Request gak tau yang ke-berapa.. btw anggap tidak ada golden rules, ya! Lagi nyoba writing style yang beda, semoga cocok di kalian wwkw!
Happy reading!
27 April 2020
Gracia's POV.
"Gre, dengar ya. Cari tahu dulu tentang JKT48, terutama Shani Indira! Jangan sampai malu-maluin gue, please." Suara Jinan terdengar penuh tuntutan, menusuk telinga seperti alarm pagi yang enggan kumatikan.
Aku mendongak, menatapnya dengan ekspresi datar—campuran antara lelah dan tak peduli.
Dia berdiri di depanku, dengan tangan bersilang di dada dan tatapan seperti guru yang tak sabar menghadapi murid bandel. Mengganggu momenku yang tenang, saat aku tengah sibuk membereskan kamera dan peralatan fotografi kesayanganku.
Namanya Jinan Shafa. Satu nama yang, kalau bisa, ingin kuhapus sementara dari daftar orang-orang yang harus kuhadapi hari ini. Dia menyebalkan. Dan lebih menyebalkan lagi karena ini sudah kali ke-50—ya, aku menghitung—dia mengulangi hal yang sama.
"Cari tahu tentang JKT48. Shani Indira."
Siapa sih, Shani Indira? Kenapa Jinan begitu obsesif menyebut namanya? Maksudku, bukan obsesif dalam arti dia penggemar fanatik atau semacamnya, tapi caranya bicara membuat nama itu terasa seperti sesuatu yang... spesial.
Bukan spesial seperti seseorang dengan kebutuhan khusus, ya—tolong jangan salah paham.
Tapi aku benar-benar tidak peduli. Tugasku hanya satu: memotret Shani dan anggota grupnya. Itu saja.
Tidak lebih.
Iya, itu harusnya cukup.
Seharusnya tidak lebih.×××××
05 Mei 2022
"WOI, GRESHAN! KALIAN BERULAH APALAGI, SIH?" Cindy menerobos ruang tamu dengan langkah tergesa, suaranya menggelegar seperti petir yang menghantam dinding apartemen.
"WOI, KAK CINDY! JANGAN BENTAK CEWEK GUE DONG." Aku langsung berdiri, menangkis serangannya dengan suara keras, meskipun sebenarnya hatiku sudah mulai cemas.
"LAH, ELU JUGA, GRE! JANGAN BENTAK CEWEK GUE!" Jinan menyusul, memandangku dengan tatapan tajam, suaranya tak kalah nyaring.
"STOP! KALIAN BERTIGA BERISIK! DIAM!" Suara Shani memotong kami seperti pisau. Wajahnya tetap dingin, tapi nadanya cukup untuk membuat semua orang terdiam.
Aku mencuri pandang ke arah Cindy dan Jinan. Mereka sama terkejutnya denganku. Bahkan aku yang biasanya berani melawan tidak punya nyali untuk bicara.
"Kak Cindy, ada apa lagi?" tanya Shani akhirnya. Suaranya kembali lembut, seolah tidak ada yang baru saja terjadi. Dia menatap Cindy, tenang, seperti menunggu jawaban tanpa tekanan.
Cindy menghela napas panjang sebelum berbicara. "Bos Willy manggil lu sama Gracia buat ke kantor IDM besok. Mau nggak mau, suka nggak suka, kalian harus confirm hubungan kalian."
"Harus banget, Kak?" Shani bertanya, nadanya masih datar, tapi aku bisa menangkap sesuatu yang ganjil dalam suaranya. Dan seperti biasa, aku hanya diam, walau dadaku terasa sesak mendengar pertanyaan itu.
Shani Indira itu sempurna. Kalimat itu selalu terngiang dalam pikiranku. Tidak ada yang bisa membantahnya. Shani tidak pernah salah. Kalau pun dia salah? Kembali lagi ke kalimat pertama.
Cindy mengangguk, wajahnya serius. "Ya iyalah, Shani. Masih nanya?"
Aku menatap Shani. Dia mengangguk pelan, ekspresinya seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang berat.