi sekarang, yuk kita ke Ella? Dia masih menunggu kita."
Mata Sisca mulai berkaca-kaca, menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. "Aku benci merasa seperti ini. Seharusnya aku bisa lebih tenang."
Gracia mengusap lembut pipi Sisca. "Kita semua manusia, Sayang. Kadang emosi memang menguasai kita. Nanti kamu bisa minta maaf ke Ella. Yang penting sekarang, kita temui dia, oke?"
Sisca mengangguk perlahan, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku hanya ingin yang terbaik buat Ella, tapi kadang aku merasa gagal jadi ibu."
"Kamu ibu yang luar biasa, Sisca. Semua orang pasti pernah salah," Gracia menenangkannya. "Ayo, kita bicara sama Ella, lalu mungkin nanti kita bisa ganti gelasnya. Maaf ya, kerja kerasmu kemarin jadi rusak."