3. Kado Pernikahan

688 80 4
                                    

Part 3 Kado Pernikahan

“Lakukan sesuatu, Egan. Kita tak bisa membiarkan wanita itu menjadi istri sah Cave.” Elva menjatuhkan kedua telapak tangannya di meja. Membungkukkan sedikit tubuhnya untuk menatap lurus sang menantu yang duduk di balik meja. Membuat deskname bertuliskan Egan Carim | CEO of Carim Corporation bergeser ke samping.

Egan menelan ludahnya akan dominasi sang mertua yang begitu besar. Terutama ketika Elva mengelus bagian atas desknamenya dengan penuh ancaman. “Jika kau bercerai dengan Ivie, kau tahu ini juga akan berdampak pada karirmu, kan?”

Egan mengangguk patuh. “Bagaimana jika Cave tahu?”

“Cave hanya perlu tahu apa yang harus diketahui.”

“Saya akan berusaha, Ma.”

“Berusaha saja tidak cukup, Egan. Kau tahu dia pasti memiliki seribu rencana untuk membalasmu sebelum mendekati putraku.” Elva menegakkan punggungnya. Bibirnya menipis kesal ketika mengamati wajah Egan. “Jangan membuatku menyesali pilihanku telah membiarkan Ivie menjadikanmu suami.”

Egan mengangguk paham.

Elva mendecakkan lidahnya akan kepatuhan sang menantu. Pun begitu, ia tak bisa sepenuhnya mempercayakan semua ini pada pria muda ini. “Jika kau tak bisa diandalkan, aku tak akan segan-segan untuk mematahkan kakinya sebagai peringatan.”

Sekali lagi, Egan memaksa kepalanya mengangguk akan ancaman sadis sang mertuanya tersebut. Tak mengherankan jika Cave terkadang terlihat mengerikan, darah dingin itu menurun dari Elva, kan. Dan jangan salahkan dirinya akan simpati yang masih dimilikinya untuk Lily. Wanita malang itu tak perlu mendapatkan penderitaan sejauh ini.

Itulah yang membuatnya berada di depan pintu apartemen Lily setelah pertemuan sorenya dengan klien. Menunggu si pemilik membukakan pintu setelah ia memencet bel beberapa kali. Lily tidak mungkin tidak ada di dalam. Ia sudah meminta orang suruhannya memastikannya pulang sebelum ia datang kemari.

“Apa lagi yang kau inginkan?” Sambutan pada mantan yang cukup tak bersahabat dengan nada sinis tersebut akhirnya membuatnya tersenyum.

“Kita bicara?”

“Katakan.” Lily tak menggeser tubuhnya dari celah pintu yang sengaja dipaskan dengan lebar tubuh mungilnya.

Egan menoleh ke samping kanan dan kiri. “Tak mungkin di sini, Lily.”

“Urusan kita sudah selesai, Egan. Jadi tak perlu saling merepotkan.”

Egan mendesah pelan. Menekan kekesalannya. “Hentikan apa pun yang sedang berusaha kau lakukan, Lily.”

Lily mengangguk sekali. “Aku mendengarkan. Apakah hanya itu …”

Egan mendorong tubuh Lily masuk ke dalam. Kekuatan prianya tentu saja bisa mengalahkan penolakan Lily dengan mudah. Menutup pintu di belakangnya dan menghimpit tubuh mungil wanita itu ke dinding. “Kau tahu mama mertuaku tak akan tinggal diam jika sekali lagi kau nekat menginginkan pernikahan ini, meski hanya dalam harapanmu saja.”

“Aku tak akan berjalan sejauh ini jika tidak tahu siapa yang akan kuhadapi.” Tak ada sedikit pun gurat ketakutan di wajah Lily. Pada ancaman Egan maupun dominasi yang berusaha ditunjukkan pria itu padanya. Ujung bibirnya menyeringai ketika bertanya, “Apa kau mencemaskanku?”

Egan tak langsung menjawab. “Percayalah, Lily. Aku datang kemari dengan ketulusan. Aku tak ingin kau …”

Lily mendorong tubuh Egan dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Membuat pria itu terdorong dua langkah ke belakang. “Simpan kembali ketulusanmu ke dalam kantongmu, Egan. Sekarang keluarlah atau aku akan memanggil keamanan.”

Wajah Egan mengeras. Mulai frustrasi dengan kekeras kepalaan Lily. “Coba saja.”

Keduanya saling tatap, melemparkan keseriusan akan ancaman masing-masing. Hingga langkah dari balik pintu memecah ketegangan di antara keduanya. Dan kali ini wajah Lily memucat. Menangkap lengan Egan dan membawa pria itu menuju pintu toilet yang ada di dekat mereka. Menutupnya tepat ketika pintu apartemen terbuka dan Cave melangkah masuk.

“Cave?” Lily menampilkan ketenangan yang sempurna. “Kau tak bilang akan datang.”

Cave tersenyum, menghampiri Lily dan langsung menangkap lumatan ringan di bibir wanita itu. “Aku ada sedikit urusan di sekitar sini. Mungkin kau membutuhkan sesuatu?”

Lily tersenyum. Pertanyaan yang tepat. “Hm, susu ibu hamil. Aku berniat membelinya sepulang kerja, tapi kepalaku sedikit pusing dan aku lupa.”

Cave sedikit mengangkat kepala, mengamati seluruh permukaan wajah Lily. “Sebaiknya kau pindah ke apartemenku, sayang. Aku tak ingin sesuatu …”

“Kita akan melakukannya setelah menikah.” Suara lembut Lily tak mengurangi ketegasan dalam kalimatnya. “Jangan gunakan alasan itu untuk ketidaksabaranmu.”

Cave terkekeh, kembali menyapukan ciuman di bibir Lily dengan gemas. “Aku memang tak sabaran,” bisiknya sebelum membuat ciuman itu lebih dalam dan intim. “Aku tak sabar ingin memilikimu. Seutuhnya hanya untuk diriku sendiri,” lanjutnya dengan penuh kemesraan.

Lily tersenyum. Kalimat penuh pemujaan itu tak pernah berhenti menghujaninya setelah ia berhasil mendapatkan hati seorang Cave. Cavero Zachery, begitu loyal dan tak main-main jika seseorang berhasil menarik seluruh perhatian pria itu. Akan memberikan seluruh dunia untuknya. Meski begitu, Lily tahu jika ia mengkhianati kepercayaan Cave. Hidupnya bisa berakhir kapan saja. Tetapi tetap saja ia harus mencoba semua kemungkinan yang akan dimilikinya.

“Kau harus pergi sekarang, Cave. Aku sudah lapar.” Lily mengurai pelukannya. Tertawa kecil ketika lagi-lagi Cave mendaratkan ciuman untuknya di bibir sebelum keluar. Memastikan Cave masuk ke dalam lift sebelum kembali masuk dan menyeret Egan keluar.

Egan bernapas dengan gusar. Ia pikir berakhirnya hubungannya dan Lily akan membuatnya berhenti memikirkan wanita itu. Tetapi merasakan kemesraan Lily dan Cave dari balik pintu pada akhirnya berhasil menggelitik kecemburuannya. Kelembutan dan perhatian yang diberikan Lily pada Cave, lebih besar dan banyak dari yang pernah diberikan wanita itu padanya.

“Keluarlah. Sebelum Cave kembali karena kunci mobilnya tertinggal.” Lily melirik kunci mobil Cave yang tergeletak di meja kecil.

“Apa yang harus kulakukan agar kau berhenti berhubungan dengan Cave.”

“Tidak ada.” Lily tersenyum datar. “Tak perlu repot.”

Egan mendesah kasar, semakin frustrasi akan keteguhan Lily. “Oke. Aku bersalah telah mencampakkanmu. Tapi … aku bisa menjelaskan semuanya. Semua ini rencana mama Ivie. Dia tahu aku sudah menjalin hubungan denganmu. Dia yang menjebakku karena Ivie. Membuatku tidur dengan Ivie dan bertanggung jawab untuk kehamilannya.”

Ujung bibir Lily tersenyum tipis. “Pertama kalinya, aku akui itu hanya kekhilafan, Egan. Kedua kali, perselingkuhan tak bisa dilakukan tanpa usaha dan keinginan. Aku tak sebodoh dan senaif itu.”

“Kau tak tahu betapa liciknya mama Ivie. Ini hal yang berbeda.”

“Dan ketiga …” Bibir Lily menipis keras. Tatapan tajamnya mengarah lurus pada kedua mata Egan yang seketika membeku. “Kau tahu Carim Corporation yang dihadiahkan padamu sebagai kado pernikahan kalian adalah milik orang tuaku.”

VengeanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang